Dia pernah minta izin untuk memegang tanganku tapi aku menolaknya. No...... Aku sudah janji pada diriku sendiri aku nggak akan murahan meski cuma salaman sama cowok. Meski itu sama pacar, alasanku klise karena pacar belum tentu jodoh kita. Aku akan menjaga diriku sepenuhnya dan akan menyerahkan semuanya pada suamiku nanti saat aku sudah menikah.
Tapi ternyata aku melanggar janjiku sendiri. Suatu saat dia terlihat marah padaku. Dia mendiamkan aku sampai 2 hari lebih. Aku lupa masalahnya apa. Sampai pas pelajaran olahraga, kami barengan lari memutari lapangan. Aku yang nggak pandai mengutarakan maksud hatiku lewat kata-kata kemudian langsung memegang tangannya dan berlari bersamanya berharap agar kami bisa berbaikan lagi.
And it works.
Setelah itu hari-hariku berjalan seperti biasanya sampai suatu saat sahabat-sahabatku mengatakan kalau dia pacaran dan janjian sama anak terpandai di sekolahku. Aku tidak ingin mempercayainya tapi teman-teman dekatku mengatakan hal yang sama. Dan rumor itu memang santer dan terdengar di mana-mana.
Mungkin itulah cinta, buta. Makanya jangan berani jatuh cinta kalau tak mau menderita. Orang jatuh itu ya sakit rasanya.
Dengan berat hati akhirnya aku mempercayai mereka saat aku melihat Didi dan sahabatnya memasuki perpustakaan. Aku tahu itu bukan kebiasaan mereka .
Saat itu Didi memang jarang sekali ngajak pulang bareng. Dia juga terlihat nggak pingin ketemu aku lagi seperti dulu. Seperti mencoba menghindariku.
Dengan berat hati maka aku pun membuat janji untuk pulang bersama dengannya. Aku ingin memutuskan hubungan kami. Agar semua jelas dan dia nggak harus sembunyi-sembunyi untuk menyukai gadis lain.
Tapi saat pulang bersamanya, aku hanya diam saja, tak mampu mengatakan sepatah kata. Kami berjalan bersisian tapi saling diam.
Jarak antara sekolah kami ke tempat parkiran lumayan jauh dan seharusnya cukup untuk berbicara tentang permasalahan kami. Tapi keinginanku menguap begitu saja karena ketidak pandaianku dalam berbicara dan merangkai kata. Begitupun dengan dirinya yang terlihat enggan membuka suara. Dia diam saja. Shiit...
Sampai ditempat parkiran kami berpisah begitu saja. Aku mengambil sepedaku dan diapun juga begitu. Aku bersepeda cukup lambat berharap dia menyusulku tapi itu tak pernah terjadi.
Aku pulang dengan hati yang teriris-iris. Dan sejak kejadian itu aku dan dia tidak pernah lagi berbincang-bincang atau ketemuan seperti dulu. Berhari-hari aku menangis. Kenapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Itu sungguh menyakitkan. Meski usiaku masih tergolong remaja tapi yang namanya sakit karena dikhianati itu tak mengenal umur. Sedih dan sakit hati itu seperti sedang diiris-iris dengan pisau yang berkarat. Sakit sekali rasanya.
Aku berusaha untuk melupakannya meski itu sulit . Tiap hari aku menangis dan menangis saat ingat kenangan-kenangan indah kami. Aku meratapi diri sendiri mengapa bisa jatuh pada cowok playboy seperti dia. Aku sungguh menyesali perasaanku dan kebodohanku.
Dan akhirnya, aku bisa memantapkan hatiku agar tidak menangis lagi untuk dia. Cowok pengecut seperti itu tidak pantas ku tangisi. Kalau dia bisa mulai mengajakku pacaran harusnya dia juga bisa memutuskan saat hatinya berpaling pada yang lain.( cihh.... dasar ABG labil. Apaan sih aku tuh ya..... Hehe kalau ingat itu kok lucu ya. Ngapain juga mesti nangis-nangis begono. )
flash back
Saat aku kelas dua SMP dulu, ada cowok yang menyukaiku. Entah apa yang dia sukai dariku. Pertama kali aku menyadari kalau ada anak yang wajahnya seperti itu, yang juga menjadi penghuni sekolahanku (hehe... penghuni, hantu kali ah).
Saat itu, seperti biasanya aku naik tangga hendak menuju ke ruang kelasku. Tangan kananku memeluk buku-buku paket yang besar didepan dadaku. Sedangkan tangan kiriku memegang tali tas punggungku yang hanya kusampirkan di pundakku yang sebelah kiri. Dan dia berdiri dipertengahan tangga dengan tangan kirinya memegang pagar tangga.
"Aini", dia menyapaku tepat saat aku melewatinya. Membuatku menoleh sekilas untuk melihat siapa yang baru memanggilku. Wajah dan suara yang baru, aku belum pernah melihatnya apalagi mengenalnya. Aku tidak menjawab sapaannya , juga tidak tersenyum padanya. Acuh tak acuh saja sikapku. Biasa saja menurutku karena dia bukan anak yang terkenal di sekolahanku. tidak tampan dan juga tidak pintar sepertinya. Aku berjalan biasa saja menuju ke kelas untuk menikmati hari dengan belajar dan bergurau dengan teman-teman.
Besoknya dia melakukan hal yang sama, menungguku di tangga. Kemudian menyapaku, "Aini". Aku menoleh sekilas kemudian berlalu begitu saja.
Hadeh, siapa sih dia ini?
Aku menoleh dengan tatapan agak tajam. Aku mulai penasaran, ini anak kelas apa sih? Kalau anak kelas A dan B sepertinya aku ingat wajah-wajahnya meski tidak ingat nama-nama mereka. Tapi sepertinya dia bukan anak kelas A atau B.
Aku hanya penasaran ya, bukan tertarik padanya.
Dan untungnya teman-temanku tidak ada yang memperhatikan hal itu jadi mereka tidak meledekku. Jaman dulu itu begitu. Kalau ada cowok yang suka atau saling suka tapi masih malu-malu terus jadi wadan-wadanan, gojlok-gojlokan. Nggak tau kalau anak-anak zaman sekarang bagaimana.
Hari itu, dikelas berjalan seperti biasanya. Lancar dan menyenangkan. Sampai tiba waktunya untuk pulang, aku selalu pulang dengan tergesa-gesa karena hari hampir gelap. Saat itu kami, anak-anak kelas dua sekolahnya jam 12.30-17.30. Meski sekolah kami swasta dan basicnya sekolah islam tapi gedung sekolah kami tidak bisa menampung seluruh siswanya sekaligus. Kelas 1 saja ada 9 kelas, kelas 2 ada 10 kelas, kelas 3 mungkin 7 kelas (aku lupa yg kelas 3). Karena kekurangan ruang kelas jadi anak kelas 1 dan 3 masuk pagi sedangkan anak kelas 2 masuk siang.
Setelah bel pulang berbunyi aku bergegas menuju ke parkiran dengan jalan yang lumayan cepat. Aku harus ngebut dijalan agar bisa sampai dirumah tepat saat adzan maghrib. Berangkat sekolah ngebut , pulang juga ngebut.... Alhasil betisku kayak betise tukang becak, super besar.
Kalau pas kelas 1 dan pas kelas 3 aku berangkat sekolah ngebut karena aktifitasku di rumah cukup menegangkan ketika pagi. Setelah solat subuh, ngaji dikit, terus langsung tancap mencuci baju sekeluarga yang seabrek-abrek. Hal itu kulakukan setiap hari.
Selesai mengucek pakaian kemudian aku pun segera sarapan pada pukul 6. Untuk membilas dan mensucikan pakaian-pakaian tadi akan dilanjutkan oleh ibuku. Aku harus makan dengan cepat untuk memburu waktu
Jam 06.10 aku mandi kemudian berangkat sekolah pukul 06. 25 kadang juga setengah tujuh baru berangkat padahal pintu gerbang ditutup pukul 06.40. Dan jarak dari rumahku ke sekolahan kira-kira 6 km. Bisa dibayangkan....? Untungnya lalu lintas saat itu tidak seramai sekarang. Pengguna sepeda ontel masih terlihat dimana-mana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments