Keluarga ustadz Irsyad baru saja menyelesaikan makan sahur Mereka, sembari menanti waktu imsyak tiba.
Tiga orang pira itu pun berbincang sejenak di ruang depan, membicarakan tentang hal-hal yang mungkin lebih ke basa basi.
Sementara Nuha membantu Umma Rahma membenahi piring-piring kotor sisa makan sahur mereka, dan menyimpan sisa lauk makannya.
"Umma, ini mau di taruh mana?" Menunjukkan beberapa lauk yang masih banyak.
"Di letakan di wadah tertutup dek, nanti taruh ke lemari pendingin ya." Jawab Umma Rahma yang tengah mencuci piring kotor.
Sementara Nuha langsung meraih wadah-wadah plastik yang aman untuk makanan guna menyimpan sisa makanan tersebut.
"Umma?" Panggil Nuha dengan tangan yang sedang menuang daging semur ke dalam wadah.
"Iya dek?"
"Umma, dulu pernah tinggal di rumah Mbah Putri di Magelang tidak?" Tanya Nuha. Gadis itu pun sempatkan melirik kedepan karena takut tiba-tiba A' Faqih masuk dan mendengarkan ucapannya.
"Kalau, hanya sehari dua hari ya pernah sayang. Namun kalau tinggal tidak. Kan Abi kerjanya di Jakarta. Sementara Mbah Kakung dan Mbah Putri di Magelang."
"Jadi Umma dulu waktu nikah sama Abi, langsung di rumah ini atau ngontrak?" Tanya Nuha. Rahma terdiam, dia pun memutuskan untuk mematikan keran air lalu mengeringkan tangannya. Setelah itu mendekati Nuha dan duduk di kursi sebelah Nuha berdiri.
"Emmmm, Umma langsung ikut Abi dan tinggal di sini tepat malam itu juga setelah ijab Qabul dek. Jadi Alhamdulillah Umma dan Abi tidak pernah ngontrak."
"Begitu ya?" Jawab Nuha setelah memasukan lauk terakhir dan menutup wadah itu rapat. "Tapi Umma sempat sedih tidak sih saat keluar dari rumah kakek dan nenek di Priok?"
Rahma tersenyum lalu menyuruh putrinya untuk duduk di kursinya.
"Sedih... Pasti sedih lah, apa lagi Umma tidak kenal Abi Irsyad dulu. Bagaimana ya?? Merasa asing saja gitu tinggal dengan pria yang tak kita kenal."
"Apa Umma pernah nolak? Waktu mau di nikahi Abi?"
"Iya lah... Siapa yang mau menikah dengan orang yang tidak di kenal. Belum lagi Umma dulu punya cerita tersendiri. Karena pria yang seharusnya menikahi Umma itu sebenarnya bukan Abi Irsyad."
"Owh ya? Lalu siapa?"
"Ada lah... Dia sudah wafat satu Minggu sebelum pernikahan Umma dan dia. Dan entah bagaimana mana ceritanya, tiba-tiba almarhum Mbah kyai Khalil pemilik pondok pesantren dekat rumah kakek Akmal datang bersama Abi Irsyad melamar Umma."
"Jadi dulu Umma tidak mencintai Abi ya Waktu menikah."
"Iya.... Hehehe tapi Abi mu itu luar biasa. Dia bisa bikin hati Umma yang sekeras batu ini luluh. Bahkan cinta Umma sekarang kepadanya jauh melebihi apa yang kau bayangkan. Makanya saat Abi kecelakaan dulu. Umma sedih sekali, Umma takut kehilangan Abi, dan Alhamdulillahnya Abi masih bisa sembuh dan masih berada di sisi Umma hingga saat ini." Rahma membelai lembut rambut Nuha. Gadis itu pun tersenyum.
"Nuha bisa tidak ya? Mencintai A' Faqih?" Gumam Nuha.
"Harus bisa sayang. Dia kan imam mu,"
"Tapi A' Faqih sepertinya tidak seromantis Abi."
"Masa sih? Emmm, tadi saja Umma lihat tangan mu di pegangi A' Faqih loh, masa hal seperti itu tidak romantis sih?"
"Hah? Umma lihat?"
"Iya lah, posisi Umma kan berdiri. Jadi bisa melihatnya." Jawab Rahma terkekeh, Nuha pun tersipu ia jadi merasa malu sama Ummanya sendiri.
"Nuha," Panggil Umma Rahma.
"Iya Umma?"
"Umma tahu pasti kamu sedih kan karena akan keluar dari rumah ini?" Tanya Rahma. Nuha pun mengangguk matanya mulai mengembun, ia bahkan langsung memeluk sang ibu.
"Nuha sayang sama Umma sama Abi, Nuha juga sayang sama Kak Rumi. Nuha masih ingin tinggal di sini Umma–, Hiks."
"Sssssst..... Jangan Nangis Dede... Begini saja. Kita ke kamar Umma yuk. Kita ngobrol di atas, biar tidak terdengar Abi apalagi Faqih." Rahma menyarankan seraya tangannya mengusap lembut mata Nuha. Gadis itu pun mengangguk cepat lalu beranjak bersamaan menuju lantai dua tepatnya kamar Kedua orang tuanya.
Di dalam kamar....
Rahma mengunci pintu itu dan duduk di sebelah Nuha yang sudah duduk lebih dulu di atas ranjang kedua orangtuanya. Kamar itu jauh lebih luas dari kamar miliknya ataupun kak Rumi. Dan terlihat salah satu sudut yang terdapat bekas gambar yang masih tertempel di sana. Sudut itu tadinya tempat ranjang dirinya dan kak Rumi. Rahma pun menyelipkan rambut Nuha ke bagian belakang telinganya. Lalu mengecup pangkal kepala Nuha cukup lama.
"Ya Allah, anak gadis ku. Sekarang sudah milik orang lain, sepertinya baru kemarin Umma melahirkan mu." Gumamnya. Nuha pun kembali menangis.
"Nuha sayang Umma. Sangat."
"Umma juga sayang sama Dede, tapi dede harus tetap semangat ya? Walaupun harus tinggal Dengan A' Faqih. Percaya sama Umma. Itu hanya kesedihan sesaat, ketika kenyamanan mu sudah ada pada suami mu. Kau pasti akan lebih betah berada di dekatnya, bahkan rumah ini pun akan sangat jarang kau datangi saking sibuknya dengan kehidupan baru mu bersama A'a."
"Tidak mungkin Umma, Nuha pasti akan merindukan rumah ini setiap hari."
"Itu juga yang ada di pikiran Umma sayang, namun setelah hidup dengan Abi. Seolah rumah ini adalah rumah paling nyaman. Mengalahkan rumah orang tua Umma sendiri."
"Begitu kah?"
"Iya Dede.... Nih ya, contoh kecil, untuk mu yang nantinya terbiasa tidur di sebelah A' Faqih pun rasanya akan lain. Jika kau kembali tidur sendirian. Itulah nikmatnya berumah tangga sayang. Kau memiliki ketenangan hati jauh lebih baik dari saat kau sendiri. Pasangan mu adalah sebaik-baik teman dalam hidupmu.... Nantinya kau akan lebih memprioritaskan hidup mu hanya untuk suami mu, bahkan teman ngumpul, saudara semua akan kau abaikan. Saking asiknya bersama pasangan mu, apalagi jika sudah memiliki anak." Rahma membeli lembut rambut sang anak. Nuha tersenyum, hatinya sedikit lebih lega. Hingga terbesit di hatinya untuk lebih berusaha mencintai A' Faqih dan mengabdikan hidupnya untuk sang suami.
"Bagaimana, apa masih takut dengan suami mu?" Tanya Umma Rahma. Nuha pun menggeleng pelan. Sementara Rahma tersenyum lalu mengecup kening sang putri.
"Ya sudah kita keluar yuk, sebentar lagi imsyak. Umma harus segera menyelesaikan cucian piringnya."
"Iya Umma. Tadi makanan juga belum di masukin ke kulkas." Nada bicara Nuha sudah tidak lesu lagi. Rahma pun merasa lega.
Hingga keduanya kembali keluar. Dan baru saja sampai di ujung tangga, Keduanyan berpapasan dengan A' Faqih.
Nuha yang masih belum terbiasa saling tatap pun kembali menunduk.
"Umma." Faqih tersenyum, menyapa Umma Rahma, Yang di balas dengan senyuman Rahma sembari mengangguk pelan. Lalu melanjutkan langkahnya turun.
Lain halnya dengan Nuha yang masih terdiam, terlebih saat A' Faqih melanjutkan langkahnya, mendekati lalu meraih tangan Nuha dan membawanya, membuat gadis itu langsung putar haluan mengikuti sang suami masuk ke dalam kamarnya.
kamar itu pun kembali di kunci oleh A' Faqih. keduanya masih saling diam, nafas. A' Faqih bahkan sedikit memburu setelah berdiri cukup lama, tanpa berbuat apa-apa.
"Neng, sebelum imsak. A'a boleh minta sesuatu?" pria itu berbicara lebih kaku, tidak seperti biasanya.
Nuha mengangkat kepalanya menatap sang suami pelan. dengan sang suami sudah menatap Nuha dalam-dalam. Hingga kedua tangan Nuha saling meremas, dia bahkan tidak berani untuk bertanya, permintaan apa yang di maksud Suaminya itu.
Satu tangan Faqih menyentuh pipi Nuha mengusap sejenak. Lalu perlahan mulai mendekati wajahnya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya.
'ya Allah, gugupnya diri ku... Aku harus mampu melakukan ini. Agar rasa penasaran, dan ingin ku tak bergejolak bahkan sampai mengganggu ibadah ku nanti.' batin Faqih yang semakin mendekat, hingga sebuah kecupan Pertama pun mendarat di bibir Nuha walau hanya sebatas menempel saja sangat sebentar karena Nuha tiba-tiba reflek beringsut. Hingga kecupan itu terlepas.
Sebulir air mata menetes, gadis itu sedikit menjauhi Suaminya.
"Maaf... maafkan Nuha... Nuha belum bisa A' ... Nuha masih takut." Tangan Nuha gemetaran. Faqih pun mengusap kepala Nuha.
"Tidak apa-apa, A'a mengerti." ucapnya lembut, ia pun merasa kasihan saat melihat sang istri ketakutan sehingga membuatnya langsung meraih tubuh Nuha dan memeluknya agar dia jauh lebih tenang lagi.
'tidak apa, setidaknya aku sudah merasakan itu sedikit. Aku mencintaimu Nuha.' Batin Faqih yang masih memeluk erat tubuh Nuha, hingga mata dia pun turut basah karena terharu, debaran jantung yang sangat tak beraturan itu membuatnya menghela nafas berkali-kali dengan senyum yang terus saja tersungging bahwa dia benar-benar merasa bahagia saat ini karena akhirnya bisa memperistri gadis yang ia kagumi dalam diamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Wenda Junia Apriani
mngkn udh gk thn. tp cuma bibir khn bkn yg lainny
2023-07-29
0
Alivaaaa
utututu 🤭🤣🤣🤣🤣
2023-03-24
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
marathon lagi ini baca nya,, 🤭
2023-01-03
0