Psithurism Art adalah galeri lukisan milik ayah David yang memiliki lima lantai. Gedung galeri ini tidak hanya digunakan untuk pameran lukisan, tetapi juga membuka kursus melukis untuk anak-anak.
Sesungguhnya, seni lukis bukanlah bidang yang digeluti David. Ia hanya membantu sang ayah menjalankan bisnis galeri tersebut. Ayah David sendiri merupakan seorang pebisnis sekaligus CEO dari perusahaan Golden Group. Galeri ini hanyalah salah satu dari banyak bisnis yang dimiliki ayahnya, lahir dari kecintaannya terhadap seni lukis. Justru di tempat inilah David memiliki banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Reisa, kekasihnya.
Sudah cukup lama sejak Lusia memutuskan untuk melanjutkan melihat-lihat beberapa lukisan di lantai dua, yang kini telah dipenuhi beberapa pengunjung.
“Hari ini cukup ramai. Apa karena Psithurism Art mendatangkan beberapa lukisan baru?” gumam Lusia.
Nada notifikasi WhatsApp berdenting pelan, “Ting... Tung”
Lusia menghentikan langkahnya sejenak, membuka ponsel yang ia simpan di dalam tas kecilnya. Di layar, muncul pesan dari Dave, rekan kerjanya di Friend’s Cafe.
“Kau masih belum kembali?”
Lusia membelalak. Panik tiba-tiba menyeruak ."Astaga... Aku benar-benar lupa,” desisnya pelan.
Rasa bersalah menyergap begitu cepat. Ia terlalu tenggelam menikmati lukisan-lukisan di galeri hingga melupakan waktu, hingga lupa bahwa ia masih harus kembali ke Friend’s Cafe. Bahkan, mobil operasional kafe masih bersamanya.
Dengan cepat ia mengetik balasan, jari-jarinya sedikit gemetar karena terburu-buru. “Aku akan segera kembali, tunggu aku. Kupastikan sudah di sana sebelum jam kerjamu berakhir... sorry yah Dave… maafkan aku ( !_!)”
Tak lama kemudian, balasan masuk.
“Baiklah, jangan khawatir. Aku bisa menunggu dan menggantikan shift. Kalau masih butuh waktu, jangan sungkan, kebetulan aku nggak ada jadwal lain.”
Lusia terdiam sejenak, matanya melembut membaca pesan itu. Ia tersenyum. Di tengah kepadatan harinya yang melelahkan, ada seseorang yang dengan tulus memberinya ruang bernapas.
"Dia benar-benar bisa diandalkan di saat seperti ini," ucapnya pelan, lalu menyelipkan kembali ponselnya.
Sementara itu, di cafe yang mulai ramai pengunjung sore, Dave menatap layar ponselnya yang kembali redup. Senyum tipis merekah di wajahnya yang masih muda.
"Dia sungguh tak perlu minta maaf," gumamnya dalam hati, lalu kembali memutar apron dan melanjutkan pekerjaannya di balik meja kasir.
Dave, anak SMA yang bekerja paruh waktu, mungkin terlihat biasa saja. Tapi dalam diamnya, ia sangat menghargai Lusia. Bagi Dave, semua bantuan kecil yang ia lakukan tak sebanding dengan kebaikan dan perhatian yang selama ini diberikan Lusia padanya. Lusia sudah seperti kakak yang tak pernah pelit membagi perhatian dan selalu menjaganya.
Lusia melangkah cepat meninggalkan lantai dua, niatnya hanya satu, segera kembali ke kafe. Namun, langkahnya terpaksa terhenti mendadak. Tanpa aba-aba, seluruh ruangan diselimuti kegelapan total.
Seketika, hiruk-pikuk kecil terdengar dari berbagai arah. Suara sepatu bergeser, desahan bingung, hingga bisik-bisik cemas dari para pengunjung yang kini sama-sama terkurung dalam gelap.
“Apa yang terjadi... mati lampu?” gumam Lusia, separuh bertanya, separuh tak percaya. “Galeri sebesar ini bisa mati lampu juga?”
Lusia tetap berusaha tenang. Tangannya meraba-raba isi tas, mencari ponsel dan segera menyalakan fitur senter. Cahaya kecil itu cukup untuk membuatnya bisa melihat beberapa langkah ke depan. Dengan hati-hati, ia mulai bergerak perlahan, menyusuri dinding, berusaha menemukan jalan menuju tangga darurat.
Di tengah kepanikan samar itu, terdengar suara staf yang berusaha menenangkan para pengunjung. Mereka meminta semua orang untuk tetap tenang di tempat masing-masing dan menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.
Tak lama kemudian, seorang staf lain menambahkan penjelasan dengan nada tegas namun tetap sopan bahwa telah terjadi masalah pada sistem kelistrikan galeri. Mereka mengakui adanya kendala dalam menyalakan genset, namun memastikan bahwa situasi akan segera teratasi dan memohon pengertian serta kesabaran dari para pengunjung.
Beberapa staf mulai berkeliling membawa lampu charge darurat, memberikan penerangan sebisanya. Namun tetap saja, tidak sedikit pengunjung yang mulai gelisah dan mengeluh karena lampu tak kunjung kembali menyala.
Lusia menarik napas dalam-dalam. “Tenang Lusia. Ini cuma mati lampu” bisiknya pada diri sendiri, sambil terus melangkah pelan menuju arah tangga, berusaha keluar dari kegelapan yang entah mengapa terasa lebih panjang dari seharusnya.
"Brakkkkk...."
Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar nyaring, menggelegar di tengah gelapnya galeri. Suara kanvas yang terhempas diikuti pekikan seorang pengunjung menciptakan kepanikan kecil di antara kerumunan.
Di tengah kekacauan itu, seorang pria bertubuh kekar melayangkan protes keras. Ia menuding seorang laki-laki yang tampak panik dan tidak menggubris keberadaannya. Laki-laki itu bergeming, hanya memundurkan tubuh dan menyandarkan diri ke dinding sambil berulang kali berkata agar tak seorang pun mendekat.
“Jangan mendekat…!!!” ucapnya.
Tubuhnya gemetar, nafasnya memburu, dan tangannya mencengkeram erat dada seolah menahan sesuatu yang sakit dari dalam. Wajahnya tampak pucat dalam sorot cahaya ponsel yang berseliweran di sekitarnya. Laki-laki itu adalah Rayn. Ia terus meminta orang-orang menjauh, suaranya melemah penuh desakan.
Namun, rasa penasaran justru menggerakkan para pengunjung mendekat. Mereka berusaha melihat lebih jelas, hanya bermodalkan cahaya senter ponsel masing-masing yang menari-nari di antara bayangan.
Seorang staf galeri mendekat, suaranya terdengar sopan dan cemas saat bertanya apakah Rayn baik-baik saja. Namun Rayn menepis perhatian itu, menyingkir menjauhi kerumunan tanpa berkata banyak.
Pria kekar yang sempat membentaknya merasa tersinggung oleh sikap itu. Tanpa memikirkan kondisi Rayn, ia melangkah cepat dan menarik bagian belakang baju Rayn, bermaksud menghentikan langkahnya dengan paksa.
“Hei, mau kemana kau si**an… !” teriaknya.
Namun Rayn, yang sudah kehilangan kendali, membalas dengan dorongan keras. Tubuh pria itu terlempar ke lantai, disambut keheningan sesaat sebelum gemuruh keributan kembali mengisi ruangan yang masih diselimuti gelap.
Menyadari bahwa tindakannya barusan tanpa sengaja menyakiti orang lain, Rayn segera mengangkat wajahnya dan meminta maaf dengan suara parau. Ia tidak bermaksud menyerang siapa pun. Nafasnya berat, tubuhnya limbung, dan dengan susah payah ia meraba dinding untuk kembali bersandar, berusaha mempertahankan kesadaran.
"Aku mohon, berhenti menyentuhku," desaknya lirih namun jelas, menyiratkan kepanikan yang terpendam.
Meski permohonannya sudah terdengar, para pengunjung tetap mengelilinginya. Mereka belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan justru membuat Rayn semakin terpojok. Suaranya melemah, namun memohon dengan tulus, "Apa kalian tidak dengar? Kumohon... kumohon, jangan mendekat... jangan sentuh aku..."
Nada itu akhirnya membuat sebagian pengunjung mundur pelan. Mereka mulai ragu, saling berbisik, mencoba menebak-nebak kondisi Rayn. Ada yang menunjukkan empati, ada pula yang mengernyit, menyangka Rayn tengah mabuk atau kehilangan akal.
Di tengah cahaya minim dari lampu-lampu ponsel, Lusia berdiri tak jauh, berusaha memahami kekacauan di depannya. Semuanya terlihat samar wajah-wajah bingung, bisik-bisik waswas, dan Rayn yang terduduk lemah di tengahnya.
Namun suasana kembali memanas. Pria kekar yang tadi terjatuh kini sudah berdiri dengan wajah penuh amarah. Tanpa peringatan, ia melayangkan pukulan ke arah Rayn. Tubuh Rayn ambruk, jatuh terduduk di lantai.
"Apa kau sudah gila?!" bentaknya lantang. "Apa yang kau bilang tadi? Jangan sentuh kau? Kau pikir kau anak sultan? Dewa, hah?! Sialan!" Teriakannya menggema, menyulut kepanikan baru di tengah ruangan yang masih gelap.
Salah satu staf wanita galeri tampak panik. Ia berlari kecil di antara kerumunan, menempelkan ponsel ke telinganya. Wajahnya tegang, napas memburu, dan pandangannya gelisah menyapu sekeliling. Berkali-kali ia mencoba menghubungi petugas keamanan, namun tak satu pun panggilan tersambung. Suasana yang semakin kacau membuatnya semakin cemas, seolah setiap detik keterlambatan bisa memperburuk keadaan.
Pria itu masih terus meluapkan amarahnya, memaki-maki Rayn dengan kepalan tangan yang sudah siap kembali dilayangkan. Sementara itu, Rayn hanya menunduk, tubuhnya gemetar, menahan sakit yang belum sepenuhnya reda. Saat pria itu mengangkat tangannya untuk memukul lagi, sebuah langkah cepat menerobos kerumunan.
Lusia dengan nafas tersengal karena berlari berdiri tepat di depan Rayn, merentangkan kedua lengannya, menghadang tubuh kekar yang siap menerjang.
“Tolong hentikan… !!!” Teriak Lusia.
Ia berseru lantang, memohon agar pria itu berhenti. Kata-katanya tajam namun jelas menunjukkan kepedulian. Ia menunjukkan bahwa Rayn sudah tak lagi mampu melawan, tak sepantasnya seseorang memukul orang lain yang bahkan tak bisa berdiri tegak.
Melihat pukulan itu akhirnya tertahan, Lusia segera membalikkan tubuhnya, berlutut di samping Rayn. Tanpa ragu, ia melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu menutup kepala Rayn dengan lembut. Pria itu tampak semakin rapuh, mencoba menjauh, bahkan sempat menepis tangan Lusia dengan lemah, namun Lusia tetap bertahan.
Ia memeluk Rayn, erat namun penuh kehangatan, lalu menyalakan cahaya kecil dari ponselnya. Dengan suara lembut, ia terus menguatkan Rayn, meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa ia aman. Cahaya itu menjadi jangkar di tengah gelap dan kekacauan yang melingkupi galeri.
Lusia kemudian menoleh pada para pengunjung yang masih mengelilingi mereka. Dengan nada tenang namun tegas, ia meminta mereka untuk mundur. Ia menyampaikan bahwa dari cara Rayn gemetar dan menghindar, jelas ia sedang mengalami ketakutan yang luar biasa mungkin fobia akan kegelapan atau keramaian. Bukan karena ingin melukai siapa pun.
Terakhir, tatapannya beralih pada pria yang sebelumnya memukul Rayn. Ia memohon pengertiannya juga, meyakinkan bahwa Rayn tak berniat jahat, ia hanya sedang terjebak dalam kepanikan yang tak bisa ia kendalikan.
Pria itu mendengus kesal, lalu meludah sembarangan ke lantai sebelum memutar tubuhnya. “Hahh... Anggap saja aku sedang sial hari ini,” gerutunya, lalu berjalan menjauh meninggalkan Rayn dan Lusia. Ia tak menoleh lagi.
Lusia hanya bisa menundukkan kepala, membalas dengan isyarat maaf meski pria itu tak lagi melihat. Tangannya masih memeluk Rayn erat, mencoba memberi perlindungan sederhana di tengah situasi yang perlahan mulai mereda.
Beberapa menit kemudian, lampu akhirnya menyala. Cahaya putih keemasan memenuhi galeri, menyingkirkan bayang-bayang ketakutan yang sempat menguasai ruangan. Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan lantai dua, dibimbing oleh staf galeri yang tampak sibuk mengarahkan dan mengucapkan permintaan maaf.
Ucapan maaf itu terdengar berulang-ulang, tulus dan gugup. Sebagian pengunjung hanya mengangguk maklum, memahami bahwa ini adalah kejadian tak terduga. Namun tak sedikit pula yang pergi dengan wajah kecewa, menyisakan bisik-bisik tajam dan komentar pedas mengenai buruknya pelayanan serta lemahnya keamanan Psithurism Art Gallery malam itu.
Seorang staf berdiri di dekat lift, menahan pintu tetap terbuka sambil membungkuk kecil setiap kali pengunjung masuk. “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” ujarnya berulang kali, suaranya pelan namun tulus.
Di sudut yang lebih sepi, Lusia memandang Rayn yang masih bersandar di dinding. Dengan suara lembut, ia berbisik padanya meyakinkan bahwa semuanya telah usai. Tak ada lagi sorotan ponsel, tak ada lagi suara gaduh, hanya dirinya yang masih di sisi Rayn.
Lusia menunduk, menatap wajah Rayn yang masih tertutup oleh jaketnya. Suaranya pelan, penuh kehati-hatian. “Apa kau sudah mulai merasa lebih baik? Apa aku sudah bisa membuka jaketnya?”
Tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih cemas. “Apa kita perlu ke rumah sakit?”
Tetap tak ada respons. Lusia menarik napas pelan, mencoba untuk tidak panik. “Atau... tunggulah sebentar. Aku akan meminta air untukmu.”
Ia melepaskan pelukannya perlahan, berusaha bangkit berdiri. Namun tiba-tiba, sebuah suara lirih menghentikannya. “Jangan pergi…”
Rayn meraih lengannya, genggamannya lemah tapi terasa memohon. “Hanya sebentar saja… bisakah kau tetap di sini sebentar saja?”
Lusia menatapnya dengan penuh iba. “Kenapa? Apa ada yang terluka?”
Ia mencoba membuka jaket yang menutupi kepala Rayn, berharap bisa melihat ekspresinya dengan lebih jelas. Tapi Rayn tak menjawab. Sebaliknya, ia justru menarik Lusia kembali dalam pelukannya, lebih erat dari sebelumnya. Dagunya bersandar lelah di bahu gadis itu, seakan berusaha menemukan ketenangan dalam kehadirannya.
“Kumohon…” bisiknya nyaris tak terdengar, matanya terpejam, seolah dunia di sekeliling mereka akhirnya bisa menghilang hanya dengan kehadiran satu orang saja.
Ia pun tak mengerti. Tak tahu mengapa tubuhnya tidak lagi memberontak. Mengapa ia bisa membiarkan seseorang berada sedekat itu. Membiarkan pelukan Lusia bertahan begitu lama tanpa dorongan untuk menghindar. Dan untuk pertama kalinya sejak ketakutan itu kembali menyerangnya, Rayn merasa napasnya mulai teratur. Hatinya tak lagi berdentum membabi buta.
Rayn belum siap untuk memahami apa artinya ini semua, tapi yang ia tahu, ia tidak ingin Lusia pergi. Bukan sekarang.
***To Be Continued***
Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃
✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..
❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS loh 😍
📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)
🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.
Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
@InunAnwar
mr phobia mulai menemukan kenyamanan
2021-12-01
0
Queen
wawawahh keren banget, serasa nonton drakor gue,,,asli thorr bagus banget thank yahhh rekomendasinya
2021-07-30
1
BYG
Calon Jodoh sudah ini
2021-07-16
0