"Tidak pak... sumpah! Demi Apapun, kami tidak sedang berbuat mesum," jawab Kinara panik. Dia benar-benar ketakutan, ketika semakin banyak warga yang berduyun-duyun datang, menyoroti mereka.
Salah satu pria bertubuh gempal, mengarahkan senter kearah Pria asing di sebelah Kinara.
"Tidak berbuat mesum, katamu? Lantas ini apa!! gespernya saja belum sempat terpasang.... masih mau mangelak?" tuding pria bertubuh gemuk tersebut.
"A... apa? Astaga!" Pria itu panik, segera memasangnya dengan benar. Saking takutnya dengan gelap, membuat ia lupa tadi.
Kinara membulat kan bola matanya, ia menggeleng sekali lagi sembari mengangkat ke-dua tangannya di depan dada. Terlebih saat para warga sudah saling melontarkan opini mereka, yang menyakini jika keduanya telah melakukan mesum.
"Sungguh pak. Demi Tuhan, kita tidak berbuat apa-apa. Tadi itu?"
"Alllaaaaaahhh, tidak usah berkelit lagi.... kita bawa saja mereka ke rumah pak RT." Sang pria gemuk itu terus saja melontarkan kalimat provokasi, pada para warga membuat Kinara dan pria asing itu semakin kalang kabut.
"Tolong tenang, bapak-bapak. Saya mohon, untuk mempercayai kami. Sungguh kami tidak berbuat apa-apa, gesper saya tak terpasang karena tadi habis dari kamar kecil, setelah itu?"
"Diam kau! Sudah kepergok mesum masih berusaha mengelak lagi...."
Buaaaaaakkk.... Salah satu pria lain, menghajar wajahnya.
"Kyaaaaaaaa...! Bapak-bapak, tolong jangan pukul mas ini. Kami bersumpah... demi Tuhan. Kami benar-benar tidak berbuat apa-apa pak."
Kinara mulai menitikkan air matanya, rasa takut sekaligus malunya sudah semakin menguasai.
Salah seorang bapak-bapak lainnya lagi, menarik baju sang pria, mencengkeram erat.
"Pilih yang mana? Kau mau kami membawamu ke kantor polisi, atau pertanggungjawabkan perbuatanmu?"
"Saya benar-benar tidak melakukan apapun pak... namun jika saya di minta untuk bertanggung jawab? Maka saya akan mempertanggungjawabkannya," jawabnya.
Kinar menoleh, apa maksudnya tentang bertanggung jawab? Apa pria itu mau di hakimi masa? Kinar semakin ketakutan.
"Kalau begitu, kalian berdua ikut kami."
"Ki– kita mau di bawa kemana, pak? Sungguh jangan apa-apakan kami. Kami tidak berbuat mesum pak, demi Tuhan." Kinar memundurkan langkahnya, menolak. Namun, pria bertubuh gemuk itu menyeretnya paksa.
Mereka pun di gelandang ke sebuah rumah sederhana.
Rumah ketua RT di kawasan tersebut.
–––
Sungguh perasan takut bercampur malu masih berkecamuk di benak Kinara. Pria ini sama sekali tidak ia kenal, namun dengan apesnya dirinya di tuduh melakukan tindak asusila di dalam warung.
Sehingga membuat ketua RT tersebut meminta pria itu untuk menikahi Kinara malam ini juga. Sesuai dengan musyawarah yang di setujui para warga.
Pria asing yang duduk di sebelah Kinara nampak pucat pasi. Terdiam cukup lama untuk menjawab tuntutan itu.
"Bagaimana?" tanya Ketua RT tersebut. Pria itu pun mengangkat kepalanya. Melihat kesekeliling lantas menoleh kearah gadis yang tertunduk lesu, di samping. Setelah itu menghela nafas, kembali menatap sang ketua RT.
"Baiklah. Saya akan menikahinya malam ini," jawab pria tersebut, kemudian.
Mata Kinara membulat. Ia menoleh ragu-ragu, Pria itu lantas mengembangkan senyum tipis kepadanya.
Ya Tuhan. Mungkin, aku memang sudah saatnya menikah. Namun tidak dengan cara memalukan seperti ini. (Kinar)
wanita itu tertunduk lagi, air matanya menitik seketika. Hingga beberapa saat kemudian. Pria itu menjabat tangan seorang pemuka agama. Ia berikrar di hadapan pak RT juga orang banyak yang turut menjadi saksi.
Beberapa diantara warga yang menyaksikan juga mengambil foto mereka, disertai tawa mengejek.
Kinara mengepalkan tangannya. Ia benar-benar ingin merebut ponsel mereka, dan membantingnya hingga hancur.
Sekejam itukah? Menganggap suatu musibah yang tak semestinya terjadi, menjadi sebuah tontonan. Bahkan malah di abadikan? manusia jaman sekarang memang sudah putus urat nuraninya. lebih mempercayai apa yang mereka lihat sekilas, dari pada mendengarkan sebuah penjelasan.
Kinara sudah tidak bisa menampung air matanya saat semua saksi mengesahkan mereka.
"Kalian baru sah secara agama ya? Belum secara hukum. Akan lebih baik jika kalian mengurus ini ke KUA," ucap sang pemuka agama, tersebut.
"Terimakasih pak Kyai," jawab pria tersebut, lantas menoleh ke arah Kinara dengan tatapan merasa bersalah.
–––
Mereka pulang ke sebuah hunian yang bisa di bilang cukup sederhana.
Kinara membuka kunci rumah tersebut.
"Silahkan masuk mas," titahnya lesu.
Pria itu berjalan masuk. Pandangannya langsung menyoroti bagian ruang tamu di rumah tersebut, sepertinya hampir semua sudut tak luput dari pandangannya.
"Silahkan duduk mas."
Kembali fokus pada Kinara yang sudah duduk di sofa usang, ruang tamu sederhana itu.
Ragu-ragu, ia duduk di sebelah Kinara. Berjarak hampir satu meter. memandangi gadis yang masih tertunduk di sebelahnya, sembari sesekali mengusap air mata yang tak bisa ia hentikan.
Tangannya sedikit terangkat namun kembali turun. Ia ingin menenangkan nya, namun tidak berani.
"Maafkan saya, Mas. Jujur, saya malu karena hal ini," Isaknya, ketika tak lagi mampu menampung air matanya. Pria itu terdiam.
"Saya tahu. Ini tidak semestinya terjadi pada kita. Mas, seharusnya menolak tadi... Atau mungkin? Mas bisa menalak saya sekarang juga." Kinar mencoba untuk menenangkan dirinya sejenak. "Lantas pergi," sambungnya lirih.
Pria itupun mengulurkan tangannya, membuat kepala Kinara terangkat.
"Ini?"
"Ayo jabat tangan ku."
"Tapi?"
"Ayo jabat... tidak apa," bujuknya lagi. Perlahan, Kinara menjabatnya. "Saya Tara," ucapnya lembut.
"Mas Tara?" Mengingat-ingat, tadi pria itu menyebutkan namanya Tara juga. Walaupun tak di sebutkan nama belakangnya. Namun kata sang pemuka agama itu tidak masalah, tetap akan sah.
Tara tersenyum, ia mengangguk pelan. Lalu mengangkat tangan itu. Mendekat ke bibir Kinara, sehingga gadis itu bisa mengecup punggung tangannya.
Kinara sedikit tertegun saat bibirnya menyentuh punggung tangan yang halus dan putih bersih itu.
"Kita jalani dulu saja... biarkan mengalir seperti air. Karena jika aku langsung meninggalkan mu, semua warga pasti akan mengecam mu, Kinar."
Gadis itu masih menatapnya bingung.
"Tapi... tapi kita, 'kan?"
"Saya tidak akan menyentuh mu kok. Sampai kita benar-benar yakin. Saya janji," ucapnya.
"Jalani? Yakin? Tunggu, aku tidak bisa mencernanya."
"Maksud saya. Saya sama sekali tidak merasa keberatan dengan pernikahan mendadak ini."
Kinar terdiam lagi, sorot matanya menandakan bahwa ia masih tidak mengerti.
"Intinya, kita akan tetap menjalani ini sebagaimana semestinya. Kalau sudah ada keyakinan, kita bisa melanjutkannya. Saya hanya tidak ingin, kau mendapatkan masalah sosial setelahnya. Ini wujud tanggung jawab saya padamu."
Air mata kinar semakin menderas. "Apa aku bisa mempercayai mu, mas?"
"Akan saya usahakan. Sekarang tenangkan dirimu. Jangan takut, ya. Saya tidak akan macam-macam kok."
Kinar tersenyum, ia mengusap air matanya sembari mengangguk-angguk.
"Di sini ada kamar lagi, selain kamar mu, 'kan?" tanya Tara.
Kinar mengangguk. "Tapi kotor, karena lama tidak di gunakan. Kamar bekas ayah ku."
Tara mengusap-usap kepalanya. "Kalau begitu malam ini saya tidur di sofa ini saja," ucapnya.
"Mas yakin?"
"Iya lah. Sangat yakin."
"Anu... kalau mas ingin pergi? aku Benaran tidak apa-apa loh. Soalnya aku cuma gadis penjual kopi."
Sedikit tertawa. "Saya sudah bilang, kita jalani dulu saja. Lagi pula aku kan hanya seorang supir taksi online. Kita sederajat."
Kinar masih ragu. Bisa jadi kan, pria ini berbohong. Pria setampan ini, tangan yang halus, dan tubuh yang putih bersih. Masa iya dia orang yang sederajat dengannya.
"Kinara—" panggilnya.
"I...iya mas."
"Percayalah... Saya tidak akan membuat mu merasa merugi. Saya bersumpah, tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh padamu. Sampai keyakinan ada di hati kita. Bagaimana? Mau kan menjalaninya?" tanya mas Tara.
Perlahan kepala itu mengangguk. Ya mau bagaimana lagi, ia juga tidak ingin di hujat banyak orang. Karena kabar cinta satu malamnya.
Jadi ya sudah lah jalani saja, pria ini terlihat tulus juga.
"Emmm... Saya agak risih dengan baju yang masih sedikit basah ini, Kinar. Kau ada baju yang bisa dipinjam?"
"Ada sih, baju bekas mendiang ayah ku. Mas mau pakai?"
"Boleh deh, dari pada pakai baju basah seperti ini."
Kinara pun beranjak ia masuk ke dalam kamar ayahnya.
Sedangkan Tara masih saja mengamati Kinar yang sudah menghilang dari pandangannya.
Ia pun menghela nafas.
Bagaimana ini? Tiba-tiba aku sudah beristri? Gumamnya dalam hati. Ia pun menyandarkan kepalanya di sandaran sofa usang tersebut.
Hingga tak lama Kinara keluar membawakan setelan baju yang setidaknya paling cocok lah untuk pria yang sudah menjadi suaminya itu.
Setelah mengganti pakaian? Tara langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan bantal dan selimut yang di berikan Kinara. Tubuh yang benar-benar lelah, membuatnya ingin segera tertidur.
"Terimakasih Kinara. Kamu tidur ya, sudah malam," ucapnya.
"Iya mas," gadis itu berjalan menjauh. Ia ingin mengucapkan selamat malam pada pria yang sudah menutupi wajahnya dengan lengan. Namun ragu, ia menggeleng cepat sembari tersenyum, lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.
Malam panjang pun mereka lalui dengan status yang tiba-tiba berubah. Seperti mimpi rasanya, tidak ada persiapan apapun.
Tiba-tiba saja Dia sudah sah memiliki suami. Kinara dan Tara sama-sama masih canggung antar satu sama lain.
Saat ini mereka hanya berusaha menjalaninya dan menunggu apa yang akan terjadi setelahnya. Dengan harapan, semoga kebaikanlah yang menyertai mereka. Sebagai balasan baik, karena harus bertanggung jawab atas apa yang tak mereka lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Dewi Purnamawati
menarik ceritanya
2024-05-08
3
Rohana
iya,,saya aja sudah 2kali baca ny tapi pengen baca terus karna seru
2024-03-31
0
Agnes Giesiani
alurnya bagus dan seru
2024-01-21
0