Aku menatap heran, pemuda bertubuh tinggi dengan jaket Hoodie warna abu-abu gelap dan celana jeans yang sedang santainya mencampuri urusan pribadiku.
Detik kemudian aku mulai tertawa mendengar pertanyaan yang menurutku sok kenal sok dekat itu. Aku sama sekali tak mengenalnya dan dia bertanya tentang kisah cintaku yang tak pernah kuekspos sebelumnya, hmmm....apa dia seorang cenayang?
" Boleh aku duduk...?" bagaimana pun dia adalah pengunjung yang memberiku pendapatan jadi aku harus ramah dan membuatnya nyaman.
" Tentu saja.." ucapnya menatapku sekilas seraya makan kue putri mandi yang kuhidangkan untuknya tadi.
"Apa kau sedang meramalku? Pertanyaan mu itu membuatku merasa diperhatikan..."
Pria itu menarik sudut bibirnya lalu menatapku lebih lama.
" Tak perlu meramal jika kemarin kamu duduk disini dan mendengar percakapan seseorang dari luar jendela yang terbuka itu..."
Eh...aku baru menyadari bahwa kemarin aku menerima telepon dari Wildan tepat dibalik tembok tempatku berada sekarang.
" Ah iya kamu benar juga he..he.." aku merasa senang tidak penasaran lagi darimana dia tau tentangku.
" Baru sekarang aku tau orang putus cinta sebahagia kamu..." ucapnya datar.
" Ya kalau nggak jodoh mau gimana lagi..." aku mengerdikkan kedua bahuku, lalu beranjak dari dudukku.
" Silahkan menikmati..." aku akan berbalik pergi namun terhenti oleh pertanyaannya lagi.
" Kapan ada kue serabi? aku akan datang lagi..."
Aku berfikir sejenak lalu, dengan yakin aku menjawabnya.
" Besok akan kubuatkan...beneran datang Lo ya..."
" Hmm ...baiklah" dia mengangguk sebelum menyesap teh dicangkirnya.
Akupun meninggalkannya berjalan kebelakang untuk membersihkan dapur. Diperjalanan menuju dapur, Bu Cicik yang sedang menata kue yang ada di display menghentikan langkahku.
" Nindi ... apa yang kalian bicarakan tadi, sepertinya dia ingin mengenalmu deh..." goda Bu Cicik padaku.
" Oh...ya? sayang sekali pria mulus sepertinya , bukan tipeku dong..." aku mengedipkan mataku padanya.
" Hei....dasar tukang halu, masih saja mengidolakan pria timur tengah heh..." Bu Cicik melipat kedua tangannya di dada sambil geleng-geleng kepala.
Aku tertawa lebar, dan meninggalkannya melayani pembeli.
Bu Cicik memang sudah seperti sahabatku sendiri, meski usia kami seperti ibu dan anak. Dia seorang janda yang diceraikan karena terbukti tak bisa memberikan keturunan untuk suaminya.
Kami sangat dekat, hingga diapun tau aku mengidolakan pria ala timur tengah yang menurutku terlihat lebih gentleman...
Wildan...
Tentu saja dia rela memelihara kumis dan cambangnya, demi mewujudkan halusinasiku itu...he..he...
Kalau dibilang belum move on, ya kan belum ada seminggu kami harus mengakhiri hubungan kami...haiss...bohong kalau aku bilang tidak apa-apa, masih perih rasa dihati ini...
Pukul tiga menjelang sore, Bu Cicik pamit pulang karena kedai kami sudah tutup sejak satu jam yang lalu.
Dan kesibukanku selanjutnya adalah membeli bahan-bahan untuk bahan kue basah dan cake untuk esok hari.
Setelah membersihkan diri, kupastikan semua pintu dan jendela tertutup karena aku akan belanja dipasar sore.
Dengan naik ojek aku membelah jalanan. Sebenarnya aku memang tak bisa naik motor sendiri, ada rasa trauma sejak kematian kedua orang tuaku enam tahun yang lalu karena kecelakaan motor, tepat sehari sebelum ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun.
Ulang tahun yang seharusnya menjadi momen berharga bagi para gadis sepertiku, saat itu menjadi pukulan telak pada hidupku. Sejak saat itu kehidupanku bersama nenek jadi penuh perjuangan.
Mungkin tak bisa naik motor sendiri memang agak merepotkan, tapi karena sudah lama menjalaninya aku sudah terbiasa. Untungnya aku memang tak bersosialisasi dengan teman sebayaku yang kebanyakan sering hangout bareng, menurutku hal itu hanyalah membuang uang dan waktu saja.
Aku mulai memisahkan diri dari teman-teman ku ...eh...salah...merekalah yang memang tak mau mendekat denganku sejak aku mengalami masalah keuangan dan tak jadi meneruskan kuliah karena harus berjuang hidup tanpa kedua orang tuaku.
Bagiku itu semua bukanlah masalah, apalagi saat itu ada Wildan yang selalu memberiku semangat.
Hhh...kenapa masih saja nama Wildan terselip diantara waktu yang harus kujalani?
Ayolah Nindi, jangan menoleh lagi, dia bukan milikmu lagi....
Anindita Putri, bulan depan umurmu sudah dua puluh tiga tahun, please deh, jangan kekanakan lagi...bajumu bukan putih abu-abu lagi, saatnya kembali pada realita hidup.
Saat ini harus fokus berpikir bagaimana harus mempertahankan kedai milik ayahmu itu..
Akhir-akhir ini, berulang kali mendapatkan penawaran dengan harga tinggi agar aku melepaskannya. Seandainya saja tempat ini bukan tempat yang sangat bersejarah bagiku, aku akan melepaskannya dan membeli perumahan agar tak terganggu dengan orang-orang yang menginginkan tempat ini karena posisinya memang sangat strategis.
" Berapa pak?"
" Dua belas ribu ,Nin...mau buat serabi lagi ya, bukannya besok bukan jadwalnya...." ucap pak Joko penjual nangka dipasar sore itu.
" Iya nih pak, ada yang ngefans sama serabi ..."
" Oh...pasti itu orang sudah uzur kan? Dia sedang kangen dengan kue jadul seperti pada masanya.." pria paruh baya itu terkekeh setelah menerima uang dariku.
Namun aku jadi tertawa lebar mendengar asumsinya itu.
" Ah iya juga pak, mungkin tu orang jadul banget..." kubiarkan pria itu dengan pendapatnya yang jelas sangat salah itu.
Kira-kira apa yang akan dia katakan saat tau orang yang menyukai kue ini adalah seorang pemuda dengan penampilan kekinian.
Sore itu, suasana pasar begitu ramai pembeli, hingga aku harus berdesakan saat membeli udang untuk bahan isian lumpia basah.
" Neng tolong bilang minta kuwek setengah kilo ya ..." seorang nenek di belakangku menarik-narik lenganku agar aku bisa membantunya karena pembeli yang berdesakan.
" Iya nek..." akupun segera meminta penjual itu membungkusnya.
Setelah urusan desak-desakan selesai aku mundur dan memberikan pesanan nenek dengan penampilan bersih dan modis itu.
Sepertinya dia orang kaya deh, ngapain kesasar sampai sini...
" Wah terima kasih ya...ini uangnya, kembaliannya nggak usah deh, buat kamu beli es ..."nenek itu menatapku ramah saat aku menerima uang lembaran seratus ribu itu dengan mengerutkan dahi.
" Tapi nek....ini aku ada kembalian kok..."aku mengambil dompetku.
" Udah nggak papa, nenek pergi dulu ya... terimakasih..." wanita tua itu tersenyum puas dan melenggang pergi dari hadapanku.
Dasar rejeki nggak pernah tertukar he...he..
Setelah kusimpan uang itu, akupun mencari ojek karena tas belanjaku sudah penuh berisi bahan-bahan untuk kusiapkan nanti malam.
Dari awal kedai milikku itu buka jam enam pagi dengan berbagai kue basah dan cake untuk pengganjal perut dipagi hari.
Semula konsep dari ayah hanya menjual kue-kue basah dari pagi hingga sore hari. Namun setelah mengikuti perjalanan waktu, menu yang kuhidangkan beberapa sudah kuubah.
Saat siang menjelang, kusiapkan berbagai pencuci mulut yang ringan menyegarkan seperti puding dan salad buah.
" Banyak banget belanjanya?"
Aku menoleh saat mendengar suara itu. Dan orang yang menyapaku membuat dahiku mengerut karena heran.
" Oh hai...!! wajar dong dipasar harusnya emang belanja kan..., lha kamu ngapain disini?" ternyata orang itu, pria serabi yang berdiri bersandar disebuah toko yang masih tutup, saat aku sedang menunggu ojol pesananku.
Habisnya aku nggak tau siapa namanya, jadilah pria serabi sebutan paling tepat untuknya.
" Aku lagi kerja..."
" Kerja?" kuperhatikan penampilannya yang terlihat bersih dengan kaos dan celana pendek yang kelihatannya bermerk itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Lisa Aulia
ah ..pria serabi...😁😁😁😁😁
2021-06-27
2
Echa04
pasti cowok serabi itu lg nunggu nenek yg beli kuwek td... hmmmm
2021-06-25
3
Sunarti Army
lanjut thoor....
2021-06-21
3