Bab 3

“Jadi, Dion (sambil berbisik) tiba-tiba berhenti di depanmu dan nawarin diri buat nganter kamu pulang?”

“Iya, hihihihi.”

Untuk kesekian kalinya Jasmin dan Mika bertanya seperti halnya aku, mereka pun seolah tak percaya kalau lelaki dingin itu akan mengantarku pulang, padahal selama ini kami tak saling kenal. Ya, selain ku tahu namanya Dion Wibisana, anak 11 IPA 5 tak ada lagi yang ku tahu tentangnya. Dan kebetulan dia teman sekelasnya Andra jadi sudah beberapa kali dia datang ke rumah hanya untuk sekedar main atau kerja kelompok.

Dan kalaupun mereka main ke rumah dia hanya akan diam tak banyak bicara, tak seperti teman Andra lainnya yang akan sibuk mencari perhatian atau menggodaku.

“Jangan sampai Andra dan Arya tahu, kalau mereka tahu bisa kacau.”

“Tenang saja kita akan tutup mulut,” ucap Jasmin yang mendapat anggukan dari Mika.

Mereka berdua sudah sangat tahu kalau Andra dan Arya akan menjauhkan siapapun juga yang berani mendekatiku, oleh karena itu tidak ada teman-teman seangkatan yang berhasil mendekatiku karena harus menghadapi mereka berdua, dan ku harap Dion menjadi yang pertama berhasil.

“Tapi aku penasaran, Ja, mereka suka mengatakan kalau kamu sudah punya tunangan, memang benar?” tanya Mika dan ku lihat Jasmin-pun menatapku dengan penasaran membuatku menangkat bahu.

“Aku belum bertunangan, hanya saja…” aku akhirnya menceritakan tentang perjodohan dengan Mas Juna, ini pertama kalinya aku menceritakan kepada orang lain. Aku bisa memercayai mereka berdua karena kami telah berteman dari SMP.

“Apa?!” seru mereka berbarengan membuatku menatap keduanya yang kini terbelalak tak percaya.

“Jadi kamu sudah dijodohkan dengan kakaknya Arya?” Mika bertanya dengan mata membulat dengan tubuh dicondongkan mendekat berbisik karena takut terdengar orang lain.

Aku menghela napas sambil mengangguk.

“Dan dia lebih tua tujuh tahun?” Kini Jasmin yang mencondongkan tubuhnya yang kembali mendapat anggukan dariku.

“Waaah… pasti ganteng banget.”

“Iya, pasti keren… pilot.”

“Kyaaa…!!!”

Mereka berdua berseru sambil tersenyum lebar membuatku menatap keduanya tak percaya.

“Katakan seperti apa dia?”

“Ada fotonya gak? Lihat dooong.”

Mata mereka berbinar menatapku yang hanya bisa menganga kemudian menggelengkan kepala.

“Kalian tidak terkejut aku dijodohkan, tapi kalian lebih penasaran seperti apa Mas Juna?”

Jasmin dan Mika terdiam beberapa saat.

“Tentu saja kami terkejut, tapi… kami juga penasaran seperti apa kakaknya Arya yang dijodohkan denganmu, secara Arya juga kan ganteng,” ucap Jasmin mendapat anggukan dari Mika.

“Mirip Arya, gak?” Mika bertanya dengan masih penasaran.

“Hmm… sedikit mirip, Arya itu lebih mirip Mamah, kalau Mas Juna lebih mirip Papah.”

“Kitakan belum ketemu sama Papahnya Arya, jadi kita tidak tahu kaya gimana,” protes Mika.

“Gak punya fotonya ya?” tanya Jasmin.

Aku menggelengkan kepala sambil menghabiskan teh botol milikku kemudian berdiri sambil berkata, “Sekarang bukan itu masalahnya.”

Jasmin dan Mika saling tatap bingung.

“Masalah apa?” tanya Jasmin sambil berjalan di sampingku menuju kelas.

“Si topi hitam.”

“Ah! Iya, tadi kita lagi ngomongin dia!” seru Mika sambil menepuk jidat.

“Jadi sekarang kamu sudah punya nomor-nya.”

Aku tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepala seperti burung pelatuk.

“Terus dia sudah menghubungi kamu belum?”

Aku terdiam kemudian menggeleng lemah.

“Mungkin dia nungguin kamu menghubungi duluan.”

“Iiih, buat apa? Enggak ah.”

“Iya deh jangan.”

“Sttt… orangnya ada di depan,” bisik Jasmin sambil membetulkan posisi kacamatanya membuatku langsung menatap ke depan.

Dia terlihat keren seperti biasanya dengan topi hitam dan jaket berhoodie abu-abu, mata kami sesaat saling pandang membuat dadaku berdebar dan semakin menggila ketika kami sudah dekat dia tersenyum membuatku balas tersenyum sambil meremas tangan Jasmin yang berdiri di sampingku.

“Kyaaa… dia senyum - dia senyum!” seru kami dengan suara tertahan dan tangan saling meremas dan berjalan dengan cepat menuju kelas.

Sesampainya di dalam kelas kami berteriak sambil melompat-lompat tak memedulikan tatapan dari teman-teman sekelas yang keheranan melihat tingkah kami.

*****

“Assalamualaikum… Mah!”

Aku masuk ke dalam rumah Mamah sambil berteriak memanggil Mamah Kekey, Ibu Arya dan Mas Juna yang sudah seperti Bunda.

“Wa’alaikumsalam, Mamah di dapur, Sayang.”

Aku langsung berjalan menuju dapur melewati Arya dan Andra yang sedang main game online, kulihat Mamah sedang membuat sesuatu.

“Bikin apa, Mah?”

“Mamah baru dapat resep pie,” jawab Mamah sambil tersenyum lebar.

“Mah, nanti jadi gak kata Bunda?”

“Jadi dong, kamu ikut jugakan?”

“Iya, tapi kata Bunda sorean soalnya Bunda sama Ayah mau ke rumah Enin (Nenek) dulu.”

“Ok.”

Minggu ini kami berencana pergi belanja bulanan, biasanya Bunda dan Mamah kalau belanja bulanan suka barengan dan aku suka ikut karena saat itulah aku bebas minta beliin ini itu, hehehe… kalau Bunda .elarang, Mamah yang akan beliin, dan kalau Bunda dan Mamah gak beliin, biasanya diam-diam Papah atau Ayah yang akan beliin. Ah... senangnya jadi putri satu-satunya di sini yang bikin Arya dan Andra kadang cemburu.

“Mas Juna kapan pulang, Mah?” tanyaku sambil membuka kulkas untuk mencari makanan dan akhirnya aku memutuskan mengambil coklat, “coklatnya buat Senja ya, Mah.”

Mamah mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk di kursi meja makan depanku.

“Tidak tahu Mas Juna belum menghubungin Mamah lagi, memang kenapa?”

“Mau minta oleh-oleh, hehehe.”

“Hahaha, dasar... kita telepon saja sekarang.”

Aku mengangguk semangat, kami mungkin sudah dijodohkan tapi hubunganku dengan Mas Juna masih seperti dulu, seperti kakak-adik, aku masih sering menghubunginya hanya untuk minta oleh-oleh atau tambahan uang jajan, hehehe.

“Assalamualaim, Mah,” ucapnya ketika wajahnya terpampang di layar ponsel Mamah.

“Wa’alaikumsalam… lagi dimana, Mas?”

“Di apartemen baru bangun, hehehe.”

“Tidak kerja?”

“Lagi libur.”

“Kalau libur pulang dong, tidak kangen apa sama Mamah?”

“Hahaha, iya nanti Juna ada jadwal terbang ke Jakarta sekalian pulang.”

“Benar ya?”

“Iya… Mamah lagi apa?”

“Lagi ngobrol sama dia nih, yang kangen sama kamu juga.”

“Siapa?”

“Mas Junaaaa!!!” seruku sambil melambai-lambaikan tangan di depan layar ponsel yang Mamah serahkan padaku.

“Ckkk… dasar bayi hobinya makan coklat.”

“Biarin, hehehe… Mas, kapan pulang?”

“Kenapa? Kangen?”

“Iyaaa… kangen banget! Mas, beliin tas, Mas.”

“Tuhkan! Udah curiga kalau kamu kangen pasti ada maunya, mending gak usah kangen deh.”

“Hahaha, tas buat sekolah ya, Mas, kalau gak jaket ya, Mas.”

“Beli di Bandung saja kan banyak.”

“Gak mau, mau yang plastiknya ada tulisan inggrisnya bukan plastik hitam.”

“Ya sudah kalau gitu nanti Mas Juna bawain tas plastiknya saja.”

“Iiih, kok plastiknya saja, sama isinya!”

“Hahaha, iya nanti diisiin sama baju kotor.”

“Iiih, Mas Juna, nyebelin!”

“Hahaha.”

“Mas…”

“Apa?”

Ku tatap Mamah yang sedang asik di depan oven sebelum melanjutkan ucapku sambil mendekatkan wajah ke ponsel.

“Nanti sore aku mau ikut Mamah sama Bunda belanja bulanan.”

“Terus?”

“Aku mau beli komik,” bisikku dengan wajah menempel di layar ponsel.

“Mukanya jauhin, lubang hidungnya keliatan gede banget.”

Aku mendelik sambil menjauhkan ponselku, turun dari kursi kemudian berjalan ke halaman belakang membuat Mas Juna tertawa.

“Ckkk… ya, Mas, ya?”

“Iya apaan sih?”

“Pengen beli komik.”

“Ya beli saja.”

“Gak punya uang.”

“Minta beliin sama Bunda atau Mamah.”

“Suka gak boleh, komikku sudah banyak.”

“Ya sudah gak usah beli.”

“Iiih, komik baru lanjutan yang kemarin, Mas, seru baru lagi.”

“Minta sama Ayah atau Papah.”

“Ckk, mereka takut kalau sudah dipelototin Mamah sama Bunda.”

“Hahaha.”

“Jadi… nanti transferin ya, Mas.”

“Mas Juna gak mau dipelototin Mamah sama Bunda.”

“Kan jauh, gak bakal kelihatan melototnya juga.”

“Hahaha… sudah ah, mau mandi dulu.”

“Mau kemana katanya libur?”

“Kencan,” bisiknya sambil tersenyum.

“Ckkk… pacaran mulu, bilangin Mamah nih.”

“Kalau Mamah sampai tahu pulang nanti gak ada tas sama jaket.”

“Asiiik! Iya-iya, gak dibilangin, tapi benaran ya, Mas, tas sama Jaket.”

“Insyaallah kalau inget.”

“Iiih, belinya dari sekarang.”

“Hahaha, iya cerewet, udah ya... assalamualaikum.”

“Mas!’

“Apa lagi?”

“Komiknya?”

“Engga! Assalamualaikum.”

“Pelit… wa’alaikumsalam,” jawabku dengan muka pura-pura cemberut, tapi setelah hubungan terputus aku bersorak gembira karena akan dapat tas dan jaket baru.

Soal komik sebenarnya itu hanya alasan saja karena Ayah atau Papah pasti beliin walaupun memberi uangnya diam-diam di belakang Bunda dan Mamah.

Tapi tak lama kemudian aku mendapat pesan dari Mas Juna, sebuah bukti transfer yang lebih dari cukup untuk beli komik membuatku kembali bersorak.

*****

Terpopuler

Comments

Maya Kitajima

Maya Kitajima

aahhh...senengnya jadi senja...😊😊😊

2023-07-31

0

𝔨𝔦𝔨𝔦 𝔣𝔯𝔞𝔫𝔰𝔦𝔰𝔨𝔞 𝔤

𝔨𝔦𝔨𝔦 𝔣𝔯𝔞𝔫𝔰𝔦𝔰𝔨𝔞 𝔤

wibisana saha nya'?? autumn apa winter nya'?? poho😂😂

2023-01-13

0

ida

ida

hahahaha

2022-09-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!