Sebagai seorang sahabat, George tak ingin jika sahabatnya Davis merusak hubungan harmonis rumah tangga mantan kekasihnya hanya demi kesenangan pribadi. Meskipun ia ingin melihat kembali kebahagiaan Davis, tapi tentu saja menggunakan jalan lain.
“Jangan pernah kau berpikir untuk merusak rumah tangga orang lain! Carilah wanita selain dia, masih banyak yang cantik dan baik di Finlandia. Jika kau mau, aku akan membantumu mencari,” nasihat George lagi. Meski sudah banyak wine yang ia minum, tapi kesadarannya masih melekat. Tingkat toleransi alkoholnya sangat tinggi.
“Kau terlalu banyak bicara!” Davis menjejalkan segenggam potato chips ke mulut sahabatnya hingga George yang akan memberikan nasihat lagi kepada Davis tak dapat berucap.
Ketika George akan berbicara setelah berhasil menelan potato chips dengan susah payah, ponsel miliknya berbunyi. Ia berdiri menjauh dari Davis, lalu mengangkat teleponnya. Membiarkan Davis menuangkan dan meminum alkohol sendirian.
“Aku harus pulang, kau jangan keluar karena menurut perkiraan cuaca malam ini akan terjadi badai salju,” pamit George, ternyata yang menelpon adalah kekasihnya meminta dia untuk pulang karena baru saja menonton siaran berita cuaca dan menghawatirkan George. Ia memakai kembali jaket tebal yang dilepas ketika masuk ke dalam penthouse dan mengambil kunci mobilnya, lalu pergi meninggalkan Davis seorang diri.
“Pergilah ... pergilah ... semua orang pasti akan pergi meninggalkanku sendirian.” Davis mengibaskan tangannya. Entah ia mendengarkan ucapan George tentang perkiraan cuaca malam ini atau tidak.
Setelah kepergian sahabatnya, Davis meminum wine langsung dari botolnya seperti orang meminum air mineral yang tengah kehausan. Namun ia bukan tengah kehausan, melainkan sedang meratapi kehidupannya yang dilampiaskan dengan meminum wine.
“Sial! Sudah habis,” rancaunya ketika wine yang ada di tangannya telah tandas tak menyisakan setetes pun. Ia lemparkan secara asal botol kosong itu ke lantai.
Entah sudah berapa banyak wine yang dihabiskan, banyak botol berserakan di ruang tengah penthouse. Seolah tak ada puasnya ia minum, dia berjalan ke dapur untuk mengambil wine lagi. Tangannya membuka salah satu lemari penyimpanan, kosong. Habis sudah persediaan minuman alkoholnya, semua sudah diminum.
“Sepertinya aku harus membuat ruang penyimpanan khusus wine yang sangat besar,” seloroh Davis dengan nada seperti orang gila khas dengan cekikikannya dan menggerakkan kedua tangan membuat bulatan besar.
Tak ada yang bisa Davis lakukan lagi, sendiri tanpa teman di penthouse sebesar setengah lapangan sepakbola itu. Semuanya perlahan meninggalkannya, bahkan sebotol wine pun tak ada yang sudi menemaninya.
Bosan, itulah yang ia rasakan kini. Hanya berdiam diri, ingin tidur pun mata tak mendukung. Terlalu sering meminum wine membuat toleransi alkoholnya tinggi.
“Lebih baik aku keluar saja mencari udara segar.” gumam Davis.
Dengan keadaan sedikit mabuk, ia mencari-cari kunci mobilnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, kakinya langsung menuntun menuju basement dan menancap gas mobil, keluar tanpa tujuan jelas.
Sepertinya Davis tak pernah menonton perkiraan cuaca atau mengecek weather yang ada di ponselnya. Bulan November merupakan musim salju. Kaca mobilnya dipenuhi dengan salju yang turun. Awalnya hanya sedikit, namun semakin lama Davis melaju, salju pun turun semakin deras.
Ia baru menyadari jika sepanjang perjalanan tak melihat satu pun kendaraan yang melintas. Jalanan pun sudah semakin tertutup oleh setumpuk es berwarna putih akibat badai salju.
Ternyata Davis tak mendengarkan apa yang dikatakan George ketika berpamitan pulang. Kini ia harus terjebak di dalam mobil yang tak bisa bergerak. Ban mobil sudah tertutup oleh salju tebal.
“Sial! Mengapa tak ada satu pun orang yang memperingatkanku jika akan ada badai salju, bahkan televisi dan ponselku pun tak mengingatkanku!” umpatnya menyalahkan siapa saja akibat kebodohannya sendiri yang terlalu kalut dalam kesedihan hingga melupakan hal penting yang harus diperhatikan sebagai penduduk di negara dengan empat musim.
Jaket yang tak seberapa tebal itu tak dapat mengurangi rasa dingin yang menusuk menembus hingga ke kulit. Davis terus menggigil di dalam mobil sendirian. Ingin keluar lalu berjalan kaki menuju penthousenya tapi ia urungkan karena itu tak mungkin. Kini ia sudah terlalu jauh dari kediamannya. Ingin mencari penginapan juga tak mungkin, sebab jalan yang ia lalui semuanya adalah bangunan ruko tak ada penginapan satu pun.
“Betapa malangnya diriku, bahkan disaat terakhirku pun aku sendirian,” gumamnya sembari mengigil. Ia sudah pesimis dengan keadaan dirinya saat ini. Ia hanya berharap akan ada orang yang melihat dan menolong. Jujur saja, ia belum ingin mati karena belum menemukan orang yang membantai keluarganya dan belum membuat orang-orang yang pernah menghinanya menyesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Yuli Yanti
mamfir lgi thor,aq suka sma crita nya
2024-02-29
0
🌺Ulie
😘
2023-12-29
0
Borahe 🍉🧡
hadewwh ayo dong bangkit
2023-11-14
0