Ada perasaan sedikit tidak tega. Ketika mendapati air wajah sedih yang di tunjukkan oleh gadis di hadapannya. Namun mau bagaimana lagi?
Dia memang harus pergi, demi menghadiri sebuah meeting penting pagi ini.
"Maaf ya... Saya benar-benar harus pergi bekerja. Karena sekarang, saya sudah memiliki tanggung jawab baru. Saya harus menafkahi mu juga, 'kan?"
Entah dari mana kata-kata ini bisa ku ucapkan dengan lancar. Tidak peduli... setidaknya aku bisa cepat pergi tanpa memberi banyak penjelasan. (Tara)
Gadis itu sedikit tersentuh, manakala mendengar kata nafkah dari mulutnya.
"Mas Tara bersedia menafkahi ku, juga?"
"Tentu, itu kewajiban seorang suami, 'kan?"
Kinar tersenyum, menanggapi jawabannya. Benar-benar Dia pria yang baik, bahkan sudi bertanggungjawab memberinya nafkah juga. Padahal jika dia kabur pun, itu haknya.
Tapi tidak, aku tidak mau Dia pergi meninggalkanku. (Kinar)
"Sebentar ya, saya ada sesuatu."
Tara membuka dompet yang ia pegang. Niat hati mau memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Namun ekspetasi memang terkadang tak sesuai realita.
Baru kali ini di dompetnya tidak ada cash.
Jelas saja, karena selama ini Dia memang agak jarang bertransaksi dengan uang, lebih sering menggunakan kartu debit.
Sial, di saat seperti ini aku tidak punya uang Cash?
Tara membatin. Sebab di dalam dompetnya hanya ada uang tiga puluh lima ribu.
Sisa kembalian pizza yang ia beli kemarin.
Mengangkatnya tinggi-tinggi dengan ekspresi wajah pias.
Kinara yang melihat langsung ekspresi Tara, sedikit terkekeh... baginya itu lucu.
"Kinar, maaf ya. Rupanya di dompet Saya tidak ada uang. Nanti deh, saya akan mentransfernya. Bagaimana?
"Hehe mas ini bicara apa sih, aku masih ada uang kok. Tidak usah merasa bingung seperti itu."
"Tidak-tidak... Saya harus menyerahkan uang ini pada mu. Maaf ya... nanti pasti akan saya transfer kok, pasti! Catat ya nomor rekeningnya." Ia menyerahkan uang tiga puluh lima ribu itu pada Kinar.
Merasa tersentuh, saat menerima uang pemberian Tara. Walau receh...
"Mas, uang ini lebih baik di pakai mas Tara saja. Untuk sarapan mas Tara. Ini ambil." Kinara menyodorkannya lagi.
"Tidak...! Itu uangmu sekarang. Lagi pula, nanti pasti Saya dapat uang." Nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Jadi, sebaiknya Kau pegang saja ya. Maaf sekali lagi hanya receh... Saya beneran akan mentransfernya nanti. Ayo kasih tau nomor rekening mu–"
Kinara terkekeh. "Santai saja mas... beneran deh. Kinar masih ada uang kok."
"Tapi?" Dering ponsel yang berada di sakunya, membuat kata-kata Tara terputus.
Duh... ini pasti Ivan. Dia sudah menelfon ku terus.
Kembali fokus pada Kinara. "Sugguh, saya benar-benar minta maaf sekali Kinar. Saya harus berangkat pagi ini."
"Emmm... nanti mas, pulangnya?" Ragu-ragu bertanya. Membuat pria itu tersenyum.
"Nanti Saya pulang ke sini kok. Kamu tenang saja," jawaban itu cukup membuat gadis di hadapannya tersenyum lega. "Ya sudah... Saya jalan dulu, ya." Tara berpamitan pada Kinar dengan sedikit terburu-buru.
Bahkan tangan Kinara yang hendak meraih tangannya pun terabaikan, sehingga membuat dirinya sedikit sedih.
Dia menghela nafas sembari terus mengamati pria berbahu lebar itu, pergi semakin menjauh.
Masih menggunakan pakaian milik mendiang ayahnya. Celana besar sebatas lutut dan kaos oblong yang sedikit kecil karena terlihat sekali sangat pas melekat di tubuh Tara. Dari sana ia bisa melihat, gundukan otot di lengannya.
"Gagahnya pria itu, apa benar Dia masih sendiri? Mudah-mudahan saja..." gumam Kinara. Dia kembali menoleh ke arah uang di tangannya, tersenyum sejenak. "Nafkah pertama ku dari mas Tara."
Merasa senang dengan uang receh itu. Kinara berjalan masuk, lalu menutup pintu rumahnya.
Dan seterusnya ia kembali beraktivitas seperti biasa dengan semangat yang berbeda pastinya.
***
Di sebuah rumah besar...
Mobil berjenis Avanza masuk ke pelataran yang sangat luas. Ivan yang dengan sigapnya membukakan pintu Tuan mudanya.
"Astaga, Tuan? Baju siapa yang anda pakai?" tanya Ivan.
"Tidak usah bertanya, ceritanya panjang. Aku harus bergegas mengganti pakaian ku." Tutur pria itu sembari melangkahkan kaki jenjangnya.
Dengan di ikuti pak Rudi sang kepala pelayan di rumah besar miliknya.
Beberapa pelayan yang di lewatinnya pun langsung membungkuk, memberi hormat kepada sang Presiden Direktur Leonard Dewantara.
Pria itu masih fokus menyusuri anak tangga berlapis karpet merah di atasnya. Sembari mendengarkan ocehan Ivan tentang meetingnya pagi ini.
Sampai di lantai teratas... Salah seorang pelayan membukakan dua daun pintu yang tinggi menjulang tepat sebelum Tara mendekati.
"Semua berkas yang perlu di bawa sudah siap, 'kan?" tanya Tara yang kini sudah berdiri di depan cermin besar dengan pak Rudy yang sudah siap membantu menyiapkan atribut kantor Tuannya.
"Sudah Tuan."
"Bagus, jadwal kita kemana saja?" duduk di sebuah kursi tunggal.
"Ada dua perusahaan yang ingin mengatur pertemuan dengan Anda. Terkait penawaran kerja sama proyek Mega bangunan yang akan mereka garap."
Tara mendengarkan, sembari menunjuk ke arah lemari sepatu. Tempat seorang pelayan pria berdiri lalu meraih yang di tunjuk tadi. Membawanya pada sang Tuan muda.
"Setelahnya Anda harus berkunjung mengikuti peresmian, tiga gedung apartemen dan kawasannya yang baru saja selesai di bangun Tuan."
Tersenyum senang. Ia lega karena proyeknya rampung tepat waktu.
"Lalu di malam harinya?"
"Cukup. Malam ini Saya ingin kau kosongkan jadwal."
"Eh... bagaimana maksudnya, Tuan?"
"Saya ingin pulang kurang dari jam tujuh malam." Sudah memakai jasnya, beliau pun beranjak dari posisi duduknya tadi.
"Tapi Tuan. Pertemuan kolega malam ini sangat penting," jawab Ivan dengan sangat hati-hati.
Tara menoleh. "Sepenting apa?"
"Karena beberapa petinggi perusahaan akan hadir. Kehadiran Anda sebagai petinggi Dewantara group akan sangat di nanti-nanti mereka."
Mendengus, "baiklah, tapi bisakah kau pastikan? sebelum pukul sembilan malam Saya harus sudah pulang."
"Itu?"
"Bisa tidak?"
"Akan saya usahakan, Tuan."
Leon tersenyum. "Bagus. Ayo kita berangkat dan rampungkan pekerjaan hari ini." Pria itu berjalan keluar dengan semangat.
Ivan sempatkan untuk melirik pak Rudy yang tengah mengangkat kedua bahunya pertanda ia tidak mengerti.
Dengan perasaan masih di kelilingi rasa kebingungan. Ivan tetap bergegas menyusul Tuannya.
Di dalam mobil, Ivan sesekali melirik ke arah spion tengah. Mengamati tingkah aneh Tuannya, setelah semalaman tidak pulang.
Sebab, Pria berwibawa itu jadi lebih ceria dari biasanya. Teringin Dia bertanya. namun rasa segan membuatnya urung untuk membuka suara.
Ivan memilih untuk diam saja dan fokus menyetir.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Masya Allah tabarakaAllah 🙏🤲
nama yg bagus Dewantara transfernya via black karct limited edition tanpa batas, untuk Nara 😍
2024-05-26
1
Dewi Purnamawati
bikin penasaran ceritanya
2024-05-08
0
Memyr 67
𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗺𝗮𝗸𝗶𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗿𝗶𝗸.
2024-01-02
1