Bab 14

“Itu Kakakmu, Ya?” tanya semua orang dengan mata terbelalak.

“Iya.”

“Ya Allah, ganteng banget!”

“Ya, jadiin aku kakak iparmu, Ya!” ujar anak-anak cewek bersautan.

“Dia sudah punya tunangan.” Aku hampir saja melompat mendengar ucapan Arya, takut dia keceplosan bilang kalau aku tunganan Mas Juna, dan kalau sampai Dion tahu bisa bahaya.

“Yaaaaah.”

“Bule?”

“Bukan, dia…”

“Ya!” Aku berteriak membuat semua orang menatapku terkejut, “ambilin itu… itu!”

“Apaan?’

“Itu!!!”

“Iya, itu apaan?”

“Euh… itu sirupnya habis, sini biar aku isi lagi.”

Arya memberikanku punch tempat sirup, sambil mengambilnya aku berbisik, “Awas kalau sampai mereka tahu aku dijodohin sama Mas Juna!”

Arya hanya nyengir mendengar ancamanku.

Aku masuk ke dalam rumah disusul Mika dan Jasmin.

“Kalau kamu gak mau, buat aku saja.”

“Iya, aku juga ridho lilahita’ala dijodohkan sama Mas Juna.”

Ucapan mereka itu membuatku tertawa.

“Ambil saja kalau dianya mau.”

“Itu masalahnya dianya gak bakalan mau.”

“Hahaha.”

“Jangan sampai ada yang tahu kalau aku sudah dijodohkan dengan Mas Juna, terutama Dion!”

“Iya, tenang saja.”

Tentu saja sebagai perempuan aku mengakui kalau Mas Juna mungkin sosok pria yang hampir mendekati sempurna, dia tampan, punya pekerjaan mapan, baik, dengan agama yang cukup kuat.

Tapi untuk saat ini aku belum bisa menganggapnya lebih dari seorang kakak, dadaku tak berdebar kencang ketika berdekatan dengannya atau bahkan memeluknya, tidak seperti saat bersama Dion yang hanya dengan berdekatan atau melihatnya saja hatiku sudah berbunga-bunga.

Seperti saat ini di sekolah yang memang sedang bebas diam-diam kami saling curi pandang, bahkan tadi ketika kami berpapasan di lorong tanpa diduga dia menggenggam tanganku walau hanya beberapa detik dan itu sukses membuatku senyum-senyum sendiri.

“Parah ya si Tyas,” ucap Gita menarik perhatianku, saat ini kami tengah duduk di depan kelas.

“Parah kenapa?” tanyaku penasaran.

“Memang gak tahu? Tadi dia ngelabrak si Cindy.”

“Hah!” Aku dan Jasmin terbelalak tak percaya.

“Kenapa?”

“Gara-gara Dion.”

Jawaban Nuri membuatku dan Jasmin saling pandang.

“Dion?”

“Iya Dion, si Cindy-kan suka sama Dion nah katanya dia nyatain gitu ke Dion.”

“Masa? Kapan?” Aku bertanya terkejut karena Dion tak memberitahuku tentang ini.

“Tadi, nah si Tyas dengar… udah deh habis.”

“Ya ampun, terus gimana?”

“Ya, udah rame tadi di belakang, untung ada Andra sama yang lainnya jadinya ada yang pisahin.”

“Lagian tuh anak berani ya nyatain ke kakak kelas padahalkan semua juga tahu kalau Tyas suka juga sama Dion.”

Aku dan Jasmin kembali saling pandang dengan mata terbelalak. Gawat, kalau sampai Tyas tahu aku jadian sama Dion, bisa-bisa aku yang jadi target mereka!

Sepulang sekolah aku dan Dion chatting membicarakan masalah ini dan diakhiri dengan keinginnya untuk memberitahu teman-teman di sekolah tentang hubungan kami yang lagi-lagi harus ku tolak membuat Dion marah.

“Kalau mereka tahu kita pacaran, Cindy gak mungkin berani melakukan hal seperti tadi, begitu juga Tyas karena dia tahu ada Andra dan Arya yang akan melindungimu, dan yang pasti cowok-cowok juga gak bakalan ada yang berani menggodamu lagi.”

Aku hanya bisa membuang napas berat membaca pesan dari Dion, dia mungkin benar tapi aku belum siap menghadapi keluargaku kalau sampai mereka tahu aku telah mengkhianai Mas Juna.

“Cemberut mulu.” Mas Juna mencubit kedua pipiku kemudian menekan-nekannya.

“Iiih, memangnya pipi Senja squishy!”

“Mirip squishy bapau, hahahaha.”

“Iiih, Mas Juna nyebelin!”

“Hahaha, kenapa sih cemberut mulu.”

“Siapa yang cemberut.”

“Itu bibirnya kaya bebek, pipinya kaya bapau yang terlalu banyak pengembang.”

Aku hanya mendelik mendengar ucapan Mas Juna yang sepertinya senang sekali menggodaku.

“Dari pada cemberut kita jalan-jalan yuk?”

“Kemana?”

“Kemana saja, Mas Junakan sudah lama gak pulang jadi kamu ajak Mas Juna keliling-keliling kota Bandung, ok!”

Setelah sedikit berpikir akhirnya aku mengabulkan keinginan Mas Juna, kami berkeliling kota Bandung menggunakan motor, kami pergi kebeberapa taman untuk mencicipi jajanan yang mangkal di pinggir jalan.

Seharian itu Mas Juna menceritakan cerita-cerita lucu membuatku tertawa dan melupakan masalah Dion untuk sesaat.

“Darimana sih?” tanya Bunda ketika kami baru sampai rumah sekitar jam 7 malam.

“Keliling-keliling, kasihan anak hilang dah lama gak keliling Bandung,” jawabku membuat Mas Juna berdecak.

“Tadi ada yang cemberut kaya bebek, Bun, makanya Juna ajak keliling-keliling.”

“Cemberut kenapa?” Kali ini Ayah yang bertanya.

“Bukan cemberut, emang pipinya kan tembem jadi kaya yang cemberut,” jawab Andra yang langsung mendapat pukulan bantal sofa dariku.

“Enak saja, pipiku tuh tirus tahu.”

“Hah, pilus? Bulet-bulet dong,” ujar Mas Juna yang membuat Andra tertawa.

“Bukan! Kacang atom!” seruku kesal yang hanya membuat mereka tertawa.

Bukankah sudah ku bilang memiliki satu saudara menyebalkan saja seolah tidak cukup untukku, aku bahkan memiliki dua saudara menyebalkan dan satu tunangan menyebalkan.

*****

Hari pembagian raport telah tiba, aku dan Dion sudah kembali baikan. Dia meminta maaf atas keegoisannya karena ingin semua orang mengetahui tentang hubungan kami, tapi setelah dia melihat Mas Juna yang ikut pada hari pengambilan raport begitu melindungiku bahkan dia akan menatap tajam setiap teman pria yang hanya menyapaku, akhirnya dia mengerti.

Itu baru Mas Juna. Ya... anggap saja lapis kedua setelah Andra dan Arya, dia belum melihat Ayah dan Papah sebagai benteng terakhir perlindunganku. Bisa kubayangkan akan sepucat apa dia saat itu.

Kepulangan Mas Juna membuat Ayah dan Papah merubah semua jadwal mereka hanya supaya kami semua bisa pergi liburan bersama dalam formasi lengkap.

Dan di sinilah sekarang kami berada di bandara dan entah akan menuju kemana, tapi yang membuat kami kaget adalah ketika Bunda dan Mamah memberitahu kami tentang peraturan yang langsung mendapat protes dari kami semua, ‘Tidak boleh ada ponsel di siang hari’, jadi mereka baru memberikan ponsel kami hanya sebelum tidur.

“Kitakan mau foto-foto, Bun,” protes kami sambil merengek ketika Bunda merampas ponsel kami.

“Tenang saja ada kamera,” ucap Ayah sambil mengangkat kamera DSLR profesionalnya dengan bangga membuat kami cemberut.

“Kalau ada telepon penting dari kantor gimana?” Kali ini Mas Juna yang protes.

“Teleponmu Papah yang pegang, kalau ada telepon masuk Papah yang akan angkat duluan.”

Mendengar itu Mas Juna hanya bisa menghela napas.

“Ok! Sekarang waktunya kita senang-senang!” seru Mamah dan Bunda sambil tersenyum lebar berbeda dengan kami berempat yang hanya terduduk lesu.

Semakin kaget dan lesu pulalah kami ketika mengetahui kalau pesawat yang kami tumpangi itu menuju Balikpapan, bukan Bali atau Lombok seperti perkiraan kami, tak sampai di sana sesampainya di bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, kami kembali menaiki pesawat menuju Tarakan.

Sesampainya di Tarakan kami pikir itulah tujuan akhirnya tapi ternyata tidak! Kami kembali melakukan perjalanan darat dan diakhiri dengan menaiki speedboat menyebrangi lautan, kedua orangtua kami seperti tidak ada lelahnya mereka tetap bercanda dan tertawa, berbeda dengan kami yang rasanya sudah tak memiliki tenaga lagi.

Mas Juna yang sepanjang perjalanan dari Bandung duduk di sampingku hanya tertawa melihatku yang terlihat lemas, dia merangkulku sesekali dia akan memijat bahuku atau menggodaku yang hanya mendapat delikan dariku membuatnya kembali tertawa.

Tapi untung saja angin laut dan pemandangan alam sekitarnya membangkitkan sedikit energi apalagi ketika kami sampai di tempat tujuan yaitu kepulauan Derawan yang luar biasa, membuat mulut kami menganga takjub.

“Ikan, Mas, Ikan!” seruku sambil memukul-mukul lengan Mas Juna ketika mataku melihat ikan yang berenang di air laut yang sangat jernih.

Saat ini kami tengah berjalan di jembatan kayu yang menghubungkan dengan sebuah resort yang berada di atas air.

“Dasar, bayi! Iyalah itu ikan siapa bilang sapi,” ucap Mas Juna membuatku berdecak kesal sambil meninggalkannya menuju Ayah yang berjalan di depan kami.

“Kita nginep di sini?” tanyaku sambil merangkul lengan Ayah.

“Iya, kerenkan?” Ayah tersenyum lebar sambil mengangkat alisnya.

“Keren!” seruku sambil tersenyum lebar.

Melihat pemandangan alam yang tersuguh di hadapanku membuat semua lelah dan penat yang ku rasa hilang seketika berganti dengan senyum bahagia dan antusias untuk memulai masa liburan.

Kami menginap disebuah resor yang berada di atas air, semacam rumah apung dengan segala fasilitas lengkap khas hotel berbintang, interior di dalamnya terbuat dari kayu yang keren.

Setelah menyimpan tas di dalam resort dan beristirahat sebentar kami memutuskan untuk makan di restoran yang tersedia, kemudian duduk di jembatan kayu penghubung yang menyediakan kursi-kursi kayu santai untuk melihat sunset.

Ayah sibuk memotret kami semua, hobinya seolah tersalurkan karena banyak spot foto yang bagus. Langit di hadapan kami kini berubah kemerahan, membuat kami semua terdiam mengagumi kecantikan di hadapan kami yang tentu saja tidak di sia-siakan ayah dengan memotret kami semua berlatar langit berwarna jingga.

****

Terpopuler

Comments

RR.Novia

RR.Novia

Its my dream mas 😁

2024-03-24

0

pipi gemoy

pipi gemoy

aquarium raksasa is Derawan 🌹

2022-12-25

0

Jeng Anna

Jeng Anna

Kurang Sepinggan Balikpapan, kaum milenial menyingkatnya menjadi Bandara Samsul Sebal 😝

2022-07-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!