BAB 03 - Lotus

Lusia masih berada di dalam galeri Psithurism Art, berjalan pelan di antara barisan lukisan dengan David di sisinya. Sesekali, tawa kecil terdengar saat keduanya saling melempar candaan, seperti kebiasaan lama yang tak pernah hilang. Kedekatan mereka bukan lagi rahasia—Lusia dan David telah bersahabat sejak duduk di bangku SMA, bersama Reisa, sahabat mereka yang lain.

Sambil menelusuri karya-karya seni di dinding, perhatian Lusia tiba-tiba terhenti. Pandangannya terpaku pada sebuah lukisan yang terpajang tepat di belakang David. Ia melangkah perlahan mendekatinya, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk melihat lebih dekat.

Lukisan itu menampilkan hamparan pepohonan yang dibalut kabut gelap. Di antara bayangan pekat itu, sinar matahari menembus dalam bentuk cahaya kecil-kecil, memecah kesuraman dan menciptakan nuansa yang begitu kontras sekaligus magis.

Lusia mempersempit jarak, mendekatkan wajahnya ke sudut bawah lukisan. Matanya membulat, berusaha membaca tulisan kecil yang tertera di sana.

“Lotus…?” gumamnya dalam hati, alisnya mengernyit pelan saat membaca inisial bertuliskan #Lotus di ujung kanan bawah kanvas.

Lusia tak bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. Ada sesuatu yang begitu familiar, namun juga asing, seolah lukisan tersebut menyimpan lapisan cerita yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang cukup peka. Kabut gelap dan cahaya matahari yang saling berkejaran di antara batang pepohonan menciptakan atmosfer yang menyentuh, seakan menggambarkan pergulatan batin seseorang antara luka dan harapan.

Perlahan, ia menoleh pada David yang berdiri di sampingnya, masih memerhatikan lukisan lain tanpa menyadari sorot mata Lusia yang kini dipenuhi tanda tanya.

“David…,” suara Lusia lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan galeri yang tenang, “Ini... karya Lotus, bukan?”

David mengangguk pelan, seolah telah menebak pertanyaan itu sejak Lusia mulai mendekat. “Kau benar. Inisialnya tertulis di sudut bawah. Gaya dan nuansanya juga tak salah lagi. Itu karya Lotus.”

Lusia menarik napas perlahan. Rasanya seperti menemukan fragmen masa lalu yang sempat hilang. Ia masih menatap lukisan itu, menyusuri setiap goresan warna yang tampak begitu emosional dan personal.

“Ayahmu membelinya lagi?” tanyanya, masih tanpa mengalihkan pandangan.

Sebuah senyum kecil muncul di wajah David. “Tentu saja. Kau tahu bagaimana ayahku. Ia tidak pernah melewatkan satu pun karya yang menarik perhatiannya, apalagi jika itu hasil tangan Lotus.”

Lusia mengangguk pelan. Ada kekaguman yang tak ia sembunyikan. Lotus adalah nama yang mulai banyak dibicarakan dalam lingkaran kolektor seni belakangan ini, seorang seniman yang tak pernah tampil di muka umum, namun karyanya selalu berhasil menggugah hati siapa pun yang melihatnya.

“Luar biasa…” gumamnya, setengah pada diri sendiri.

David lalu menambahkan, seolah mengingat sesuatu, “Bahkan, ayahku berencana meminta langsung kepada Lotus untuk membuatkan satu lukisan eksklusif, sebagai penanda ulang tahun galeri ini.”

Lusia sontak menoleh, matanya membesar. “Memintanya membuat karya secara khusus? Bukankah... karya Lotus selalu bernilai tinggi?”

Tentu, ia tahu itu. Lotus bukan seniman biasa. Setiap lukisannya bukan hanya mahal secara nominal, tapi juga langka dan penuh simbol. Tidak semua orang bisa memilikinya, bahkan dengan uang sekalipun. Ada yang mengatakan bahwa Lotus hanya menjual karyanya pada mereka yang dianggap ‘layak’.

David membuka mulut, ingin menjelaskan lebih jauh, namun belum sempat kata-katanya meluncur, Lusia sudah menyela dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seperti anak kecil yang menemukan teka-teki di tengah permainan.

Lusia berbalik dengan cepat, gerakannya nyaris tanpa jeda seperti sebuah kilasan ide yang tak bisa ditahan lebih lama. Wajahnya memancarkan campuran rasa ingin tahu dan keterkejutan. “Tunggu...,” katanya nyaris setengah berbisik, namun penuh tekanan. “Kalau begitu... apakah itu berarti ayahmu pernah bertemu langsung dengan Lotus?”

Ia menatap David penuh intensitas, matanya tajam seperti sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi sahabatnya itu. “Dia pria? Atau wanita? Kau bisa memberitahuku, bukan?”

David tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di tempatnya, menatap Lusia yang kini kembali memalingkan pandangan ke lukisan, lalu menatapnya lagi, seperti anak kecil yang menemukan pintu menuju dunia rahasia .

Lusia menatap lukisan itu sekali lagi, kali ini dengan takjub yang tak disembunyikan. “Sungguh... aku masih tidak percaya. Karya ini luar biasa. Dan jika benar ayahmu tahu siapa di balik semua ini… aku makin yakin kalau dia memang penggemar berat Lotus.”

Kalimat demi kalimat meluncur begitu saja dari mulut Lusia, deras seperti air hujan yang tak tertahankan. Pertanyaannya mengalir tanpa jeda, seolah seluruh pikirannya tumpah dalam bentuk kata-kata. David hanya diam, mendengarkan dengan sabar seperti yang selalu ia lakukan selama bertahun-tahun mengenal Lusia.

Tiba-tiba, Lusia membalikkan badan dengan cepat, membuat David sedikit tersentak. Ia menatapnya dengan ekspresi serius yang mendadak berubah menjadi senyum cerah penuh pujian.

“Ayahmu memang keren!” katanya sambil mengacungkan jempol, ekspresi kagum itu begitu tulus dan lepas.

David akhirnya mengangkat alis, menyilangkan tangan di depan dada. “Bukankah setiap pertanyaan itu pada akhirnya butuh jawaban?” ucapnya santai, tapi ada nada geli tersembunyi di balik suaranya.

David menggeleng pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau benar-benar seperti gerbong kereta api. Panjang dan melaju tanpa berhenti.”

Lusia tersadar, matanya membulat lalu tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepalanya. “Aaaa... maaf, haha.”

Lusia tertawa, kali ini lebih lepas. Ia tahu benar bahwa dirinya kadang sulit dikendalikan jika rasa penasaran sudah muncul ke permukaan. Tapi itulah dirinya, dan David dengan segala ketenangannya selalu menjadi penyeimbang yang membuatnya tetap waras di tengah hiruk-pikuk pikirannya sendiri.

David tidak langsung menanggapi. Ia hanya terus menatap lukisan itu, seolah sedang menanti jawaban yang lebih dalam dari yang baru saja didengarnya. Dan benar saja, tak lama kemudian ia bertanya lagi, “Hanya itu yang bisa kau rasakan?”

Pertanyaan itu menggantung sesaat. Lusia berpaling ke arah David, lalu kembali ke lukisan itu. “Eemm… entah mengapa,” ucapnya pelan, “ketenangan itu sekilas seperti hanya sebuah ilusi. Karena semakin lama kupandangi, aku seperti bisa merasakan... sebuah kesedihan. Perasaan apa itu?” Kalimat terakhir meluncur begitu saja dan ia sendiri tak tahu dari mana asalnya.

David tersenyum samar, lalu berkata dengan nada yang tak bisa ditebak sepenuhnya. “Kau sungguh bisa melihatnya?”

Lusia diam sesaat. Ia merasa seperti sedang diuji, tapi bukan dengan maksud menghakimi lebih seperti sedang diajak memahami sesuatu yang belum tentu bisa dijelaskan. Ia akhirnya mengangguk kecil, meski jawabannya tetap ragu.

“Aku… masih tidak yakin,” gumamnya pelan.

David yang masih berdiri di samping Lusia, menatap lukisan yang sama, tapi dengan pandangan yang berbeda. Dengan tenang David menjelaskan jika ketenangan dalam lukisan ini bukan semata keindahan, tapi bagian dari jeritan sunyi. Sebuah harapan tipis yang datang dari ruang putus asa, seruan lirih seseorang yang ingin didengar. "Aku di sini," begitulah ia membayangkan suara dari balik kanvas itu, nyaris tak terdengar, namun nyata.

Langkah David lebih mendekat, Ia mengamati siluet dan gradasi warna dalam lukisan itu, lalu menoleh pada Lusia dengan sorot mata penuh arti. Dalam pikirannya, makna yang terpancar dari lukisan itu bukan hanya soal estetika. Ini adalah permohonan diam seseorang yang ingin diselamatkan, tapi tidak tahu bagaimana caranya bersuara. Tak ada keceriaan di dalamnya, hanya sunyi yang menggantung, menunggu seseorang cukup peka untuk menyadari jeritannya.

Lusia mendengarkan dalam diam. Ia baru menyadari bahwa bukan hanya lukisan ini, tapi seluruh karya Lotus yang pernah ia lihat selalu mengandung nuansa melankolis yang sama. Tidak pernah ada kehangatan yang menyala terang. Hanya bayangan, harapan, dan kesedihan yang membayang seperti langit senja yang terus menahan hujan.

Sambil mengelus perlahan inisial #Lotus yang tergores halus di sudut lukisan, Lusia bergumam, akankah sang seniman ini suatu hari menciptakan sesuatu yang benar-benar ceria? Atau apakah seluruh kehidupannya terlalu sarat luka hingga tak lagi mampu menciptakan cahaya?

David menanggapi gumam tak terucap itu dengan pandangan tenang. Baginya, setiap pelukis adalah cerminan batin mereka sendiri. Gaya mereka bukan sekadar teknik, melainkan bagian dari identitas. Dan Lotus, dalam ketekunannya menyembunyikan wajah di balik nama pena, seolah ingin dunia mengenalnya hanya melalui emosi yang ia tuangkan di atas kanvas. Bukan siapa dia, tapi apa yang ia rasakan itulah yang ingin ia sampaikan.

Namun, hal itu justru membuat Lusia semakin penasaran. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki karya seindah ini memilih tetap menjadi bayangan? Apa yang membuatnya takut untuk muncul ke permukaan? Padahal dunia sudah mengakui bakatnya. Lusia menatap tajam inisial itu seakan berharap bisa mengintip siapa sebenarnya di baliknya.

Kebisuan mereka pecah saat langkah ringan menghampiri. Reisa, yang telah selesai berganti pakaian, muncul dengan semangat khasnya. Suaranya riang dan ringan, membawa mereka kembali ke dunia nyata dari percakapan yang barusan terasa seperti berjalan di lorong sunyi masa lalu.

“Aku sudah siap, kita bisa pergi sekarang!” serunya dengan senyum lebar.

David menoleh, senyum kecil terukir di wajahnya. "Tentu," jawabnya tenang, sebelum melangkah meninggalkan lukisan yang masih memikat keduanya, menyimpan rahasia yang belum sempat sepenuhnya terungkap.

Setelah percakapan mereka yang sarat makna di depan lukisan Lotus, David kembali bersikap seperti biasanya tenang, sopan, dan penuh perhatian. Ia menoleh pada Lusia, yang masih berdiri memandangi karya itu, “Lusia, jika kau masih memiliki waktu, kau bisa melanjutkan berkeliling melihat beberapa lukisan baru yang ayahku datangkan minggu ini. Ada di lantai dua.”

Namun sebelum Lusia sempat menjawab, langkah ringan Reisa sudah lebih dulu menghampirinya. Dengan gaya manjanya yang khas, ia langsung merangkul tangan Lusia, menyandarkan kepala di bahu kiri sahabatnya itu. “Oh ya, Lusia… peri cantikku yang manis,” ucapnya dengan senyum menggemaskan, gaya yang terlalu dikenali oleh Lusia sebagai sinyal bahwa Reisa sedang menginginkan sesuatu.

Lusia menoleh sekilas dengan senyum samar, mendesah pelan. “Oh…” gumamnya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.

Reisa menatap wajah Lusia sambil mendongakkan kepala dengan sorot mata berbinar. “Acaranya kali ini mungkin akan lebih lama, jadi… bolehkah aku…?” Wajahnya berubah seperti bayi kucing yang memohon, lengkap dengan ekspresi memelas yang sudah terlalu sering Lusia lihat.

Menahan senyum, Lusia menatapnya dengan pandangan meledek. “Lihatlah ini… bayi kucing siapa, coba?” katanya pelan. “Meski aku bilang tidak boleh, apakah kau akan menuruti laranganku, Putri Kecilku?”

Alih-alih menjawab, Reisa menggeleng dengan cepat tiga kali, lalu merangkul lengan Lusia lebih erat lagi, seolah menekankan bahwa ia tidak akan membiarkan argumen menggagalkan niatnya.

David menyaksikan interaksi mereka dengan senyum kecil. Ia lalu menimpali dengan suara tenang namun tegas. “Aku akan membawa kembali Putri Kecilmu ini dengan utuh dan selamat sampai rumah,” ucapnya, meyakinkan. “Bahkan, jika perlu, galeri ini bisa kujadikan jaminannya.”

Kata-katanya diiringi dengan tindak nyata. David meraih tangan Reisa dan menggenggamnya erat. Ada kelembutan di sana, sentuhan yang menegaskan status hubungan mereka, Reisa bukan hanya sekadar teman dekatnya, tapi kekasihnya.

Dengan penuh kemenangan, Reisa melambaikan tangan ke arah Lusia sambil berseru manja, “Aku pergi dulu, babby~ bye bye!” Suaranya ceria, seperti biasa, namun ada ketulusan di dalamnya. Beberapa langkah sebelum keluar dari galeri, ia berbalik, menambahkan dengan nada perhatian, “Oh ya! Jangan lupa makan makanan yang sudah kupesankan untukmu, oke?! Dan hati-hati saat kembali ke kafe!”

Lusia membalas lambaian Reisa dengan senyum tipis dan gerakan tangan yang pelan. Pandangannya mengikuti langkah pasangan itu yang berjalan menjauh, bergandengan tangan dengan ringan dan penuh kenyamanan, seolah dunia di sekitar mereka tak lebih dari latar yang kabur. Ada sesuatu yang mengganjal di dada Lusia, bukan iri, bukan pula cemburu.

Ia menunduk perlahan dan memandang telapak tangannya sendiri. Jemarinya menggenggam, lalu membuka kembali, berulang-ulang. Seolah bertanya tanpa suara, "Apakah suatu saat nanti… akan ada seseorang yang juga menggenggam tanganmu, Lusia?"

Pertanyaan itu menggantung di dalam kepalanya, mengendap bersama napas yang ia hela panjang-panjang. Bagi Lusia, cinta bukan hanya hal yang jauh, tapi juga terasa mewah. Pacaran, berkencan, menikmati perhatian dari seseorang, semua itu terdengar seperti sesuatu yang hanya dimiliki oleh mereka yang punya waktu dan pilihan. Sementara hidup Lusia diatur oleh rutinitas yang padat dan tuntutan bertahan.

Pagi hari, ia bekerja sebagai penjaga di toko bunga ‘Mey Flowers’. Aroma segar bunga dan sapaan pelanggan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Begitu matahari tenggelam, ia berganti seragam dan bersiap menghadapi shift malam di ‘Friends Café’, melayani pelanggan hingga larut dengan senyum yang tetap dipaksakan. Bahkan di hari libur yang seharusnya bisa ia gunakan untuk beristirahat atau bersenang-senang, ia masih menyisihkan waktu untuk menerima panggilan sebagai sopir pengganti.

Tidak ada waktu untuk sekadar hangout atau berjalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama teman. Hidup Lusia adalah tentang efisiensi dan tanggung jawab. Gadis-gadis seusianya mungkin sibuk memilih gaun untuk kencan akhir pekan, sementara ia memilih rute tercepat agar bisa pulang dan tidur meski hanya dua jam.

Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berucap pada dirinya sendiri, lebih sebagai pengingat daripada keluhan. “Berhentilah mengharapkan yang tidak-tidak, Lusia. Tak ada ruang untuk asmara saat kau bahkan harus berjuang sekadar untuk bertahan.”

Ia tersenyum, kecil namun tulus, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. “Lagi pula, siapa yang akan melirik gadis biasa sepertimu?” lanjutnya, nada bicara itu seolah berasal dari hati yang sudah terlalu sering mencoba berdamai dengan kenyataan. “Tak apa, Lusia. Tidak memiliki pacar bukan akhir dari dunia. Kau tidak akan mati hanya karena sendiri.”

Lusia kembali memandang lukisan Lotus, seolah berharap bisa menembus kanvas itu dan menyusuri isi hati sang pelukis. Ia menghela napas, lalu bergumam dalam hati, “Lalu, kehidupan seperti apa yang sebenarnya dimilikinya?”

Ia melangkah lebih dekat, menyentuhkan jemari ke udara di depan lukisan, "Jika setiap lukisanmu adalah bagian dari dirimu, kenapa selalu melambangkan kesedihan?" pikirnya, matanya menatap lekat. "Bukankah seharusnya kau merasa beruntung? Banyak yang menyukai karyamu, banyak yang memujimu… Jadi, pastikan suatu hari nanti, aku bisa melihat karya yang menggambarkan keceriaanmu, Tuan Lotus.”

Namun kemudian ia mengerutkan alis. Sebuah pikiran lain menyusup dalam benaknya. “Eemm… bukan Tuan, tapi… Nona? Nona Lotus?” gumamnya pelan, terdengar seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia tak pernah tahu siapa sebenarnya sosok di balik nama pena itu. Pria atau wanita, muda atau tua, semuanya masih tanda tanya.

Ia berjalan menuju lift, siap untuk melanjutkan saran David melihat beberapa karya baru di lantai dua. Namun begitu tiba di depan pintu lift, matanya menangkap pantulan samar sosok seseorang tak jauh di belakangnya. Ia mengenakan masker dan kemeja hitam lengan panjang, serta topi buket yang menutupi sebagian wajahnya. Meski tampak santai, ada sorot tajam yang terarah padanya.

Refleks, Lusia menoleh. Namun begitu mata mereka nyaris bertemu, pria itu langsung menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Ting...

Bunyi lift yang terbuka menarik Lusia kembali pada tujuannya. Ia melangkah masuk, dan sesaat sebelum pintu tertutup, ia sempat melihat sosok pria itu kembali menatap ke arahnya. Tak berkata apa-apa, hanya menatap diam-diam dari kejauhan.

Lusia berdiri diam di dalam lift yang mulai bergerak ke atas. Tatapannya masih tertinggal pada pintu yang telah menutup sempurna.

"Apakah… barusan dia memperhatikanku?" tanyanya dalam hati. Tapi ia segera menggeleng pelan, mengabaikan getaran aneh yang tertinggal dalam dadanya. “Mungkin hanya kebetulan. Mungkin hanya perasaanku saja,” ucapnya lirih, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai membentuk skenario aneh di kepalanya.

Namun tetap saja, sorot mata itu... terasa tidak biasa.

*** To Be Continued***

Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃

✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..

❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍

📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)

🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.

Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆

Terpopuler

Comments

Meimawati

Meimawati

tuan lotus

2021-09-24

0

Queen

Queen

serasa nonton drakor gue, pas banget visualnya artis korea

2021-07-30

2

BYG

BYG

Lanjutttt

2021-07-16

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 01 - Prolog
2 BAB 02 - Karena dia sahabatku
3 BAB 03 - Lotus
4 BAB 04 - Pertemuan Malam Itu
5 BAB 05 - Terjebak Pelukannya
6 BAB 06 - Tidak tahu Terima Kasih
7 BAB 07 - Horor
8 BAB 08 - Psikopat
9 BAB 09 - Malam Yang Panjang
10 BAB 10 - Bromance
11 BAB 11 - Cemburu
12 BAB 12 - Negoisasi
13 BAB 13 - Kopi dari Sang Pangeran
14 BAB 14 - Bunga Misterius
15 BAB 15 - Awal Dari Semua
16 BAB 16 - Maafkan Aku Ibu
17 BAB 17 - Perasaan Kelvin
18 BAB 18 - Flahsback
19 BAB 19 - Diasingkan
20 BAB 20 - Kesepakatan
21 BAB 21 - Raihlah Tanganku
22 BAB 22 - Panggilan untuk Bos baru
23 BAB 23 - Jalan Hidupku Miliku
24 BAB 24 - Mobil Baru
25 BAB 25 - Mobil Misterius
26 BAB 26 - BodyGuard Baru
27 BAB 27 - Kencan Romantis
28 BAB 28 - Hiburan Malam
29 BAB 29 - Pertolongan
30 BAB 30 - Siapa dia ?
31 Bab 31 - Penguntit ?
32 BAB 32 - Netizen Maha Benar
33 BAB 33 - Mabuk
34 BAB 34 - Terlalu Rupawan
35 Bab 35 - Percayalah Padaku
36 BAB 36 - Anak AYam
37 BAB 37 - Kejamnya Haters
38 BAB 38 - Ingatan Yang Menyiksa
39 BAB 39 - Gadis Kuncir Kuda
40 BAB 40 - Fakta Yang Tak Terungkap
41 BAB 41 - Kau Kekasihku
42 BAB 42 - Demi Lusia
43 BAB 43 - Tertipu
44 BAB 44 - Kabar Baik
45 BAB 45 - Di Salahpahami
46 BAB 46 - Yang Tidak Mickey Ingat
47 BAB 47 - Dia Gadis Berkuncir Kuda
48 BAB 48 - Sup Kerang
49 BAB 49 - Impianmu adalah Milikmu
50 BAB 50 - Bahagia diatas Penderitaanku
51 BAB 51 - Orang Pertama Bagiku
52 BAB 52 - Apa Dia Pacarnya? (Misi ke-3 Part 1)
53 BAB 53 - Baby Sister Bayi Raksasa ( Misi ke-3 Part 2 )
54 BAB 54 - Cemburu?
55 BAB 55 - Terlalu Lemah
56 BAB 56 - Dervilia
57 BAB 57 - Siapa wanita itu?
58 BAB 58 - Aku pun ingin menyerah
59 BAB 59 - Dr. Leona
60 BAB 60 - Colokan Listrik
61 BAB 61 - Dicemaskan 2 Pria
62 BAB 62 - Karena Aku Suka
63 BAB 63 - Kembang Api
64 BAB 64 - Pria Misterius yang Kejam
65 BAB 65 - Kau Segalanya Bagiku.
66 BAB 66 - Dia Wanitaku
67 BAB 67 - Kegiatan Romantis di pagi hari
68 BAB 68 - Tidak Ingin Menyerah
69 BAB 69 - Jangan Pergi
70 BAB 70 - Aroma Petrichor
71 BAB 71 - Derita Mickey Kecil
72 BAB 72 - Cahaya dan Luka Mickey
73 BAB 73 - Hantu Putri Duyung
74 BAB 74 - Menjadi Istriku
75 BAB 75 - Aku Mencintaimu Lusia
76 BAB 76 - Semak-Semak
77 BAB 77 - Siapa Dia (Part2)
78 BAB 78 - Cinta Mickey
79 BAB 79 - Cara Kencan Kami
80 BAB 80 - Cemburu ?
81 BAB 81 - Malam Kecelakaan
82 BAB 82 - Ibu
83 BAB 83 - Bukan Salahmu
84 BAB 84 - Kenapa Harus Dirimu
85 Pengumuman
86 BAB 85 - Mustahil itu Ayahmu
87 BAB 86 - Louis, Narapidana 7007
88 BAB 86 - Dia, Si Pria Pembunuh
89 BAB 87 - Kau Bukan Dewa atau Tuhan
90 BAB 2 - Tergoda Sang Penggoda
91 BAB 91 - Kesempurnaan Hatimu
92 BAB 92 - Garis Takdir
93 BAB 93 - Hatiku Selalu Miliknya
94 BAB 94 - Melepaskan Rasa
95 BAB 95 - Si Kembar Yang Jahat
96 BAB 96 - Aku Ingin Tubuhmu
97 BAB 97 - Dia Si Pria Misterius
98 BAB 98 - Sang Psikopat
99 BAB 99 - Selamatkan Dia
100 BAB 100 - Bukan Salahmu
101 BAB 101 - Masih Menunggumu
102 BAB 102 - Little Mermaid
103 BAB 104 - Keputusan Yang Sulit
104 BAB 103 - Aku Tanpamu
105 BAB 104 - Keputusan Yang Sulit
106 BAB 105 - Bukan Mimpi
107 BAB 106 - Menjadikanmu Takdirku
108 BAB 107 - Lebih dari Kekasihku
109 BAB 108 - Ketangkap Basah
110 BAB 109 - Menipu Dunia
111 BAB 110 - Dia Masih Hidup
112 BAB 111 - Kenyamanan
113 BAB 112 - Keluarga Bahagia
114 BAB 113 - Kebahagian Yang Sederhana
115 BAB 114 - Ketakutanku
116 BAB 115 - Bersamamu Seperti Ini
117 BAB 116 - Melindungnya Dengan Caraku
118 BAB 117 - Drama Romansa Canada
119 BAB 118 - Pilihan Yang Ku Pilih
120 BAB 119 - Will You Merry Me
121 BAB 120 - Restu Darinya
122 BAB 121 - Warna Hidupku Darinya
123 BAB 122 - Duniaku Bersamanya
124 BAB 123 - Wedding Day
125 BAB 124 - Malam Yang Tertunda
126 BAB 125 - Melindungi Perasaanmu
127 BAB 126 - Wanita Yang Menungguku Pulang
128 BAB 127 - Menjadi Suami Yang Sempurna
129 BAB 128 - Dia Suamiku
130 BAB 129 - Menuju Surga Dunia
131 BAB 130 - Incredible Night
132 BAB 131 - Melindungi Adikku, Ryan
133 BAB 132 - Cucu Team Kesebelasan
134 BAB 133 - Aku Memilihmu
135 BAB 134 - Sikap Yang Ku Pilih
136 BAB 135 - Selamat Tinggal
137 BAB 136 - Rahasia Tanpa Diriku
138 BAB 137 - Dia Ayahku
139 BAB 138 - Apa Kau Baik-Baik Saja ?
140 BAB 139 - Tatapan Itu Lagi
141 BAB 140 - Aku Selalu Ada
142 BAB 141 - Aku Tidak Bisa Membencimu
143 BAB 142 - Satunya Yang Melindungimu
144 BAB 143 - Kau Tidak Mencintainya
145 BAB 144 - Terhanyut
146 BAB 145 - Jangan Menahannya
147 BAB 146 - Cinta Sejati itu Dirimu
148 BAB 147 - Dewa Takdir
149 BAB 148 - Langit Senja
150 BAB 149 - Drama Romantis
151 BAB 150 - Undanga Reuni
152 BAB 151 - Gosip Menikah
153 BAB 152 - Reuni Terburuk
154 BAB 154 - Dia Pemenangnya
155 BAB 155 - Circle
156 BAB 156 - Menjadi Ayah
157 BAB 157 - Racikan Derward
158 BAB 158 - Rencana Derward, Goal !
159 BAB 159 - Kesetiaan Leona
160 BAB 160 - Picnic Day
161 BAB 161 - Kesetian Arka
162 BAB 162 - Hanya Ingin Melindungimu
163 BAB 163 - Cemburu Kekanakan
164 BAB 164 - NK Group ?
165 BAB 165 - Perihnya Kekuasaan
166 BAB 166 - Keputusan Leona
167 BAB 167 - Lie
168 BAB 168 - Percayalah Padaku
169 BAB 169 - Undangan VVIP
170 BAB 170 - Siapa Lotus ?
171 BAB 171 - Dia adalah Lotus
172 BAB 172 - Dia Wanitaku
173 BAB 173 - Destiny
174 BAB 174 - Berita Besar
175 BAB 175 - Kaburnya Louis
176 BAB 176 - Dendam Mike
177 BAB 177 - Menghibur
178 BAB 178 - Dibodohi
179 BAB 179 - Putra NK Group
180 BAB 180 - Sepatu Bayi
181 BAB 181 - Jawaban Penantian
182 BAB 182 - Tunggu Aku
183 BAB 183 - Selamatkan Dia
184 BAB 184 - Katakan Padaku
185 BAB 185 - Buah Hati
186 BAB 186 - Ironis
187 BAB 187 - Kebebasan Mickey
188 BAB 188 - Apa Itu Dirimu ?
189 BAB 189 - Jangan Pernah Melepasku
190 BAB 190 - Cukup Hanya Kita
191 BAB 191 - Kembali Muda
192 BAB 192 - Ice Cream
193 BAB 193 - Tentang Kita Berdua
Episodes

Updated 193 Episodes

1
BAB 01 - Prolog
2
BAB 02 - Karena dia sahabatku
3
BAB 03 - Lotus
4
BAB 04 - Pertemuan Malam Itu
5
BAB 05 - Terjebak Pelukannya
6
BAB 06 - Tidak tahu Terima Kasih
7
BAB 07 - Horor
8
BAB 08 - Psikopat
9
BAB 09 - Malam Yang Panjang
10
BAB 10 - Bromance
11
BAB 11 - Cemburu
12
BAB 12 - Negoisasi
13
BAB 13 - Kopi dari Sang Pangeran
14
BAB 14 - Bunga Misterius
15
BAB 15 - Awal Dari Semua
16
BAB 16 - Maafkan Aku Ibu
17
BAB 17 - Perasaan Kelvin
18
BAB 18 - Flahsback
19
BAB 19 - Diasingkan
20
BAB 20 - Kesepakatan
21
BAB 21 - Raihlah Tanganku
22
BAB 22 - Panggilan untuk Bos baru
23
BAB 23 - Jalan Hidupku Miliku
24
BAB 24 - Mobil Baru
25
BAB 25 - Mobil Misterius
26
BAB 26 - BodyGuard Baru
27
BAB 27 - Kencan Romantis
28
BAB 28 - Hiburan Malam
29
BAB 29 - Pertolongan
30
BAB 30 - Siapa dia ?
31
Bab 31 - Penguntit ?
32
BAB 32 - Netizen Maha Benar
33
BAB 33 - Mabuk
34
BAB 34 - Terlalu Rupawan
35
Bab 35 - Percayalah Padaku
36
BAB 36 - Anak AYam
37
BAB 37 - Kejamnya Haters
38
BAB 38 - Ingatan Yang Menyiksa
39
BAB 39 - Gadis Kuncir Kuda
40
BAB 40 - Fakta Yang Tak Terungkap
41
BAB 41 - Kau Kekasihku
42
BAB 42 - Demi Lusia
43
BAB 43 - Tertipu
44
BAB 44 - Kabar Baik
45
BAB 45 - Di Salahpahami
46
BAB 46 - Yang Tidak Mickey Ingat
47
BAB 47 - Dia Gadis Berkuncir Kuda
48
BAB 48 - Sup Kerang
49
BAB 49 - Impianmu adalah Milikmu
50
BAB 50 - Bahagia diatas Penderitaanku
51
BAB 51 - Orang Pertama Bagiku
52
BAB 52 - Apa Dia Pacarnya? (Misi ke-3 Part 1)
53
BAB 53 - Baby Sister Bayi Raksasa ( Misi ke-3 Part 2 )
54
BAB 54 - Cemburu?
55
BAB 55 - Terlalu Lemah
56
BAB 56 - Dervilia
57
BAB 57 - Siapa wanita itu?
58
BAB 58 - Aku pun ingin menyerah
59
BAB 59 - Dr. Leona
60
BAB 60 - Colokan Listrik
61
BAB 61 - Dicemaskan 2 Pria
62
BAB 62 - Karena Aku Suka
63
BAB 63 - Kembang Api
64
BAB 64 - Pria Misterius yang Kejam
65
BAB 65 - Kau Segalanya Bagiku.
66
BAB 66 - Dia Wanitaku
67
BAB 67 - Kegiatan Romantis di pagi hari
68
BAB 68 - Tidak Ingin Menyerah
69
BAB 69 - Jangan Pergi
70
BAB 70 - Aroma Petrichor
71
BAB 71 - Derita Mickey Kecil
72
BAB 72 - Cahaya dan Luka Mickey
73
BAB 73 - Hantu Putri Duyung
74
BAB 74 - Menjadi Istriku
75
BAB 75 - Aku Mencintaimu Lusia
76
BAB 76 - Semak-Semak
77
BAB 77 - Siapa Dia (Part2)
78
BAB 78 - Cinta Mickey
79
BAB 79 - Cara Kencan Kami
80
BAB 80 - Cemburu ?
81
BAB 81 - Malam Kecelakaan
82
BAB 82 - Ibu
83
BAB 83 - Bukan Salahmu
84
BAB 84 - Kenapa Harus Dirimu
85
Pengumuman
86
BAB 85 - Mustahil itu Ayahmu
87
BAB 86 - Louis, Narapidana 7007
88
BAB 86 - Dia, Si Pria Pembunuh
89
BAB 87 - Kau Bukan Dewa atau Tuhan
90
BAB 2 - Tergoda Sang Penggoda
91
BAB 91 - Kesempurnaan Hatimu
92
BAB 92 - Garis Takdir
93
BAB 93 - Hatiku Selalu Miliknya
94
BAB 94 - Melepaskan Rasa
95
BAB 95 - Si Kembar Yang Jahat
96
BAB 96 - Aku Ingin Tubuhmu
97
BAB 97 - Dia Si Pria Misterius
98
BAB 98 - Sang Psikopat
99
BAB 99 - Selamatkan Dia
100
BAB 100 - Bukan Salahmu
101
BAB 101 - Masih Menunggumu
102
BAB 102 - Little Mermaid
103
BAB 104 - Keputusan Yang Sulit
104
BAB 103 - Aku Tanpamu
105
BAB 104 - Keputusan Yang Sulit
106
BAB 105 - Bukan Mimpi
107
BAB 106 - Menjadikanmu Takdirku
108
BAB 107 - Lebih dari Kekasihku
109
BAB 108 - Ketangkap Basah
110
BAB 109 - Menipu Dunia
111
BAB 110 - Dia Masih Hidup
112
BAB 111 - Kenyamanan
113
BAB 112 - Keluarga Bahagia
114
BAB 113 - Kebahagian Yang Sederhana
115
BAB 114 - Ketakutanku
116
BAB 115 - Bersamamu Seperti Ini
117
BAB 116 - Melindungnya Dengan Caraku
118
BAB 117 - Drama Romansa Canada
119
BAB 118 - Pilihan Yang Ku Pilih
120
BAB 119 - Will You Merry Me
121
BAB 120 - Restu Darinya
122
BAB 121 - Warna Hidupku Darinya
123
BAB 122 - Duniaku Bersamanya
124
BAB 123 - Wedding Day
125
BAB 124 - Malam Yang Tertunda
126
BAB 125 - Melindungi Perasaanmu
127
BAB 126 - Wanita Yang Menungguku Pulang
128
BAB 127 - Menjadi Suami Yang Sempurna
129
BAB 128 - Dia Suamiku
130
BAB 129 - Menuju Surga Dunia
131
BAB 130 - Incredible Night
132
BAB 131 - Melindungi Adikku, Ryan
133
BAB 132 - Cucu Team Kesebelasan
134
BAB 133 - Aku Memilihmu
135
BAB 134 - Sikap Yang Ku Pilih
136
BAB 135 - Selamat Tinggal
137
BAB 136 - Rahasia Tanpa Diriku
138
BAB 137 - Dia Ayahku
139
BAB 138 - Apa Kau Baik-Baik Saja ?
140
BAB 139 - Tatapan Itu Lagi
141
BAB 140 - Aku Selalu Ada
142
BAB 141 - Aku Tidak Bisa Membencimu
143
BAB 142 - Satunya Yang Melindungimu
144
BAB 143 - Kau Tidak Mencintainya
145
BAB 144 - Terhanyut
146
BAB 145 - Jangan Menahannya
147
BAB 146 - Cinta Sejati itu Dirimu
148
BAB 147 - Dewa Takdir
149
BAB 148 - Langit Senja
150
BAB 149 - Drama Romantis
151
BAB 150 - Undanga Reuni
152
BAB 151 - Gosip Menikah
153
BAB 152 - Reuni Terburuk
154
BAB 154 - Dia Pemenangnya
155
BAB 155 - Circle
156
BAB 156 - Menjadi Ayah
157
BAB 157 - Racikan Derward
158
BAB 158 - Rencana Derward, Goal !
159
BAB 159 - Kesetiaan Leona
160
BAB 160 - Picnic Day
161
BAB 161 - Kesetian Arka
162
BAB 162 - Hanya Ingin Melindungimu
163
BAB 163 - Cemburu Kekanakan
164
BAB 164 - NK Group ?
165
BAB 165 - Perihnya Kekuasaan
166
BAB 166 - Keputusan Leona
167
BAB 167 - Lie
168
BAB 168 - Percayalah Padaku
169
BAB 169 - Undangan VVIP
170
BAB 170 - Siapa Lotus ?
171
BAB 171 - Dia adalah Lotus
172
BAB 172 - Dia Wanitaku
173
BAB 173 - Destiny
174
BAB 174 - Berita Besar
175
BAB 175 - Kaburnya Louis
176
BAB 176 - Dendam Mike
177
BAB 177 - Menghibur
178
BAB 178 - Dibodohi
179
BAB 179 - Putra NK Group
180
BAB 180 - Sepatu Bayi
181
BAB 181 - Jawaban Penantian
182
BAB 182 - Tunggu Aku
183
BAB 183 - Selamatkan Dia
184
BAB 184 - Katakan Padaku
185
BAB 185 - Buah Hati
186
BAB 186 - Ironis
187
BAB 187 - Kebebasan Mickey
188
BAB 188 - Apa Itu Dirimu ?
189
BAB 189 - Jangan Pernah Melepasku
190
BAB 190 - Cukup Hanya Kita
191
BAB 191 - Kembali Muda
192
BAB 192 - Ice Cream
193
BAB 193 - Tentang Kita Berdua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!