setelah bersiap cukup lama, pintu kamar Nuha pun terbuka. Di mana sang kakak sudah duduk di kursi dekat tangga, mengobrol singkat dengan salah seorang saudara, yaitu anak dari Bude Adiba yang baru saja tiba beberapa jam yang lalu.
Dan setelah melihat Nuha siap Rumi pun beranjak.
"Maaf mas, Rumi tinggal dulu."
"Oh iya," ucap mas Zidan mengiyakan, ia pun menoleh ke arah Nuha "dek, senyum dong. Masa mau menikah masam begitu." Ledek mas Zidan sementara Nuha hanya tersenyum tipis.
"Pergi dulu ya mas. Assalamualaikum." Ucap Nuha.
"Walaikumsalam warahmatullah." Jawab mas Zidan yang lantas meraih ponselnya yang berada di dalam saku celananya.
Sementara dua anak itu turun, Rahma pun menghampiri.
"Kalian mau kemana?" Tanya Rahma seraya membelai kepala Nuha.
"Keluar sebentar Umma, mau ajak jalan-jalan. Nanti kalo Dede sudah ada A' Faqih kan, sudah bukan tugas Rumi lagi nganterin dia," jawab Rumi, mendengar kata-kata Rumi, seolah membuat Nuha ingin menangis.
Rahma pun mengangkat wajah sang anak yang tertunduk itu.
"Hati-hati ya." Mengecup pipi Nuha. Nuha pun mengangguk pelan seraya menahan agar tangisnya tak keluar.
Setelahnya, gadis itu meraih tangan sang ibu. Mengecup punggung tangannya serta mengucap salam. yang di susul Rumi juga, melakukan hal sama.
Rahma menatap iba ke arah anak gadisnya yang sudah mulai menjauh, keluar dari rumah.
Seperti sebuah gambaran dirinya di masa lalu saat hendak di nikahi Ustadz Irsyad.
Tiba-tiba harus menikah dengan pria yang tidak di cintai. Walaupun Nuha sudah mengenal Faqih Sebelumnya, berbeda dengan dia sendiri yang tak mengenal sama sekali ustadz Irsyad.
Namun tetap saja, menikah mendadak seperti ini sangat tidak membahagiakan.
"Dek." Panggil ustadz Irsyad, yang langsung membuat sang istri menoleh kebelakang.
"Ikut mas sebentar, mas ingin bicara." Ajak Irsyad. Rahma pun mengangguk lalu mengikuti langkah sang suami, menaiki anak tangga.
Di dalam kamar....
"Sini duduk dek." Ajak Irsyad menepuk-nepuk ranjangnya, sesaat setelah beliau duduk. Rahma pun mendekati, lalu duduk di sebelah Suaminya.
"begini dek, niatnya mas akan meminta izin sama Pak Ramli, untuk meminjam rumahnya. Karena rumah beliau kan di samping masjid, Jadi nanti Nuha di sana dulu, sembari bersiap-siap menggunakan riasan.
selama menunggu Faqih membacakan hafan surah Ar Rahman, sebagai maharnya. Setelah itu baru di susul ijab Qabul. Bagaimana adek setuju?" Tutur Irsyad, sembari membelai kepala Rahma.
Rahma menatap sendu. "Terserah mas Irsyad saja." Hendak beranjak, namun segera di tahan oleh Irsyad.
"Loh kok terserah mas?? Mas, sedang mengajak mu berunding loh."
"Ya sudah, Rahma kan cuma ngikut saja. Semua keputusan ada di tangan mu mas." Bersungut.
"Tunggu... Tunggu... Kok gitu?"
"maaf mas Rahma sedikit kesal, habis mas memaksakan anak untuk menikah dini."
"Astagfirullah al'azim, kok kamu bicaranya seperti itu sih dek?"
"Ya habis anak belum mau menikah di paksa buat menikah cepet. Rahma kan tidak tega, mas tidak lihat Nuha jadi pendiam semenjak tahu dia akan di nikahi?"
Irsyad menghela nafas. "Mas sudah bilang kan? Kalo mas itu tidak sembarangan menyetujui ini?"
"Iya tapi kenapa harus mas menerima dia sebelum berunding?"
"Mas berunding dulu kok sebelum menerima."
"Ya hanya berunding, tapi mas tidak mau mendengarkan Nuha ataupun aku. Kalau anak kita tidak bahagia bagaimana?"
"Kesimpulan dari mana itu? Faqih pria baik-baik, mas yakin Nuha pasti bahagia."
"Iya mungkin Faqih-nya, tapi ibunya?"
"Loh, kok jadi bawa-bawa teh Hasna?"
"soalnya dia?" Rahma ingin mengatakan bahwa keduanya pernah cekcok di rumah pak Huda namun tidak jadi.
"Soalnya apa?"
"Nggak bukan apa-apa, mas. Cuma dia itu sang kritikus?"
"Kritikus?"
"Lupakan saja." Jawab Rahma, ia tidak mau membicarakan hal ini. Yang ada malah dirinya kena ceramah panjang sang suami.
Irsyad pun mengusap-usap kepala Rahma. "Dek, yang namanya mau menikah, semua pasti merasakan keraguan begitu pula dengan mas. Dulu kamu sendiri bagaimana? Pasti pernah menolak juga kan? Dan setelah menjalani Alhamdulillah kita bisa sampai sekarang usia pernikahan kita sudah menginjak dua puluh dua tahun." Tutur ustadz Irsyad seraya mengusap-usap pipi Rahma yang tertutup cadar.
"Huuuuhh baiklah, tapi nanti Nuha tinggal di sini kan? sama Faqih? Selagi mereka belum ada rumah sendiri."
Irsyad tersenyum. "teh Hasna minta Nuha tinggal di sana sayang."
"Apa? Kan?"
"Kenapa sih?"
"Duh mas, pokoknya dua anak itu tinggal di sini. Rahma tidak mau tahu."
"Dek, rumah Tafiz lebih dekat dari rumah ustadz Rahmat kan? Sementara Faqih harus mengurus rumah Tafiz itu."
"Iya tapi ini masalahnya kalo mereka tinggal di rumah teh Hasna memang Nuha tidak tekanan batin ya?"
"Astagfirullah al'azim, istighfar dek. Nggak baik loh ngomong seperti itu."
"Astagfirullah al'azim." Rahma bergumam lirih seraya tertunduk.
"Tidak boleh berbicara seperti itu dek, apalagi teh Hasna calon ibu mertua Nuha, calon besan kita. Jangan di ulangi lagi ya?"
"Iya mas, Maaf."
"Pokoknya percayakan saja pada Faqih, dia pasti bisa membahagiakan Nuha." Mengecup kening Rahma, lalu beranjak. "Ya sudah mas keluar dulu ya. Pokoknya kamu harus bisa menjaga sikap. Mas tidak suka kamu berfikir buruk dengan siapapun."
"Iya." Jawab Rahma yang di balas dengan senyuman sang suami. Ustadz Irsyad sempatkan mengusap kepala Rahma lalu keluar dari kamar mereka.
Dan setelah pintu tertutup dari luar. Rahma menghela nafas, ia benar-benar khawatir dengan sang anak. Dia masih ingat sekali saat Umma Hasna membanding-bandingkan masakannya dengan masakan dari istri pak Huda.
(Flashback is on.)
Hari itu keluarga Pak Huda mengajak keluarga ustadz Irsyad dan ustadz Rahmat untuk buka bersama, sekitar tiga belas tahun yang lalu. Saat usia si kembar masih sekitar tujuh tahun.
Sudah menjadi kebiasaan, para istri jika acara makan sudah selesai, pasti akan membatu si pemilik rumah untuk membawa mundur piring kotor itu, ke dapur.
"Duh, sudah biarkan saja mbak Rahma." Ucap Kak Siti (istri pak Huda) sembari menerima piring kotor di tangan Rahma.
"Tidak apa kak, kan kalau di kerjakan bersama cepat selesai." Tersenyum.
teh Hasna pun masuk ke dapur. "Masakan kak Siti itu enak sekali loh." Menyerahkan piring kotornya.
"Alhamdulillah, teh Hasna juga masakannya enak kok." Menerimanya.
"Kalo kak Siti saya cocok masakannya."
"Begitu ya hehehe."
"Iya benar, emmmm mbak Rahma? Sebaiknya belajar lagi tuh masaknya sama kak Siti."
"Loh, memang kenapa teh? ada yang salah begitu, karena harus belajar lagi?"
"nggak ada yang salah mbak. hanya itu, masakan mbak? agak kurang bumbu, masih agak hambar."
"kurang bumbu bagaimana? kalau kata saya sudah pas kok."
"Iya pas, di lidah mbak Rahma sendiri."
"Tunggu, kenapa jadi bahas masakan saya?" keduanya pun langsung bersitatap dengan kak Siti berada di tengah-tengah mereka.
"eemmmm, punten Teteh, mbak?" kak Siti mulai merasakan hawa tidak enak antar keduanya.
"begini loh mbak? saya kan hanya mengkritik dengan maksud membangun, agar masakan mbak Rahma jauh lebih sempurna lagi, tidak salah kan?"
Rahma mendesah, "memang tidak salah sih, tapi kenapa teh Hasna terkesan seperti menghina masakan saya? kan saya jadi tersinggung."
"Astagfirullah al'azim, mbak Rahma itu bercadar loh. tidak baik mudah tersinggung seperti itu." Ucap teh Hasna.
"Tadi mengkritik makanan, sekarang bawa-bawa cadar? Memang apa yang salah dengan cadar?" Nada bicara Rahma mulai meninggi.
"Ya Allah, mbak Rahma sudah."
"Seharusnya mbak Rahma bisa lebih Menjaga sikap lah." Nada bicara Teh Hasna pun sama turut meninggi.
"Sudah, teh Hasna. Istighfar... Ayo istighfar, ini bulan puasa loh."
"Saya tuh paham kak, teh Hasna ini sering sekali mengkritik saya. waktu di rumah saya juga tuh, orangnya jujur sekali bilang kolak buatan saya kurang santan lah, sayur SOP saya kaya air rebusan tak berbumbu, sambal yang pelit cabai kebanyakan tomat. ini lagi di rumah orang saja pakai membanding-bandingkan, siapa yang tidak kesal coba."
"Memang kenyataannya seperti itu kan? lagian, kalau ada orang mengkritik itu harusnya di pakai mbak. Buat membangun diri agar bisa lebih baik lagi. jangan malah emosi, bukan begitu kak Siti?"
"hehehe, sini...sini tangan kalian berdua. yuk salaman yuk... jangan seperti ini ahh, kalau terdengar para suami bagaimana? nanti kita juga yang kena ceramah mereka. hehehe." kak Siti meraih tangan kanan Teh Hasna dan Rahma lalu menempelkannya agar kedua tangan itu saling menjabat. dan berharap pertempuran tak penting ini segera berakhir.
memang sih, tipe teh Hasna yang cenderung ceplas-ceplos dengan Rahma yang mudah bawa perasaan membuat keduanya hampir sering terlibat cekcok.
keduanya pun saling menjabat, walaupun awalnya kak Siti sempat bingung. Namun dia mulai paham karena dua wanita itu adalah orang biasa, yang di nikahi para ustadz, sudah pasti akan lebih mudah tersulut emosi, dirinya saja yang seorang ustadzah pun kadang demikian. Kak Siti geleng-geleng kepala sembari bergumam istighfar.
sementara dua ibu muda itu masih melakukan aksi perang dingin.
(Flashback is off)
Rahma menghela nafas. "Dia itu tipe orang ceplas-ceplos masalahnya. Semoga Nuha baik-baik saja di rumah Faqih." Gumam Rahma yang lantas beranjak dari ranjangnya, setelah melamun singkat mengingat masa lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Wenda Junia Apriani
mudah"n sj nuha bs lbih sbr klo mertuany ky gt krn gk baik jg klo hrs mlwan sm mrtua
2023-07-29
0
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
bayangin Nuha yg menikah dan tinggal di Rumah Faqih dengan ibu mertua yg dri awal g suka sm umma nya, di tambah Nuha yg mung yg bisa masak,, 😢
2023-01-02
0
Aruna arfiana
selamat berjuang dengan mertua yg suka mengkritik ya Nuha 😄😄😄
2021-12-03
0