Setelah Bimantara menghilang tanpa jejak di lorong apartemen, tanpa menjawab pertanyaannya dan malah membawa pertanyaan baru, Genta teringat pada sesuatu. Ia ingat kalau Mada tahu, dengan siapa ia berurusan. Pemuda itu pasti tahu siapa pemimpin geng preman itu. Pertanyaan Genta menemukan titik terangnya. Demi mendapatkan jawaban setidaknya untuk satu pertanyaannya itu, Genta menelpon Mada.
"Halo! Apa?!" Mada menjawab telepon Genta dengan nada malas.
"Halo, Da! Gue mau ngomong sama lo. Penting, serius. Ketemuan ya?!" pinta Genta dengan nada cemas, khawatir, tidak sabar, dan entahlah apa lagi yang ia rasakan. Hampir semuanya tercampur.
"Eh sabar sabar. Oke mau ketemu. Kapan?" "Sekarang!" "Hah?! Sekarang banget? Dimana?" tanya Mada heran. Baru kali ini ia mendengar sahabatnya panik seperti itu.
"Iya, sekarang. Di Starbuck depan apartemen gue. Cepetan gue tunggu!" "Oke bentar. OTW."
Hari semakin gelap, sambil menatap langit sore itu, Genta menghela nafas panjang. Ia segera turun dan menuju tempat yang ia katakan pada Mada. Ia duduk di salah satu sudut kafe itu. Kakinya terus ia goyangkan. Gugup, bingung, khawatir, semua bercampur menjadi satu. Mungkin dengan cara ini, ia akan menemukan satu titik terang untuk semua masalahnya.
"Ta! Genta!" sapa Mada sambil berjalan mendekati meja Genta.
"Nah, datang lo akhirnya!" seru Genta memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tenang dan santai.
"Lo kenapa woi? Ampe keringat dingin gitu. Habis dikejar setan lo?" Mada masih sempat-sempatnya bercanda.
"Sumpa Da. Kali ini, kali ini aja, serius. Gue harus nanya sama lo, dan ini penting. Lo kemarin kan bilang kalau orang yang gue hajar di restoran itu anggota kelompok gangster terkenal. Lo tahu nggak nama pemimpin gangster itu siapa?" tanya Genta, tatapannya serius. Mada yang tadinya santai juga jadi serius karena permintaan Genta.
"Kalau gue nggak salah ingat ya. Namanya itu Aji Ha... Ha... Ga tahu lah, pokoknya terkenalnya Aji aja. Emang kenapa? Katanya nggak takut." "Ingat ingat dong, Aji siapa?" Genta belum puas dengan jawaban Mada.
"Ehhmmmm, siapa ya? Ha... Ha... Nah iya, gue inget. Aji Hariwangsa!" seru Mada, senang akhirnya bisa menemukan nama itu.
"Ha-Hariwangsa?! ******! Gila! Mati gue!" seru Genta panik. Ia memukul pegangan kursinya.
Hariwangsa. Ya, nama itu adalah nama yang sama dengan nama orang yang muncul dalam mimpi Genta beberapa waktu lalu. Mungkinkah mereka adalah orang yang sama? Atau ini hanya kebetulan saja?
"Heh! Heh! Kenapa lo?! Panik amat! Pakai pukul-pukul kursi lagi, bikin kaget aja lo!" seru Mada kesal.
"Hariwangsa. Hariwangsa. Nama itu pernah muncul di mimpi gue." Genta mengambil telepon genggamnya, dan entah melakukan apa pada benda hitam berukuran 7 inci itu.
"Mimpi? Mimpi apa?!" "Da, sorry. Sorry banget! Gue nggak bisa cerita sekarang. Tapi gue janji nanti bakal gue ceritain semuanya. Sekarang gua ada urusan, gue pergi dulu." Genta langsung berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Menyisakan Mada yang masih duduk terpaku dengan wajah bingungnya, dan segelas es Hazelnut Latte yang masih penuh.
'Hariwangsa. Aji Hariwangsa. Kenapa bisa orang yang musuhan sama gue sekarang namanya sama kayak nama orang yang ada di mimpi gue? Bimantara, gue butuh lo datang sekarang. Gue butuh jawaban!' batin Genta. Kakinya terus melangkah entah kemana, ia mencari pelampiasan karena belum siap untuk bercerita pada Mada.
Ia sangat bingung. Kekhawatiran melanda dirinya, membuatnya amat tidak tenang. Genta berharap laki-laki aneh bernama Bimantara itu akan muncul lagi di hadapannya. Tapi kemudian ia berpikir, selama ini kehadiran pria itu tak pernah membantunya, justru semakin memperkeruh keadaan dengan teka-teki baru yang ia bawa. Genta tak punya pilihan lain, ia harus mencari jawabannya sendiri.
***
Di tempat lain, di sebuah ruangan seperti gudang pabrik yang ukurannya cukup besar, seorang pria duduk santai di kursi besar.
"Bos, Kardi sama teman-temannya nggak bisa bawa bocah itu ke sini." Seorang preman masuk dan mengatakan sesuatu pada pria yang duduk itu.
"Gobl*k! Masa bawa bocah satu gitu doang nggak bisa?!" teriak pria itu marah.
"Sorry Bos! Tapi katanya dia kuat banget. Badannya sih nggak seberapa, tapi dia gesit. Pukulannya kenceng. Ssekali pukul aja, bisa mampus kita Bos." Preman itu ketakutan mendengar teriakan bosnya. Pria di balik kursi besar itu meremas pegangan kursinya. Ia sangat marah.
Aji Hariwangsa, begitulah orang biasa memanggilnya. Seorang mafia pelabuhan, pemimpin kelompok gangster yang sangat ditakuti di Ibu Kota. Anak buahnya begitu banyak. Tak ada yang pernah tahu dari mana dia berasal, siapa keluarganya, atau bagaimana latar belakangnya. Ia hanya tiba-tiba muncul ke permukaan karena kekerasan yang ia lakukan. Yang orang tahu, ia adalah gangster yang mematikan. Siapapun yang masuk ke wilayah kekuasaannya, tak akan pernah bisa kembali hidup-hidup.
Dan sangat disayangkan, targetnya kali ini adalah Genta. Hanya karena keributan kecil di restoran beberapa hari lalu, Genta bisa saja mati sia-sia di tangan pria yang satu ini. Genta memang tidak menyukai orang yang suka membuat keributan. Tapi kali ini sepertinya ia salah orang. Yang dia lawan adalah adik angkat Aji Hariwangsa, Aldi.
"Heh, dengar ya! Gue nggak mau tahu. Siapapun yang berani ngehajar adik gue, harus berurusan sama gue. Cari itu bocah sampai dapat! Seret ke sini, hidup atau mati. Berapa orang pun, kalau perlu semua tukang pukul yang kita punya, bawa semua. Hajar itu bocah, bawa ke sini! Ngerti lo?!' bentak Aji.
"Ngerti Bos. Gue pamit." Preman itu pergi meninggalkan Aji di ruangan besar yang kosong itu.
"Siapa dia? Empat, lima, enam orang bisa dia hajar sampae mampus. Sendirian lagi. Atau jangan-jangan..." ucap Aji terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah, dari marah menjadi takut. Ia seperti sedang mengingat sesuatu yang kelam. Entah apa yang membuat tubuh kekar dan besarnya itu menciut memikirkan hal yang entahlah itu apa.
Ia mengeluarkan telepon genggamnya dan menelpon seseorang. Rupanya orang itu adalah preman yang sama yang tadi mengahadapnya. Aji menyuruh orang dan memaksanya untuk benar-benar menangkap orang yang sudah menyerang adiknya, Aldi. Kalau mereka gagal, ia akan menghukum mereka semua, katanya dalam telepon itu. Ketakutan terlihat jelas di wajah gangster mengerikan itu.
"Bang kenapa lo ketakutan gitu?" Seorang pria dengan wajah babak belur masuk ke dalam ruangan kosong dan minim cahaya itu.
"Heh, Al. Ngapain lo kesini? Istirahat sana!" Rupanya pria itu adalah Aldi, adik Aji Hariwangsa yang Genta hajar sampai babak belur seperti itu.
"Nggak apa-apa Bang. Gue bosen. Lo kenapa ketakutan gitu?" "Ng-nggak apa-apa. Udah lo balik ke kamar sana! Gue masih banyak kerjaan." Aji mencoba mengelak dari pertanyaan adiknya itu.
Ketika Aldi keluar dari ruangan itu, keringat besar-besar, sebesar biji jagung mengucur deras dari dahi Aji. ia tampak takut, tapi tak ada yang tahu apa yang ia takutkan. Padahal selama ini ia terkenal tak punya rasa takut dan tak kenal ampun. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments