Di tempat lain, dalam kemewahan sebuah ballroom hotel bintang lima yang dihiasi elegan dengan tema Angel’s Trumpet, Reisa duduk gelisah di kursinya. Hiasan bunga terompet putih dan emas menggantung anggun di langit-langit, berpadu dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya hangat. Namun, semua keindahan itu tak mampu mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel di genggaman.
Beberapa kali ia mencoba menghubungi Lusia, tapi panggilannya selalu gagal. Kekhawatiran memenuhi wajahnya. David, yang berdiri di sampingnya, juga merasa tidak tenang. Ia merasa bersalah sudah memberi tahu Reisa tentang insiden di galeri, sementara belum ada kabar pasti. Melihat kecemasan Reisa, David mencoba menenangkan. Ia meraih tangan Reisa dan menatapnya dengan penuh perhatian.
David meyakinkan bahwa acara ini tidak sepenting ketenangan pikirannya. Ia bahkan menawarkan untuk meninggalkan acara kapan pun Reisa mau, demi menemani dan mendukungnya. Reisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
Reisa menggeleng pelan, namun matanya tetap terpaku pada layar ponsel. “Apa Bella tidak memberi kabar lagi?” tanyanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
David menarik napas sebelum menjawab. “Terakhir, mereka masih berusaha menangani situasinya. Karena ada masalah listrik, aku tak bisa mengakses CCTV dari sini.”
Dalam hati, Reisa bergumam penuh penyesalan. Ia tahu David selalu mengalah dan mengerti situasinya, tapi ia merasa selalu saja dialah yang mengacau.
Reisa memendam penyesalan dalam hatinya. Ia tahu David sangat khawatir dengan kecemasannya saat ini, namun ia tak ingin terus menjadi beban dan mengecewakan pria yang selalu memilih mengalah dan mengerti situasinya demi dirinya. Dengan tatapan penuh kejujuran ke mata David, ia merasakan betapa seringnya dirinya menjadi sumber kekacauan dalam hubungan mereka.
David sebenarnya enggan memberitahu Reisa tentang kejadian di galeri. Namun, ia juga tak ingin menyembunyikan apa pun darinya. David memahami betul sifat Reisa yang akan sangat merasa bersalah jika sesuatu terjadi pada Lusia, terlebih karena Reisa sendiri yang meminta Lusia datang ke galeri sehingga Lusia terjebak dalam situasi saat ini.
Dengan senyum kecil, David mencoba meringankan beban kekhawatiran Reisa. Ia berkata akan menghormati keputusan Reisa, apapun pilihannya. Ia menggenggam tangan Reisa erat, meletakkannya di pangkuannya, seolah ingin mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja.
David mengikuti keputusan Reisa untuk tetap tinggal, bukan karena egois ingin melanjutkan acara pentingnya. Ia tahu, dalam kondisi apapun, Reisa lebih mengutamakan Lusia sebagai sahabatnya. Namun kini, Reisa sudah memilih untuk tetap di sisinya, dan David ingin menghargai pilihan itu dengan menerima dan mendukungnya sepenuhnya.
***
Di dalam Galeri, Lusia masih setia menunggu di samping Rayn, memeluknya lembut sambil memberi tepukan kecil di bahu sebagai upaya menenangkan. Meski ia belum sepenuhnya mengerti apa yang tengah dialami Rayn, perasaan takut yang begitu dalam jelas terasa melalui pelukan itu.
Suara lirih Lusia memecah keheningan, “Apa kau sudah mulai merasa membaik?” Namun, tak ada jawaban dari Rayn.
Saat itu, pintu lift terbuka dan seorang staf bersama petugas keamanan muncul, baru saja mengantar para pengunjung keluar dari galeri. Lusia segera memberi kode agar mereka tidak mendekat dulu. Mengerti maksudnya, keduanya menghentikan langkah.
Di tengah keheningan, tiba-tiba ponsel petugas keamanan berdering. “Iya Pak David, baik pak. Saya akan sambungkan dengan Ibu Bella,” ucapnya tegas sebelum menyerahkan telepon kepada Bella, salah satu staf kepercayaan David.
Bella menjawab dengan suara tenang bahwa Lusia dalam kondisi baik-baik saja, sehingga David tak perlu khawatir. Bella, yang mengenal hubungan David dengan Reisa dan juga tahu siapa Lusia, ia selalu bersikap sopan dan penuh hormat pada keduanya.
Setelah mengakhiri pembicaraan dengan David, Bella menyerahkan ponsel kepada Lusia sesuai permintaan. Meski sedikit ragu karena situasi Rayn, Bella mendekat dan mengabarkan bahwa David ingin berbicara langsung dengan Lusia. Lusia mengangguk, menerima ponsel tersebut, dan membuka percakapan dengan sapaan singkat. David kemudian bertanya dengan suara penuh perhatian, memastikan apakah Lusia benar-benar baik-baik saja.
Lusia menatap Rayn yang masih memeluknya erat, kemudian menenangkan David, “Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”
David mengalihkan pembicaraan, “Berbicaralah dulu dengan Reisa, dia sangat mengkhawatirkanmu,” lalu menyerahkan ponsel itu ke Reisa.
Dari seberang telepon, suara Reisa terdengar panik, “Hya…! Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?”
Reisa mengeluh panjang lebar, kebingungan dengan rangkaian kejadian, “Aku tidak mengerti kenapa semua harus terjadi sekaligus, mati lampu, genset bermasalah, ada pria aneh yang memulai keributan, bahkan sampai perkelahian. Situasi macam apa ini? Aku…”
Namun, omelan Reisa terpotong oleh Lusia yang menyela, “Wah, kau benar-benar sudah dapat laporan sekomplit-komplitnya. Aku sendiri bahkan tidak ingat urutan kejadian yang aku alami.”
Lusia menegaskan dengan suara tegas, “Reisa, dengarkan aku. Aku baik-baik saja. Sungguh, tidak ada yang terluka sedikitpun, semuanya masih utuh seperti yang kau lihat terakhir kali. Jadi berhenti cemas dan mengkhawatirkan aku.”
Reisa langsung membalas dengan nada kesal, “Bagaimana aku tidak khawatir? Aku kesulitan menghubungimu! Sudah kukatakan, ganti saja ponselmu dengan yang baru!” Ia menambahkan dengan ancaman bercanda, “Kalau kau belum juga ganti dan aku masih susah menghubungimu, aku bakal buang semua barangmu dan mengusirmu dari rumah.”
Lusia terkekeh mendengar itu, “Haha… di saat seperti ini kau masih bisa meledekku. Tidak ada masalah dengan ponselku. Lanjutkan saja acaramu, nikmatilah. Aku tidak mau kau melewatkannya lagi karena aku. Aku yakin sekarang David jauh lebih khawatir tentangmu. Oke, aku matikan ya, bye.” Lusia menutup telepon dan menyerahkan kembali ponselnya ke Bella.
Reisa tampak kesal setelah Lusia memutus panggilan begitu saja. Dengan nada gusar, ia mengeluh pada David, “Wah, kau lihat? Bagaimana dia bisa memutuskan panggilannya begitu saja?”
Kepanikan Reisa belum reda, ia masih bingung dengan situasi yang sedang dihadapi sahabatnya, terjebak dalam pelukan seorang pria asing dan harus menghadapi omelan darinya.
David hanya tersenyum tipis menanggapi kekesalan Reisa. “Itu artinya semuanya baik-baik saja,” ucapnya menenangkan, sambil memperhatikan kekasihnya yang justru terlihat menggemaskan saat kesal.
***
Di lantai dua Galeri, Lusia meminta staf untuk meninggalkan mereka sejenak agar bisa berbicara lebih leluasa. Dengan suara lembut, ia mengajukan permintaan itu, dan staf pun segera memahami, memberi tahu bahwa mereka akan menunggu di lantai bawah sambil tetap siap membantu jika diperlukan. Setelah staf dan petugas keamanan meninggalkan ruangan, suasana menjadi lebih tenang.
Lusia menundukkan kepala sejenak, merasakan kesemutan di tubuhnya akibat posisi jongkok yang cukup lama sambil memeluk Rayn dalam ketegangan.
Menyadari gerak-gerik Lusia yang mulai gelisah karena kesemutan, Rayn perlahan melepaskan pelukannya. Ia bergeser sedikit dan bersandar pada dinding di belakangnya, mencoba memberi ruang. Suaranya terdengar rendah namun santai. “Kau bilang pada mereka aku mungkin phobia terhadap gelap,” ucapnya pelan, “tapi kau justru melempar jaket kepadaku dan menciptakan kegelapan sendiri.”
Nada bicaranya tak berniat menyalahkan, hanya mengungkapkan fakta dengan sedikit keheranan yang samar.
Lusia menyunggingkan senyum kaku, seolah mencoba menertawakan kebodohannya sendiri. “Ah, iya... aku terlalu terburu-buru membaca situasi. Kadang aku memang ceroboh,” Lusia baru sadar telah bilang pada pengunjung kalau Rayn mungkin fobia gelap, tapi ia justru menutupi kepala Rayn dengan jaketnya sendiri.
Ia mengangkat ponselnya yang masih menyala dan menunjukkannya sambil berujar pelan, “Tapi… setidaknya aku tetap memberimu cahaya, bukan?”
Lusia lalu menunduk dalam-dalam, menatap ujung sepatunya dengan wajah memerah. Dalam diam, ia menggerutu pada dirinya sendiri, “Setelah ini, apakah kau masih berani mengatakan bahwa dirimu baru saja menyelamatkan seseorang, Lusia? Selamatkan dulu urat malumu, baru bicara soal penyelamatan…” Bibirnya mengerucut kesal, sementara pipinya tak kunjung kehilangan rona merahnya.
Rayn memandangi gadis di depannya yang masih menunduk, sesekali menarik napas malu dan sesekali menggigit bibir menahan gerutu pada dirinya sendiri. Ia tampak kikuk, bahkan mungkin ceroboh, tapi ada sesuatu dalam caranya hadir yang membuat Rayn sulit berpaling.
Dalam hati, Rayn bergumam pelan, “Kau mungkin ceroboh… tapi kecerobohan itulah yang entah bagaimana masih tidak bisa kupahami, justru menyelamatkanku.”
*** To Be Continued***
Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃
✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..
❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍
📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)
🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.
Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
BYG
pertemuan pertamanya yang unik
2021-07-16
0
MandaNya Boy Arbeto❤️
eaaakkkkk eaaakkkk
bkl ada yg genggam tangan kamu Lusia 🤭🤭
2021-04-26
2
Arida Retna Nugrahani
cm lusia yg bisa pegang rayn niii
2021-04-25
1