...Jantungku berpacu kencang saat bertemu denganmu!...
...♥¡♥¡♥¡♥...
Kini, aku sedang berada di tempat yang menurutku adalah tempat yang paling aman di dunia ini. Ya ... sekarang aku sedang meringkuk di ranjang sambil memegangi jejak tamparan dari ibu tadi.
“Kenapa tidak ada yang percaya kepadaku. Sebenarnya—apa salahku kepada kalian ...?" batinku dengan mata berkaca-kaca.
Tak terasa bulir-bulir air mata mulai mengalir dari sudut mataku. Aku tidak bisa membendungnya lagi. Isak tangisku—pecah dan menggema di kamar sunyi ini. Semua barang yang ada di sini adalah saksi bisu penderitaanku.
Aku terus menangis sesegukan hingga tak sadar bahwa hari sudah mulai gelap. Jam analog telah menunjuk pukul 18.00, menandakan bahwa malam sudah semakin larut.
Aku segeta menghapus air mataku dan kemudian menarik selimut berwarna hijau tosca pemberian paman—untuk menjagaku agar tetap hangat di tengah hawa dingin Kota Tokyo.
Aku memejamkan mataku yang terlihat membengkak. Hhh ... aku harus mempersiapkan diri untuk penderitaanku besok.
...\=×\=×\=×\=×\=...
Sinar mentari menembus jendela kamarku. Para ayam telah berkokok. Pagi telah tiba. Aku terbangun dengan mata yang masih agak mengantuk.
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara seseorang berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar.
“HEI! BANGUN, DASAR PEMALAS!" ketus seorang wanita paruh baya dari luar. Sontak hal itu membuatku kaget. Aku bergegas turun dari ranjang dan membuka pintu.
Ceklek!
Aku membuka pintu. Seperti yang sudah aku duga, wanita yang berteriak tadi adalah ibuku. Raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan, seolah memancarkan aura kemarahan yang sangat pekat.
“Kamu ini! LIHAT, INI SUDAH JAM BERAPA?! KENAPA KAMU MASIH TIDUR?!" hardik ibuku yang berhasil membuat keringatku bercucuran.
“Gomennasai!" Aku membungkukan badan seraya meminta maaf.
“Cepat mandi sana!" perintah ibu sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
Aku mengubah posisi badanku yang semulanya membungkuk—menjadi tegak. Dengan langkah berat—aku berjalan mengambil handuk dan pergi mandi. Selepas mandi, aku masuk ke kamar, untuk memakai seragam dan sepatu.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan. Saat hendak duduk, tiba-tiba saja ibu berteriak.
“Heeehh ... apa yang ingin kau lakukan?" tanya ibuku.
Sontak pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu membuatku bingung.
“Aku ingin sarapan, Bu," ungkapku.
“Tidak boleh. Lihat jam itu! Ini sudah kesiangan!" terang ibu.
“Tapi, Bu. Aku lapar," ujarku sambil memegangi perutku yang keroncongan.
Namun bukannnya merasa kasihan, ibu malah memperlihatkan wajah murkanya yang menyeramkan itu untuk sekian kalinya. Aku yang mengetahui maksud dari tatapan itu pun langsung mengurungkan niat untuk sarapan dan langsung berjalan menuju sekolah.
“Aku berangkat!" teriakku sambil berjalan langkah demi langkah.
Akan tetapi, aku tidak mendengar suara ibu yang menyahut teriakanku ini. Ah sudahlah, hal ini memang sudah biasa terjadi. Aku tidak boleh terlalu berharap kepada sesuatu yang mungkin mustahil.
Saat sampai di sekolah, aku pun langsung duduk di bangku paling pojok kanan—di dekat jendela. Ya begitulah hidupku ... mengurung diri dari siapapun. Karena bagiku ... semua orang adalah malaikat pencabut nyawa.
Bel masuk sekolah telah berbunyi. Murid kelas 1-F yang adalah kelasku, bersiap untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Tak lama kemudian, seorang guru masuk ke dalam kelas.
"Ohayou, Minna!" sapa Mai Hikaru, wali kelasku.
“Ohayou Gozaimazu, Sensei!" semua murid membalas sapaan Bu Mai.
“Semuanya, hari ini kita kedatangan teman baru," ujar Bu Mai sambil tersenyum.
Jelas hal itu membuat para murid menjadi gaduh. Mereka penasaran dengan sosok murid baru ini. Tapi, aku tampak tidak peduli. Lagipula aku juga tidak akan bisa akrab dengannya. Aku hanya memalingkan wajahku ke jendela untuk melihat suasa pagi di luar sekolah.
“Hei! Ssstt .... Semuanya mohon diam!" Beliau menyuruh murid-murid untuk diam. "Baiklah, silahkan kesini, masuk!" Bu Mai memanggil seseorang yang kini telah menunggu di luar.
Tap ... tap ... tap ...
Kemudian, seorang laki-laki dengan sebuah headseat yang mengalung di leher serta menggunakan sepatu hitam dan bergaris putih masuk ke dalam ruangan. Laki-laki itu terlihat cukup tinggi. Dia lalu berhenti di samping Bu Mai.
“Ini adalah teman baru kalian. Nak, bisakah kamu memperkenalkan diri kepada teman-teman semua?" pinta Bu Mai.
“Baik, Bu. Ohayou, Minna! Perkenalkan, aku adalah Rey Tachibana. Kalian bisa memanggilku Rey. Salam kenal!" Laki-laki itu memperkenalkan dirinya.
Tunggu dulu ... dia tadi bilang Rey ...? Bukankah dia adalah laki-laki yang membantuku kemarin ...? Aku langsung mengubah atensiku dan melihat wajah laki-laki itu. Dan ternyata ... dia memang Rey yang kemarin membantuku di supermarket.
“Baiklah Rey. Kalau begitu kamu duduk sana! Karena pelajaran hampir dimulai," suruh Bu Mai kepada Rey.
“Baik, Bu. Tapi, dimana aku harus duduk?" tanya Rey bingung.
"Hmmm ...." Bu Mai pun mencari-cari bangku kosong untuk tempat Rey. “Ha ... itu disana. Bangku paling belakang di barisan dua dari kanan," ujar Bu Mai seraya menunjuk bangku yang dimaksud.
Eh tunggu sebentar ... bangku paling belakang dan barisan dua dari kanan. Heeeee ... bukankah itu bangku yang ada di sebelahku. Oh tidak ... aku harus bagaimana ini ...?
“Oh ... Arigatou Gozaimazu, Sensei!" Rey membuat badannya menjadi sedikit condong ke depan untuk berterima kasih.
Rey berjalan menuju bangku yang ada di sebelahku. Tidak ... tidak ... tidak ... kenapa jantungku berdegup kencang. Arghhh ... kenapa perasaanku berubah menjadi aneh. Hahh ... Rey sudah dekat, apa yang harus kulakukan ...? Ah aku tau ....
Rey duduk di bangku sebelahku. Namun, dia tidak melihatku karena aku menutup wajahku dengan menggunakan buku. Tapi tiba-tiba aku merasa ada yang menegurku.
“Hei!" tegur Rey.
“Kyaaa ...!" Aku terkejut saat Rey menegurku.
“Ah maaf, aku mengejutkanmu, ya?" Rey menatapku yang wajahnya masih tertutup buku.
Aku hanya menggelengkan kepala. Karena, jika aku menjawab pertanyaanya, maka mungkin Rey akan mengenali suaraku. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi. Bisa-bisa wajahku memerah karena salah tingkah.
“Hmm ... kau tidak ingin diganggu, ya? Baiklah kalau begitu ...." Rey kembali duduk di tempatnya sambil mencatat materi yang kini sedang diterangkan oleh Bu Mai.
Sementara aku masih ragu untuk menampakkan wajahku. Tapi, jika aku begini terus, maka aku tidak akan bisa menulis materi. Lalu, aku harus bagaimana?
Saat sedang bingung harus berbuat apa, tiba-tiba Bu Mai berteriak kepadaku.
“Hei, Ai! Kenapa kamu tidak mencatat materi yang dituliskan di papan tulis ...?" Bu Mai berteriak seraya menunjukku dengan menggunakan spidolnya.
Semua murid di kelas menatapku, termasuk Rey. Haah ... jika aku merespon Bu Mai, maka sudah pasti aku akan memperlihatkan wajahku yang asli. Tapi ... tidak ada pilihan lain. Daripada aku harus kena hukuman.
Aku menampakan wajahku dan menjawab Bu Mai.
“Su-sudah kok, Bu. Aku sudah mencatatnya," ujarku sambil cengengesan.
“Ha ...?! Bukankah itu Ai ...?" gumam Rey yang ternyata masih mengingatku.
Dia menatapku seolah masih tak percaya. Rey tolong jangan menatapku seperti itu! Bagaimana ini? Jantungku berdegup tidak karuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
X.in [iKON]
GO GO!
2021-04-26
0
Senja Cewen
Ganbate ai
2021-04-10
0
~❤️Leon pacarnya heewon💛~
semangat kak
2021-03-28
1