Tiba saatnya Break makan siang…
Maureen menghampiri Diana yang sedang mengobrol dengan pria yang tadi, sepertinya mereka baru kenal tapi mereka terlihat begitu lengket.
“Diana, sepertinya aku harus pulang sekarang, aku sudah janji dengan ibu mertuaku,” kata Maureen.
“Aduh gimana ya, soalnya aku masih harus ikut acara ini sampai sore,” sahut Diana.
“Ya sudah aku pakai taxi saja,” ucap Maureen.
“Maaf ya Maureen,” kata Diana.
“Iya tidak apa-apa,” jawab Maureen. Diapun menghampiri ayahnya yang masih duduk dikursinya dengan Mr. Edward dan yang lainnya.
“Daddy!” panggil Maureen. Ayahnya menoleh padanya, begitu juga dengan Edward.
“Aku akan pulang duluan, aku ada janji dengan Mommy Elsa,” jawab Maureen.
“Kau pulang dengan siapa?” tanya Mr.Arnold, menatap putrinya.
“Sendiri saja,” jawab Maureen. Mendengarnya membuat Edward merasa tidak enak, masa Maureen pulang sendiri.
“Mac! Mac!” panggil Edward pada Mac yang sedang berbicara dengan temannya.
Pria muda itu menoleh pada ayahnya, dilihatnya Maureen juga ada disana. Apalagi ini? Batinnya.
“Kemarilah,” panggil Edward. Mac segera menghampiri Edward, tanpa menoleh pada Maureen.
“Maureen akan pulang, kau antar pulang,” kata Edward.
“Tapi Daddy aku sedang ada urusan dengan temanku,” tolak Mac.
Tiba-tiba James datang menghampiri mereka.
“Sayang, tidak apa-apa kau pulang saja, sekalian kau lihat rumah yang sudah Daddy beli buat hadiah pernikahan kalian. Mampir dulu kesana, Daddy sudah kontak developernya, rumahnya bisa langsung di tempati kalau kalian suka,” kata James, menatap putranya. Mac hanya diam saja, begitu juga Maureen.
“Lihat lihat sebentar baru kalian pulang, tidak jauh lokasinya, kalian pasti suka,” lanjut James, masih menatap putranya sambil tersenyum.
Mac merasa kecewa, dia mencari-cari alasan supaya tidak mengantar Maureen malah ayahnya menyuruh melihat rumah baru.
“Alamatnya Daddy kirim ya,” kata James sambil membuka handphone-nya.
Raut muka Mac berubah masam, sedangkan Maureen hanya diam saja, dia sudah tahu kalau Mac tidak mau mengantarnya pulang apalagi harus melihat rumah mereka segala.
Mr, Arnold tampak tersenyum senang, putrinya sangat diperhatikan keluarga suaminya. Edward menoleh padanya dan tersenyum.
“Nanti kalau mereka sudah pindah kita lihat rumah mereka,” usul Edward.
“Ya nanti aku juga akan melihat kesana,” kata Mr.Arnold.
“Alamatnya sudah Daddy kirim, kau kesana dengan Maureen,” ucap James pada Mac.
Walaupun tidak mau, dengan berat hati Mac mengangguk, dia melirik Maureen sebentar lalu berjalan meninggalkan mereka. Maureen segera mengikutinya dengan langkah lesu.
Setelah Mac dan Maureen pergi, Edward bangun dari duduknya, menarik tangan James menjauh dari orang-orang yang berkumpul itu.
“Ada apa?” tanya James, menatap Edward keheranan.
“Apakah mereka baik-baik saja?” tanya Edward pada James, menatap pria itu dengan serius.
“Entahlah, aku merasa mereka tidak baik-baik saja,” jawab James.
“Aku tidak mau Mac acuh begitu pada istrinya, kita akan merasa tidak nyaman pada Mr.Arnold,” kata Edward.
“Kau benar. Kenapa Mac seperti itu ya?” gumam James, tampak sedang berfikir. Lalu matanya beralih menatap Edward.
“Apa maksud tatapanmu? Kau mau bilang dia mirip denganku? Sifatnya menurun dariku?” tuduh Edward, seakan mengerti apa yang difikirkan oleh James.
“ Tapi memang seperti itu,” jawab James, membuat Edward kesal.
“Dia kan anakmu,” sanggah Edward.
“Tapi dia seperti anakmu, kau kan yang membesarkannya, wajah dan badannya saja yang mirip denganku,” ucap James.
“Apa maksudmu berkata begitu? Aku tidak mendidiknya supaya kasar pada wanita,”gerutu Edward, dia tidak merasa ketus pada istrinya, dia sangat mencintai istrinya.
“Ya kau terlalu lembut pada setiap wanita,” jawab James, kembali berjalan menghampiri Mr.Arnold dan rekan-rekannya yang lain.
“Terlalu lembut pada setiap wanita… sekarang hanya pada istriku saja,” gerutu Edward. Diapun berjalan mengikuti langkahnya James.
Disepanjang jalan tidak ada yang bicara sepatah katapun. Mac focus menyetir dengan mobil Edward, sedangkan Maureen menatap ke samping jendela mobil itu.
Mac menghentikan mobilnya, membuka handphone-nya, lalu diberikan pada Maureen.
“Aku tidak tahu alamat ini, kau tahu tidak?” tanya Mac dengan ketus, sambil memberikan handphone-nya. Maureen menerimanya dan membacanya.
“Ini lurus saja, nanti diperempatan kita belok kiri,” jawab Maureen.
Lalu memberikan handphone-nya pada Mac, tapi karena Mac sedang menyetir, jadi disimpannya handphone itu didekat rem tangan.
Mac kembali menjalankan mobilnya, tidak ada yang bicara lagi semua membisu. Hingga sampailah mereka dirumah baru mereka.
Seorang satpam membukakan gerbang rumah itu. Mac mengerutkan keningnya, begitu cepat ayahnya mendapatkan rumah dengan satpamnya sekalian, benar-benar ayah yang bisa diandalkan.
Saat mobil memasuki pekarangan, Maureen menatap rumah itu, dia langsung tersenyum senang. Rumah itu terlihat sangat cantik, tapi kemudian dia kembali muram, rumah cantik juga tapi isinya pahit, batinnya.
Mobil berhenti didepan teras. Di halaman rumah juga ada taman rumput hijau dengan bunga-bunga yang warna warni, ada juga kursi-kursi taman dan ayunan. Maureen tersenyum kecut, siapa yang mau main ayunan disana? Dia juga tidak tahu apakah pernikahannya ini akan bertahan lama atau tidak.
Mac turun dari mobilnya tidak lupa mengambil Handphone yang tadi disimpan Maureen. Diapun menuju rumah dan membuka pintu rumah itu. Terlihat isinya sangat luas, perabotan-perabotan baru sudah ada disana semua, dan ditata dengan sedemikian rupa membuat rumah ini terlihat lebih nyaman.
Terdengar handphone-nya Mac berbunyi. Dilihatnya nomor ayahnya melakukan panggilan.
“Kau sudah sampai nak?” tanya James.
“Sudah Daddy,” jawab Mac.
“Kau suka rumahnya?” tanya James lagi.
“Suka Daddy, terimakasih,” jawab Mac.
“Daddy mau bicara dengan istrimu,” kata James.
Mac menoleh pada Maureen yang sedang melihat-lihat isi lemari hias diruangan itu.
“Ada telpon dari Daddyku!” teriak Mac, dia sama sekali tidak mau menyebut nama Maureen.
Maureen menoleh, dia sudah menduga pria itu akan selalu kasar padanya. Diapun menghampiri dan mengambil handphone-nya Mac.
“Ya, halo, Daddy!” sapa Maureen.
“Jangan manggil Daddy!” larang Mac.
James mendengar putranya bicara seperti itu pada istrinya.
“Bagaimana rumahnya? Kau suka?” tanya James pada Maureen.
“Suka Daddy,” jawab Maureen, tidak peduli Mac sudah melarangnya juga.
“Sudah aku bilang jangan panggil Daddy!” gerutu Mac. James masih mendengar perkataan Mac. Dia jadi kasihan pada Maureen.
“Semoga kau betah ya, kau bisa pindah kapanpun kau mau,” kata James.
“Iya Daddy,” jawab Maureen. Mac cemberut saja, dia kesal kenapa Maureen menyebut ayahnya Daddy terus padahal dia sudah melarangnya.
Maureen menutup telponnya lalu diberikan pada Mac dengan kesal, Mac menerimanya dengan cepat.
Kini Maureen menatap Mac.
“Aku heran padamu, kenapa kau begitu membenciku, apa salahku padamu?” tanya Maureen dengan keras, matanya mulai memerah.
Mac balas menatap Maureen.
“Kau tahu salahmu apa? Salahmu adalah menjadi istriku, aku tidak suka!” jawab Mac, sama sekali tidak peduli apakah lawan bicaranya tersinggung atau tidak oleh perkataannya.
Maureen masih menatap Mac, matanya sudah mulai berair.
“Kau fikir aku suka jadi istrimu? Tidak!” teriak Maureen, airmata itu mulai menetes dipipinya. Mac terkejut melihat wanita itu menangis.
“Aku sudah mengatakan dari awal aku tidak ingin pernikahan ini! Tapi kau memperlakukanku seolah-olah aku yang menyebabkan pernikahan ini terjadi! Aku sama sekali tidak tahu kalau akhirnya akan seperti ini!” teriak Maureen lagi, kini terisak.
“Kalau begitu kita bercerai,” jawab Mac mengejutkan, Maureen menatapnya tidak percaya Mac akan mengatakan kata-kata itu. Dilihatnya pria itu keluar rumah meninggalkannya sendiri di ruangan itu.
Gadis itu terduduk dikursi dan menangis.
Mac masuk kedalam mobilnya. Dia inginnya pergi saat itu juga dan meninggalkan Maureen untuk selama-lamanya. Tapi difikir lagi, apa kata keluarganya? Pasti keluarganya melarangnya untuk bercerai dengan Maureen, apalagi mereka baru menikah, semuanya benar-benar membuatnya stress.
Akhirnya Mac kembali turun dari mobilnya lalu masuk kedalam rumah. Dilihatnya Maureen masih menangis, duduk di sofa baru itu.
“Ayo pulang, aku tidak mau semua orang menyalahkanku,” ajak Mac.
Maureen menolah kearahnya, pria itu sedang berdiri menatapnya. Pria itu mengajak pulang tapi dengan embel-embel tidak mau disalahkan. Maureen pun bangun dari duduknya, keluar dari ruangan itu melewati Mac.
Sesampainya dirumah, Elsa keheranan saat Maureen buru-buru naik ke lantai atas, dilihatnya wajah Maureen seperti sudah menangis, menantunya itu langsung masuk ke kamarnya Mac.
Elsa menoleh pada Mac. Pria itu juga berwajah muram, dia langsung duduk disofa ruang keluarga. Ibunya menghampirinya.
“Ada apa? Kenapa Maureen seperti sudah menangis? Apa kalian bertengkar?” tanya Elsa.
“Dasar dianya saja yang cengeng,” jawab Mac, dengan wajah masam.
“Sayang, apa kau bersikap kasar padanya?” tanya Elsa, sambil duduk di samping Mac, menatap putranya itu.
“Aku merasa biasa saja,” jawab Mac, cuek saja, malah mengambil remote memindahkan chanel televise.
“Kau bersikap cuek padanya juga itu menyakitinya, Mac,” ujar Elsa, mulai kesal dengan sikap cueknya Mac.
“Terus aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak menyukainya,” kata Mac.
“Tapi dia istrimu,” ucap Elsa, mencoba mengingatkan Mac.
“Aku mau bercerai,” jawab Mac, tiba-tiba.
“Apa?” Elsa terkejut mendengar perkataan putranya.
“Tidak bisa, masa kau baru juga menikah langsung bercerai, itu tidak baik,” kata Elsa.
“Tapi aku tidak menyukainya Mommy. Mommy lihat sendiri dia menangis, dia juga tidak menyukaiku, jadi tidak ada masalah kalau kita bercerai,” ucap Mac.
Elsa menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju.
“Sayang, kau sendiri yang mengatakan kau tidak suka perpisahan Mommy dan Daddymu, masa kau malah bercerai?” ujar Elsa.
“Aku belum menyentuhnya Mommy, dia tidak akan punya anak dariku, jadi tidak akan ada yang jadi korban kalau kita bercerai,” kata Mac, masih dengan pendiriannya.
Elsa menatap putranya itu, dia bingung harus bagaimana lagi menyikapi sikap Mac ini.
“Orangtuanya Maureen tidak akan setuju. Kejadian kalian disemak semak itu mencoreng nama keluarganya, kalau kau menceraikan Maureen, kau akan di anggap mencampakkannya,” kata Elsa.
“Kenapa harus memikirkan orang lain? Kenapa tidak memikirkan perasaanku?” tanya Mac dengan kesal, wajahnya memberengut.
“Bukan seperti itu. Masalahnya kau tidak membuka hatimu buat Maureen. Daripada kau bercerai, kenapa kau tidak belajar untuk menerimanya, mecintainya,” ucap Elsa.
“Aku tidak suka padanya,” kata Mac.
“Ya makanya dicoba, Mommy lihat Maureen itu anaknya baik, dia juga tidak manja, dia mau memasak untukmu, kau juga menyukai masakannya,” ucap Elsa.
“Tidak, aku tidak suka,” jawab Mac.
“Sayang, Mommy lihat kau dan Sharon dulu sangat dekat,” kata Elsa.
“Kami cuma berteman,” potong Mac.
“Iya, makanya, kenapa kau tidak mencoba berteman dulu dengan Maureen, sama seperti kau dengan Sharon, kalau kalian sudah saling membuka hati mungkin kalian akan jatuh cinta. Daripada kalian bercerai, kasihan juga Maureen,” ucap Elsa.
“Kasihan lagi padanya, kasihan lagi padanya, Mommy terus membelanya,” kata Mac.
“Mommy juga memikirkanmu,” kata Elsa. Mac terdiam.
“Oh ya tadi Daddymu menelpon kau diberi hadiah rumah,” ucap Elsa.
“Iya, tadi aku sudah melihatnya,” jawab Mac.
“Kalau kau becerai dengan Maureen akan banyak yang kecewa Sayang, Daddymu sudah menghadiahi kamu rumah, itu artinya Daddy ingin yang terbaik untuk pernikahanmu, bukan perceraian,” kata Elsa.
Mac diam lagi. Walau bagaimanapun dia merasa berat untuk menerima Maureen.
“Aku mau istirahat dikamarnya kak Richard, aku juga tidak akan makan malam dirumah kalau dia yang memasak,” kata Mac.
“Mac, jangan begitu!” ucap Elsa.
Mac tidak menjawab, diapun meninggalkan ibunya yang menatapnya. Elsa benar-benar bingung dengan semua ini. Dia tidak ingin putranya bercerai.
Tapi kemdian diapun melangkah menaiki tangga menuju kamarnya Mac.
Diketuknya beberapa kali pintu itu. Agak lama barulah Maureen membukanya.
“Mommy,” panggilnya.
Elsa menatapnya, dia bisa melihat wajah sedihnya.
“Kau jadi akan membantu Mommy menyiapkan makan malam?” tanya Elsa.
Maureen mengangguk, tidak bicara apa-apa lagi, dia mengikuti langkah ibu mertuanya menuju dapur.
Meskipun Mac melarang Maureen yang memasak, Elsa tetap mengajak Maureen menyiapkan makan malam. Dibiarkannya Mac supaya terbiasa dengan masakannya Maureen tanpa Mac tahu kalau yang memasak adalah Maureen.
Pria-pria dirumah ini tidak suka berkeliaran di dapur jadi Mac tidak akan melihat Maureen memasak bersamanya dan koki rumah.
*****************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Patrish
coba ditinggal saja...
2021-11-01
0
Ririn Satkwantono
klo aq dah ngaaaciiiiir
2021-05-23
0
Melati Putri
cerai aja udalah
2021-03-09
0