Lusia masih berada di dalam galeri Psithurism Art, berjalan pelan di antara barisan lukisan dengan David di sisinya. Sesekali, tawa kecil terdengar saat keduanya saling melempar candaan, seperti kebiasaan lama yang tak pernah hilang. Kedekatan mereka bukan lagi rahasia—Lusia dan David telah bersahabat sejak duduk di bangku SMA, bersama Reisa, sahabat mereka yang lain.
Sambil menelusuri karya-karya seni di dinding, perhatian Lusia tiba-tiba terhenti. Pandangannya terpaku pada sebuah lukisan yang terpajang tepat di belakang David. Ia melangkah perlahan mendekatinya, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk melihat lebih dekat.
Lukisan itu menampilkan hamparan pepohonan yang dibalut kabut gelap. Di antara bayangan pekat itu, sinar matahari menembus dalam bentuk cahaya kecil-kecil, memecah kesuraman dan menciptakan nuansa yang begitu kontras sekaligus magis.
Lusia mempersempit jarak, mendekatkan wajahnya ke sudut bawah lukisan. Matanya membulat, berusaha membaca tulisan kecil yang tertera di sana.
“Lotus…?” gumamnya dalam hati, alisnya mengernyit pelan saat membaca inisial bertuliskan #Lotus di ujung kanan bawah kanvas.
Lusia tak bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. Ada sesuatu yang begitu familiar, namun juga asing, seolah lukisan tersebut menyimpan lapisan cerita yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang cukup peka. Kabut gelap dan cahaya matahari yang saling berkejaran di antara batang pepohonan menciptakan atmosfer yang menyentuh, seakan menggambarkan pergulatan batin seseorang antara luka dan harapan.
Perlahan, ia menoleh pada David yang berdiri di sampingnya, masih memerhatikan lukisan lain tanpa menyadari sorot mata Lusia yang kini dipenuhi tanda tanya.
“David…,” suara Lusia lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan galeri yang tenang, “Ini... karya Lotus, bukan?”
David mengangguk pelan, seolah telah menebak pertanyaan itu sejak Lusia mulai mendekat. “Kau benar. Inisialnya tertulis di sudut bawah. Gaya dan nuansanya juga tak salah lagi. Itu karya Lotus.”
Lusia menarik napas perlahan. Rasanya seperti menemukan fragmen masa lalu yang sempat hilang. Ia masih menatap lukisan itu, menyusuri setiap goresan warna yang tampak begitu emosional dan personal.
“Ayahmu membelinya lagi?” tanyanya, masih tanpa mengalihkan pandangan.
Sebuah senyum kecil muncul di wajah David. “Tentu saja. Kau tahu bagaimana ayahku. Ia tidak pernah melewatkan satu pun karya yang menarik perhatiannya, apalagi jika itu hasil tangan Lotus.”
Lusia mengangguk pelan. Ada kekaguman yang tak ia sembunyikan. Lotus adalah nama yang mulai banyak dibicarakan dalam lingkaran kolektor seni belakangan ini, seorang seniman yang tak pernah tampil di muka umum, namun karyanya selalu berhasil menggugah hati siapa pun yang melihatnya.
“Luar biasa…” gumamnya, setengah pada diri sendiri.
David lalu menambahkan, seolah mengingat sesuatu, “Bahkan, ayahku berencana meminta langsung kepada Lotus untuk membuatkan satu lukisan eksklusif, sebagai penanda ulang tahun galeri ini.”
Lusia sontak menoleh, matanya membesar. “Memintanya membuat karya secara khusus? Bukankah... karya Lotus selalu bernilai tinggi?”
Tentu, ia tahu itu. Lotus bukan seniman biasa. Setiap lukisannya bukan hanya mahal secara nominal, tapi juga langka dan penuh simbol. Tidak semua orang bisa memilikinya, bahkan dengan uang sekalipun. Ada yang mengatakan bahwa Lotus hanya menjual karyanya pada mereka yang dianggap ‘layak’.
David membuka mulut, ingin menjelaskan lebih jauh, namun belum sempat kata-katanya meluncur, Lusia sudah menyela dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seperti anak kecil yang menemukan teka-teki di tengah permainan.
Lusia berbalik dengan cepat, gerakannya nyaris tanpa jeda seperti sebuah kilasan ide yang tak bisa ditahan lebih lama. Wajahnya memancarkan campuran rasa ingin tahu dan keterkejutan. “Tunggu...,” katanya nyaris setengah berbisik, namun penuh tekanan. “Kalau begitu... apakah itu berarti ayahmu pernah bertemu langsung dengan Lotus?”
Ia menatap David penuh intensitas, matanya tajam seperti sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi sahabatnya itu. “Dia pria? Atau wanita? Kau bisa memberitahuku, bukan?”
David tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di tempatnya, menatap Lusia yang kini kembali memalingkan pandangan ke lukisan, lalu menatapnya lagi, seperti anak kecil yang menemukan pintu menuju dunia rahasia .
Lusia menatap lukisan itu sekali lagi, kali ini dengan takjub yang tak disembunyikan. “Sungguh... aku masih tidak percaya. Karya ini luar biasa. Dan jika benar ayahmu tahu siapa di balik semua ini… aku makin yakin kalau dia memang penggemar berat Lotus.”
Kalimat demi kalimat meluncur begitu saja dari mulut Lusia, deras seperti air hujan yang tak tertahankan. Pertanyaannya mengalir tanpa jeda, seolah seluruh pikirannya tumpah dalam bentuk kata-kata. David hanya diam, mendengarkan dengan sabar seperti yang selalu ia lakukan selama bertahun-tahun mengenal Lusia.
Tiba-tiba, Lusia membalikkan badan dengan cepat, membuat David sedikit tersentak. Ia menatapnya dengan ekspresi serius yang mendadak berubah menjadi senyum cerah penuh pujian.
“Ayahmu memang keren!” katanya sambil mengacungkan jempol, ekspresi kagum itu begitu tulus dan lepas.
David akhirnya mengangkat alis, menyilangkan tangan di depan dada. “Bukankah setiap pertanyaan itu pada akhirnya butuh jawaban?” ucapnya santai, tapi ada nada geli tersembunyi di balik suaranya.
David menggeleng pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau benar-benar seperti gerbong kereta api. Panjang dan melaju tanpa berhenti.”
Lusia tersadar, matanya membulat lalu tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepalanya. “Aaaa... maaf, haha.”
Lusia tertawa, kali ini lebih lepas. Ia tahu benar bahwa dirinya kadang sulit dikendalikan jika rasa penasaran sudah muncul ke permukaan. Tapi itulah dirinya, dan David dengan segala ketenangannya selalu menjadi penyeimbang yang membuatnya tetap waras di tengah hiruk-pikuk pikirannya sendiri.
David tidak langsung menanggapi. Ia hanya terus menatap lukisan itu, seolah sedang menanti jawaban yang lebih dalam dari yang baru saja didengarnya. Dan benar saja, tak lama kemudian ia bertanya lagi, “Hanya itu yang bisa kau rasakan?”
Pertanyaan itu menggantung sesaat. Lusia berpaling ke arah David, lalu kembali ke lukisan itu. “Eemm… entah mengapa,” ucapnya pelan, “ketenangan itu sekilas seperti hanya sebuah ilusi. Karena semakin lama kupandangi, aku seperti bisa merasakan... sebuah kesedihan. Perasaan apa itu?” Kalimat terakhir meluncur begitu saja dan ia sendiri tak tahu dari mana asalnya.
David tersenyum samar, lalu berkata dengan nada yang tak bisa ditebak sepenuhnya. “Kau sungguh bisa melihatnya?”
Lusia diam sesaat. Ia merasa seperti sedang diuji, tapi bukan dengan maksud menghakimi lebih seperti sedang diajak memahami sesuatu yang belum tentu bisa dijelaskan. Ia akhirnya mengangguk kecil, meski jawabannya tetap ragu.
“Aku… masih tidak yakin,” gumamnya pelan.
David yang masih berdiri di samping Lusia, menatap lukisan yang sama, tapi dengan pandangan yang berbeda. Dengan tenang David menjelaskan jika ketenangan dalam lukisan ini bukan semata keindahan, tapi bagian dari jeritan sunyi. Sebuah harapan tipis yang datang dari ruang putus asa, seruan lirih seseorang yang ingin didengar. "Aku di sini," begitulah ia membayangkan suara dari balik kanvas itu, nyaris tak terdengar, namun nyata.
Langkah David lebih mendekat, Ia mengamati siluet dan gradasi warna dalam lukisan itu, lalu menoleh pada Lusia dengan sorot mata penuh arti. Dalam pikirannya, makna yang terpancar dari lukisan itu bukan hanya soal estetika. Ini adalah permohonan diam seseorang yang ingin diselamatkan, tapi tidak tahu bagaimana caranya bersuara. Tak ada keceriaan di dalamnya, hanya sunyi yang menggantung, menunggu seseorang cukup peka untuk menyadari jeritannya.
Lusia mendengarkan dalam diam. Ia baru menyadari bahwa bukan hanya lukisan ini, tapi seluruh karya Lotus yang pernah ia lihat selalu mengandung nuansa melankolis yang sama. Tidak pernah ada kehangatan yang menyala terang. Hanya bayangan, harapan, dan kesedihan yang membayang seperti langit senja yang terus menahan hujan.
Sambil mengelus perlahan inisial #Lotus yang tergores halus di sudut lukisan, Lusia bergumam, akankah sang seniman ini suatu hari menciptakan sesuatu yang benar-benar ceria? Atau apakah seluruh kehidupannya terlalu sarat luka hingga tak lagi mampu menciptakan cahaya?
David menanggapi gumam tak terucap itu dengan pandangan tenang. Baginya, setiap pelukis adalah cerminan batin mereka sendiri. Gaya mereka bukan sekadar teknik, melainkan bagian dari identitas. Dan Lotus, dalam ketekunannya menyembunyikan wajah di balik nama pena, seolah ingin dunia mengenalnya hanya melalui emosi yang ia tuangkan di atas kanvas. Bukan siapa dia, tapi apa yang ia rasakan itulah yang ingin ia sampaikan.
Namun, hal itu justru membuat Lusia semakin penasaran. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki karya seindah ini memilih tetap menjadi bayangan? Apa yang membuatnya takut untuk muncul ke permukaan? Padahal dunia sudah mengakui bakatnya. Lusia menatap tajam inisial itu seakan berharap bisa mengintip siapa sebenarnya di baliknya.
Kebisuan mereka pecah saat langkah ringan menghampiri. Reisa, yang telah selesai berganti pakaian, muncul dengan semangat khasnya. Suaranya riang dan ringan, membawa mereka kembali ke dunia nyata dari percakapan yang barusan terasa seperti berjalan di lorong sunyi masa lalu.
“Aku sudah siap, kita bisa pergi sekarang!” serunya dengan senyum lebar.
David menoleh, senyum kecil terukir di wajahnya. "Tentu," jawabnya tenang, sebelum melangkah meninggalkan lukisan yang masih memikat keduanya, menyimpan rahasia yang belum sempat sepenuhnya terungkap.
Setelah percakapan mereka yang sarat makna di depan lukisan Lotus, David kembali bersikap seperti biasanya tenang, sopan, dan penuh perhatian. Ia menoleh pada Lusia, yang masih berdiri memandangi karya itu, “Lusia, jika kau masih memiliki waktu, kau bisa melanjutkan berkeliling melihat beberapa lukisan baru yang ayahku datangkan minggu ini. Ada di lantai dua.”
Namun sebelum Lusia sempat menjawab, langkah ringan Reisa sudah lebih dulu menghampirinya. Dengan gaya manjanya yang khas, ia langsung merangkul tangan Lusia, menyandarkan kepala di bahu kiri sahabatnya itu. “Oh ya, Lusia… peri cantikku yang manis,” ucapnya dengan senyum menggemaskan, gaya yang terlalu dikenali oleh Lusia sebagai sinyal bahwa Reisa sedang menginginkan sesuatu.
Lusia menoleh sekilas dengan senyum samar, mendesah pelan. “Oh…” gumamnya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
Reisa menatap wajah Lusia sambil mendongakkan kepala dengan sorot mata berbinar. “Acaranya kali ini mungkin akan lebih lama, jadi… bolehkah aku…?” Wajahnya berubah seperti bayi kucing yang memohon, lengkap dengan ekspresi memelas yang sudah terlalu sering Lusia lihat.
Menahan senyum, Lusia menatapnya dengan pandangan meledek. “Lihatlah ini… bayi kucing siapa, coba?” katanya pelan. “Meski aku bilang tidak boleh, apakah kau akan menuruti laranganku, Putri Kecilku?”
Alih-alih menjawab, Reisa menggeleng dengan cepat tiga kali, lalu merangkul lengan Lusia lebih erat lagi, seolah menekankan bahwa ia tidak akan membiarkan argumen menggagalkan niatnya.
David menyaksikan interaksi mereka dengan senyum kecil. Ia lalu menimpali dengan suara tenang namun tegas. “Aku akan membawa kembali Putri Kecilmu ini dengan utuh dan selamat sampai rumah,” ucapnya, meyakinkan. “Bahkan, jika perlu, galeri ini bisa kujadikan jaminannya.”
Kata-katanya diiringi dengan tindak nyata. David meraih tangan Reisa dan menggenggamnya erat. Ada kelembutan di sana, sentuhan yang menegaskan status hubungan mereka, Reisa bukan hanya sekadar teman dekatnya, tapi kekasihnya.
Dengan penuh kemenangan, Reisa melambaikan tangan ke arah Lusia sambil berseru manja, “Aku pergi dulu, babby~ bye bye!” Suaranya ceria, seperti biasa, namun ada ketulusan di dalamnya. Beberapa langkah sebelum keluar dari galeri, ia berbalik, menambahkan dengan nada perhatian, “Oh ya! Jangan lupa makan makanan yang sudah kupesankan untukmu, oke?! Dan hati-hati saat kembali ke kafe!”
Lusia membalas lambaian Reisa dengan senyum tipis dan gerakan tangan yang pelan. Pandangannya mengikuti langkah pasangan itu yang berjalan menjauh, bergandengan tangan dengan ringan dan penuh kenyamanan, seolah dunia di sekitar mereka tak lebih dari latar yang kabur. Ada sesuatu yang mengganjal di dada Lusia, bukan iri, bukan pula cemburu.
Ia menunduk perlahan dan memandang telapak tangannya sendiri. Jemarinya menggenggam, lalu membuka kembali, berulang-ulang. Seolah bertanya tanpa suara, "Apakah suatu saat nanti… akan ada seseorang yang juga menggenggam tanganmu, Lusia?"
Pertanyaan itu menggantung di dalam kepalanya, mengendap bersama napas yang ia hela panjang-panjang. Bagi Lusia, cinta bukan hanya hal yang jauh, tapi juga terasa mewah. Pacaran, berkencan, menikmati perhatian dari seseorang, semua itu terdengar seperti sesuatu yang hanya dimiliki oleh mereka yang punya waktu dan pilihan. Sementara hidup Lusia diatur oleh rutinitas yang padat dan tuntutan bertahan.
Pagi hari, ia bekerja sebagai penjaga di toko bunga ‘Mey Flowers’. Aroma segar bunga dan sapaan pelanggan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Begitu matahari tenggelam, ia berganti seragam dan bersiap menghadapi shift malam di ‘Friends Café’, melayani pelanggan hingga larut dengan senyum yang tetap dipaksakan. Bahkan di hari libur yang seharusnya bisa ia gunakan untuk beristirahat atau bersenang-senang, ia masih menyisihkan waktu untuk menerima panggilan sebagai sopir pengganti.
Tidak ada waktu untuk sekadar hangout atau berjalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama teman. Hidup Lusia adalah tentang efisiensi dan tanggung jawab. Gadis-gadis seusianya mungkin sibuk memilih gaun untuk kencan akhir pekan, sementara ia memilih rute tercepat agar bisa pulang dan tidur meski hanya dua jam.
Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berucap pada dirinya sendiri, lebih sebagai pengingat daripada keluhan. “Berhentilah mengharapkan yang tidak-tidak, Lusia. Tak ada ruang untuk asmara saat kau bahkan harus berjuang sekadar untuk bertahan.”
Ia tersenyum, kecil namun tulus, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. “Lagi pula, siapa yang akan melirik gadis biasa sepertimu?” lanjutnya, nada bicara itu seolah berasal dari hati yang sudah terlalu sering mencoba berdamai dengan kenyataan. “Tak apa, Lusia. Tidak memiliki pacar bukan akhir dari dunia. Kau tidak akan mati hanya karena sendiri.”
Lusia kembali memandang lukisan Lotus, seolah berharap bisa menembus kanvas itu dan menyusuri isi hati sang pelukis. Ia menghela napas, lalu bergumam dalam hati, “Lalu, kehidupan seperti apa yang sebenarnya dimilikinya?”
Ia melangkah lebih dekat, menyentuhkan jemari ke udara di depan lukisan, "Jika setiap lukisanmu adalah bagian dari dirimu, kenapa selalu melambangkan kesedihan?" pikirnya, matanya menatap lekat. "Bukankah seharusnya kau merasa beruntung? Banyak yang menyukai karyamu, banyak yang memujimu… Jadi, pastikan suatu hari nanti, aku bisa melihat karya yang menggambarkan keceriaanmu, Tuan Lotus.”
Namun kemudian ia mengerutkan alis. Sebuah pikiran lain menyusup dalam benaknya. “Eemm… bukan Tuan, tapi… Nona? Nona Lotus?” gumamnya pelan, terdengar seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia tak pernah tahu siapa sebenarnya sosok di balik nama pena itu. Pria atau wanita, muda atau tua, semuanya masih tanda tanya.
Ia berjalan menuju lift, siap untuk melanjutkan saran David melihat beberapa karya baru di lantai dua. Namun begitu tiba di depan pintu lift, matanya menangkap pantulan samar sosok seseorang tak jauh di belakangnya. Ia mengenakan masker dan kemeja hitam lengan panjang, serta topi buket yang menutupi sebagian wajahnya. Meski tampak santai, ada sorot tajam yang terarah padanya.
Refleks, Lusia menoleh. Namun begitu mata mereka nyaris bertemu, pria itu langsung menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Ting...
Bunyi lift yang terbuka menarik Lusia kembali pada tujuannya. Ia melangkah masuk, dan sesaat sebelum pintu tertutup, ia sempat melihat sosok pria itu kembali menatap ke arahnya. Tak berkata apa-apa, hanya menatap diam-diam dari kejauhan.
Lusia berdiri diam di dalam lift yang mulai bergerak ke atas. Tatapannya masih tertinggal pada pintu yang telah menutup sempurna.
"Apakah… barusan dia memperhatikanku?" tanyanya dalam hati. Tapi ia segera menggeleng pelan, mengabaikan getaran aneh yang tertinggal dalam dadanya. “Mungkin hanya kebetulan. Mungkin hanya perasaanku saja,” ucapnya lirih, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai membentuk skenario aneh di kepalanya.
Namun tetap saja, sorot mata itu... terasa tidak biasa.
*** To Be Continued***
Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃
✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..
❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍
📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)
🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.
Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Meimawati
tuan lotus
2021-09-24
0
Queen
serasa nonton drakor gue, pas banget visualnya artis korea
2021-07-30
2
BYG
Lanjutttt
2021-07-16
0