Ponsel Lusia terus berdering, panggilan masuk dari Reisa, sahabatnya, yang tiada henti. Dengan cepat, Lusia menjawab meski sedang mengemudi, memaksakan dirinya untuk tetap tenang. "Aku akan sampai, jangan panik, tenangkan dirimu, Reisa. Hanya 15 menit, oke?" katanya singkat sebelum segera memutuskan telepon dan fokus kembali pada jalan, berharap bisa sampai lebih cepat.
Lusia melirik ke luar jendela, melihat pepohonan di sepanjang jalan bergoyang kencang, tertiup angin yang semakin hebat. Langit yang sebelumnya cerah kini mulai mendung, menambah rasa cemas yang tak bisa ia hindari. "Apa akan turun hujan?" pikirnya, merasakan ketegangan yang meningkat di dalam mobil, seolah cuaca tak bersahabat dengannya.
Seperti yang dijanjikan, bahkan tidak sampai 15 menit, mobil box bertuliskan ‘Friends Cafe’ yang dikemudikan Lusia berhenti di area parkir Psithurism Art. Psithurism Art adalah sebuah galeri lukisan tempat Reisa bekerja.
Lusia langsung bergegas keluar dari mobil setelah meraih paper bag berisi baju dan sepatu hak tinggi milik Reisa dari bangku depan penumpang. Apron cafe masih tergantung rapi di tubuhnya, menunjukkan bahwa ia masih jam kerja.
"Ah, bodohnya... Kenapa juga aku masih memakainya?" ucap Lusia sambil berusaha melepas apron itu dan berjalan cepat menuju galeri.
Alasan Lusia berada di sana adalah karena ia menerima panggilan darurat dari Reisa, sahabat baiknya yang tiba-tiba membutuhkan bantuannya. Saat itu, Lusia masih sedang bekerja shift malam di cafe. Lusia tidak berpikir dua kali untuk mengorbankan waktu istirahatnya demi sahabat yang sangat berarti baginya.
“Selamat malam,” sapa petugas keamanan Psithurism Art, sambil membukakan pintu untuk Lusia. Lusia membalas dengan anggukan kepala dan senyuman tipis, lalu melanjutkan langkah cepatnya tanpa henti, masih dengan telepon di tangan.
“Kau di mana? Kukira kau akan menjemputku di depan galeri,” tanya Lusia, nada suaranya sedikit terdesak.
“Turunlah, aku sudah....” ucapan Lusia terhenti saat ia melihat Reisa, sahabatnya, berlari menghampirinya. Lusia langsung memutuskan sambungan telepon dan menyambut Reisa dengan tatapan lega.
“Oh… terima kasih, Lusia. Kau penyelamatku hari ini!” seru Reisa, langsung memeluk Lusia dengan rasa syukur yang besar.
Lusia melepas pelukan itu dengan lembut dan menatap sahabatnya itu dengan serius. “Menurutku setelan pakaianmu sudah cukup kok,” ujarnya, menatap Reisa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelan kemeja putih dengan garis hitam vertikal, dipadukan blazer hitam dan celana palazzo yang dikenakan Reisa seharusnya sudah cukup pantas untuk acara kantor.
Reisa merasa penampilannya masih kurang. Ia menjelaskan pada Lusia, “Lihat, penampilanku ini terlalu formal. Big Boss sudah terbiasa melihatku dengan gaya seperti ini setiap hari. Malam ini aku harus tampil berbeda. Aku ingin membuat dia terkesan.” Reisa berbisik sambil memainkan alisnya, senyum nakal tersungging di bibirnya, perlahan meraih paper bag dari tangan Lusia.
“Apakah ini acara yang sangat penting?” tanya Lusia, sedikit khawatir.
“Tentu saja,” jawab Reisa, nadanya serius. “Kau tahu kan, sebelumnya setiap kali Big Boss mengajakku ke acara perusahaan, selalu ada saja yang menghalangi. Selalu ada yang salah, jadi kami gagal pergi bersama.” Reisa menghela napas, menyadari betapa ia merasa bersalah atas kegagalan-kegagalan itu.
“Dan itu karena kau sendirilah yang selalu mengacaukannya,” celetuk Lusia dengan nada bercanda.
Reisa hanya tersenyum mendengarnya. “Karena itu, kali ini aku akan melakukan yang terbaik,” jawabnya dengan penuh semangat. “Tapi, kau tahu, Lusia...” lanjutnya, suaranya berubah lebih misterius, sambil melirik ke sekeliling.
“Tahu apa? Katakan langsung, tanpa basa-basi,” jawab Lusia, sudah siap mendengarkan.
“Hufft...” Reisa menghela napas pendek, seolah-olah mempertimbangkan kata-kata yang tepat.
Dengan isyarat, Reisa meminta Lusia untuk lebih mendekat. “Kau tahu, ini pertama kalinya Big Boss mengajakku ke acara gathering tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tanpa pesan, tanpa tanya-tanya, dan tanpa banyak basa-basi,” ucap Reisa dengan nada sedikit kesal, seolah ia masih tak percaya dengan sikap Big Boss yang tiba-tiba.
"Lalu, apa masalahnya dengan itu? Tinggal pergi saja, ikut saja dia," ucap Lusia dengan santai, seolah itu bukan masalah besar.
“Yaaa...!” Teriak Reisa seketika, hampir membuat telinga Lusia terasa berdenging. Setelah itu, Reisa menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Kau nggak mengerti, Lusia. Wanita itu harus siap! Kalau tidak, lihatlah... penampilanku sekarang biasa saja. Tidak ada yang spesial. Bahkan aku sampai merepotkanmu datang kemari hanya untuk ini!” ucapnya dengan kekesalan, tapi juga terlihat penuh semangat.
“Apa kau baru saja menyindirku karena aku nggak punya pasangan?” Lusia menyipitkan mata, lalu menyengir jahil. “Lagipula, situasi ini terasa seperti drama cinta... kau pemeran utamanya, dan aku cuma figuran. Jadi kenapa aku harus paham? Cukup jalani peranku saja, bukan?”
Reisa sempat terdiam, lalu buru-buru membela diri. Bukan itu maksudnya, jelas bukan. Lusia tertawa kecil dan menepuk lengan sahabatnya, menenangkan. “Haha, baiklah, baiklah... aku hanya bercanda," ucapnya santai, namun penuh ketulusan.
Lusia meminta Reisa tak perlu panik lagi. Ia sudah berada di sini, tepat waktu, lengkap dengan seluruh perlengkapan tempur yang diminta, tak satu pun tertinggal.
Reisa tersenyum lega, membentuk simbol hati dengan jarinya. “Kau memang yang terbaik.”
Namun seperti biasa, Reisa masih sempat-sempatnya meminta maaf karena merasa sudah merepotkannya.
Lusia tersenyum kecil, ia tak pernah benar-benar merasa direpotkan. Reisa adalah satu dari tiga sahabat yang dimilikinya sejak masa SMA. Mereka tumbuh bersama, saling mengenal lebih dari sekadar permukaan sehingga dijuluki tiga sekawan.
Lusia tahu betul bahwa Reisa bisa panik hanya karena hal kecil dan sering kali berlebihan dalam mencemaskan sesuatu. Sifat manjanya pun bukan hal baru, membuatnya tak segan mengandalkan Lusia dalam situasi genting seperti malam ini. Dan meskipun begitu, Lusia tidak keberatan. Karena bagi Lusia, membantu sahabat bukanlah beban. Itu bagian dari persahabatan mereka yang sudah teruji waktu.
Reisa masih terlihat bersalah dan tak berhenti menebus kekurangannya. Ia berjanji akan langsung memesankan sandwich kesukaan Lusia secara online, sebagai bentuk permintaan maaf. Lusia hanya tersenyum dan mengangguk kecil, sebuah isyarat bahwa ia menerima niat baik itu tanpa perlu banyak kata.
“Pergilah,” ujar Lusia, suaranya tenang tapi cukup tegas. “Kau tidak ingin mengacaukannya lagi kali ini, bukan?”
Reisa mengangguk dan berbalik, namun percakapan mereka terpotong oleh kehadiran seorang pria. Ia datang dengan balutan jas rapi dan langkah mantap, langsung menghampiri mereka. Tatapannya tertuju pada Lusia sejenak, kemudian ia memberi isyarat kepada Reisa dengan menunjuk jam tangannya, kode halus agar Reisa segera mengambil tas dan bersiap.
Setelah meminta maaf sekali lagi, Reisa berpamitan sebentar dan naik ke lantai atas untuk berganti pakaian, meninggalkan Lusia bersama pria yang baru datang. Dia adalah David, pria yang mereka Big Boss. Pria itu mengenakan jas rapi, wajahnya santai meski tampak sedikit kebingungan.
“Reisa tidak bilang kau akan datang,” ucap David membuka percakapan.
Lusia menyambutnya dengan senyum, tapi raut wajahnya berubah menjadi penuh sindiran. Tanpa ragu, ia menegur, “Apa kau tidak merasa keterlaluan?”
David terkejut. “Keterlaluan? Aku? Maksudmu apa? Apa Reisa mengadu padamu?”
David memang bukan orang sembarangan. Ia adalah pemilik Psithurism Art Gallery, bos besar di tempat Reisa bekerja dan sekaligus sahabat Lusia, salah satu orang dari tiga sekawan saat SMA. Namun, kali ini, bahkan status ‘Big Boss’ tak membuatnya kebal dari sindiran sahabat Reisa itu.
Dengan gaya santai namun penuh sindiran, Lusia menyampaikan keluhan Reisa nyaris kata per kata. Ia menggambarkan betapa paniknya Reisa karena diajak ke acara penting tanpa pemberitahuan, dan betapa repotnya ia harus datang jauh-jauh hanya untuk mengantarkan pakaian dan sepatu hak tinggi demi penampilan yang sempurna.
David hanya mengangkat alis, masih terlihat bingung. “Jadi, kau datang ke sini hanya untuk itu?”
Lusia tertawa lebar. “Kalau bukan untuk itu, masa aku ke sini cuma buat menyapamu?”
David menatap Reisa yang berdiri menunggu lift terbuka. Tatapannya tampak lirih, seperti ada sesuatu yang tidak terucap. “Padahal aku sudah berencana membawanya ke butik dulu sebelum ke acara...” gumamnya pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. “Harusnya aku memberitahunya lebih awal,” lanjutnya, menghela napas dengan nada sesal.
Lusia menyilangkan tangan di depan dada, memperhatikan sahabat prianya itu dengan ekspresi setengah geli. “Kalau saja para wanita yang tergila-gila padamu tahu betapa tidak peka dirimu, David... mereka pasti langsung patah hati. Impian mereka untuk menjadi Cinderella akan sirna seketika,” ucapnya setengah mencibir, setengah menggoda.
David mengangkat alis, ekspresinya dibuat serius, meskipun nada suaranya menyimpan canda yang terselubung. “Aku...? Apa menurutmu aku harus memahami setiap isi hati wanita yang tergila-gila padaku? Bolehkah aku mulai melakukannya... pada wanita lain?” tanyanya pelan, seolah ingin mengetes reaksi Lusia.
Lusia menyipitkan mata, wajahnya berubah menjadi ekspresi mengancam. “Silakan saja, kalau kau ingin wajah tampanmu itu berubah bentuk dalam hitungan detik,” balasnya tajam, penuh peringatan.
Tawa David meledak, namun segera mereda saat matanya bertemu pandang dengan milik Lusia. Tatapannya berubah, lebih dalam, lebih serius. “Aku bukan tidak peka... atau tidak berperasaan. Kau... tidak tahu jika aku....”
Kalimatnya menggantung di udara, saat Lusia melanjutkan perkataannya, “Coba katakan pembelaanmu.” Lusia mendongak, menantangnya untuk melanjutkan kalimatnya, wajahnya begitu dekat hingga David bisa merasakan napasnya. Sesaat, mata David membulat, terkejut tapi tak bergeming.
Lalu dengan satu gerakan cepat, ia mengakhirinya dengan jentikan ringan ke kening Lusia. Tek!
“Hyaaaa… !!!” teriak Lusia, sedikit kesakitan karena ulah David. Seketika, David mengalihkan tatapannya, disertai batuk kecil yang tertahan, lalu melanjutkan ucapannya. “Tentu saja, aku bisa menjadi pria romantis dengan caraku sendiri. Bahkan, kau pun bisa sampai terpesona!” katanya dengan senyum nakal.
“Wahhh…, kau membuatku merinding,” balas Lusia sambil menggosok kedua lengannya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh pria berparas tampan yang kini berdiri di hadapannya.
Perbincangan mereka berlanjut, dengan David terus menemani Lusia sembari menunggu Reisa selesai berganti pakaian dan berdandan. Lusia menatap David yang tengah berbicara kepadanya, pikirannya melayang sejenak.
“Meskipun aku sering merasa iri dengan romantisnya pasangan lain, untuk kalian berdua, aku justru merestuinya dengan sepenuh hati. Kau adalah pria impiannya, dan aku bisa tenang melepaskan Reisa, sahabatku, untuk menjadi orang yang sangat istimewa bagimu. Aku percaya, kau bisa menjaganya dengan baik dan menjadikannya wanita yang sangat beruntung. Aku sangat bahagia untuknya, karena dia adalah sahabatku,”
.
***To Be Continued***
Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃
✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..
❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍
📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)
🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.
Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
@InunAnwar
masih menyimak, blm bisa komentar gimana²...
2021-12-01
0
Meimawati
msih nyimak thoor
2021-09-24
0
skz_0428
masih penasaran
2021-07-14
0