Waktu terasa begitu cepat berlalu dan menimbulkan perasaan melankolis sendiri. Apa yang sudah Mutia lakukan untuk keputusan besar yang akan dijalaninya?
Tidak ada.
Dia masih saja berada didalam kubang kebimbangan. Kenyataan yang pahit sudah saatnya dia hadapi, besok pagi.
Gamang, Mutia teringat pada kenangan-kenangan yang dirasakannya teramat manis yang pernah dia dan Frans lakukan bersama. Mungkinkah? Dia akan ditakdirkan kembali bersama suatu saat nanti?
Kebaya putih sudah selesai dijahit. Beberapa jam yang lalu, dia sudah dihubungi oleh MUA untuk kejelasan waktu acara. Rumah juga sudah di dekor cantik dengan dekorasi minimalis untuk akad. Hanya akad saja. Tapi sangat terlihat indah. Namun sayang, bukan dengan seseorang yang dia kehendaki.
"Mut, Papa mau bicara sebentar..."
Sejenak Mutia melipat laptopnya yang menyala, kemudian mencabut charger yang tersambung. Lalu keluar dari kamarnya menemui Papa yang sudah menunggu di ruang keluarga.
"Ada apa Pa?"
"Nggak apa-apa, hanya ingin bicara empat mata" Papa menyesap tehnya yang masih terlihat berasap. "Jimmy akan mengajakmu ke tempat tinggal yang baru, dan kamu akan meninggalkan Papa." Mata bening itu terlihat mulai berkaca.
"Papa, jangan sedih..." Mutia mendekat dan memeluk Papanya dari samping.
"Sudah sewajarnya istri akan mengikuti suaminya, seperti dirimu Nak, dan mungkin hari-hari pertama Papa belum terbiasa..."
"Mutia janji akan sering pulang kesini jengukin Papa."
"Iya," Papa mengangguk-anggukkan kepalanya. Beliau memang tidak pernah ditinggalkan putrinya barang sehari pun selama ini. Jadi kesedihan sangatlah terasa.
"Lagipula rumahnya nggak begitu jauh kok Pa, jangan sedih ya Pa, ikut nangis nih..."
"Nggak, nggak sedih... kamu jadi istri yang baik ya, rubah sifat kamu. Jangan kekanak-kanakan. Kamu juga sebentar lagi jadi seorang ibu kan?"
Deg!
Batin Mutia mencelos.
"I-iya Pa.." jawab Mutia tergagap.
"Jangan tinggalkan lima waktunya, kirimkan doa untuk Mamamu, ya?"
Papa Ahmad terus memberikan nasihat-nasihat untuk putrinya, agar dia bisa menjadi istri yang baik.
***
Jimmy.
Malam menjelang penutupan, cafe malah semakin ramai pengunjung. Kemungkinan, kedua laki-laki jomblo akut akan kembali lembur malam ini. Maklumi saja, jam kerja mereka masih belum beraturan.
"Aku nggak datang besok Yan... ada urusan penting" ucap Jimmy.
"Yah.." raut wajah Ryan berubah kecewa. "Hambar dunia kalau nggak ada kamu Jim. Bagaikan sayur tanpa garam."
"Lebay!"
"Jim, lu sebenarnya mau kemana sih?"
"Kepo aja."
"Kamu punya pacar ya? Kok nggak bilang-bilang?"
"Ngapain bilang sama kamu, nanti kamu minta gimana,"
"Serius Jim? Siapa cewek hebat yang sudah bikin sahabatku ini jatuh cinta? Hebat banget dia."
"Sudah jangan berisik, itu ada yang pesan espresso dua, sama capuccino dua sama french fries nya tiga porsi small sama butter danish satu."
"Apa, apa? ulang dong?"
Jimmy terkekeh.
"Makanya jangan cuma betina aja yang dipikirin, sini biar aku saja yang buat. Aku aja yang jauh kedengaran" sahut Edo dan bergerak cepat. "Yang duduk dimana nih Jim?"
"Di meja luar itu yang sudah datang lima menit lalu, dia sudah reservasi meja itu tadi siang. Kayaknya buat rapat" jawab Jimmy.
"Diluar memang bebas asap rokok, makanya suka banyak yang reservasi ditempat itu" sahut Ryan.
Jimmy melepas seragamnya dan mencari kontak motor, jam menunjukkan pukul sembilan. Ibu berpesan agar malam ini, ia tidak pulang terlalu malam.
Selama diperjalanan, pikiran Jimmy kalut.
Pernikahan akan digelar esok hari...
Sudah beberapa hari ini dia tak kunjung mendapat jawaban atas doa-doanya. Kebimbangan terus saja menghampirinya, rasa ingin membatalkan pernikahan begitu besar.
Tapi, tidak mungkin bagi Jimmy menghancurkan semua itu. Siapa dia? Hingga dengan bangganya ingin menghancurkan semua impian orang yang telah memilihnya.
"Kenapa nggak jujur saja dari awal bahwa kamu sudah memiliki kekasih, kamu menyiksaku Mutia..."
"Kenapa kamu diam saja, hingga waktunya tiba."
"Ketakutan kamu meyakiti orang lain, kamu terlalu egois Mutia."
***
"Ya Allah, baru pulang jam segini. Sudah dibilangin jangan pulang kemalaman!" Tukas Ibu saat Jimmy baru saja pulang ke rumah.
Jimmy terlebih dahulu melepas mantelnya yang basah dan menggantungkannya di garasi. Lagi-lagi Jimmy kehujanan.
"Iya maaf Bu,"
"Basah bajumu?"
"Engga, hanya mantelnya saja."
Jimmy masuk, melihat kakaknya beserta istri dan kedua anak-anaknya sudah berkumpul diruang keluarga. Mereka datang dari jauh untuk menyaksikan akad nikahnya besok.
Tegakah? Tegakah jika ia membatalkan pernikahannya begitu saja? Apa itu keputusan yang masuk akal?
"Besok kamu itu harus cuti beberapa hari gitu Jim, calon manten kok nggak cuti lha piye toh?" Ucap Kakak laki-lakinya yang bernama Hanung. Jimmy adalah anak kedua dari dua bersaudara.
"Iya insyaallah nanti Jimmy cuti, sehat kabarnya Kak?"
"Sehat alhamdulillah..."
Jimmy duduk menyalami mereka semua dan keponakan-keponakannya. Sejenak, ia memperhatikan seserahan-seserahan yang sudah terhampar di karpet bawah. Banyak sekali. Seharusnya ini adalah malam midodareni, tapi karena tidak dilangsungkannya resepsi, acara itu ditiadakan.
"Lagian kenapa nggak resepsi saja sih Jim? Kata Ibu uangmu waktu itu cukup?" Tanya Kakak Hanung.
"Mutia nggak mau Kak,"
"Lho kenapa?" Tanya Hanung.
"Sudah-sudah!" Ucap Ibu Dwi melerai. "Ada atau nggak ada resepsi sama saja. Itu artinya, calon istrinya itu baik. Nggak banyak nuntut. Lagian uangnya juga sudah buat DP rumah sama DP mobil..."
"Lah kok? DP rumah dimana Jim?"
"Dekat kok Kak, nanti kapan-kapan Jimmy ajak kesana."
"Kamu nggak mumet opo nyicil dua-duaan sekaligus. Nanti kebutuhan setelah menikah itu banyak lho Jim, apalagi kalau istrimu langsung hamil" Hanung mengkhawatirkan adiknya. Biar bagaimanapun, Hanung sudah lebih dulu berada di posisi itu.
"Ada saudara yang membantu Kak..." jawab Jimmy.
"Saudara darimana? Jangan macam-macam kamu Jim, kamu minta tolong sama siapa?"
"Saudara ketemu" jawab Jimmy singkat.
"Ya sudah, kamu istirahat gih sana. Biar besok badannya fit" selak Ibu. Beliau mengalihkan pembicaraan agar Hanung berhenti mengorek-orek perihal keuangan adiknya.
"Iya sama hafalin ijab kabulnya, biar nggak keceletot besok. Ntar yang disebut malah nama mantan" celetuk Ayah Wirawan.
"Jimmy nggak punya mantan Ayah…" jawab Jimmy.
"Oh iya syukurlah, pria sejati itu kayak Ayah ini, Ibu Dwi adalah cinta pertama dan terakhirku."
"Hoeeeekk!" Hanung mual mendengar bualan ayahnya.
"Ayah ih sudah tua juga" ucap Ibu malu-malu.
"Umur boleh tua, tapi semangat jangan sampai kendor ya Yah?" Sahut Jimmy sambil terkekeh.
Jimmy kena pukulan dari Ibunya "kamu kalem-kalem yo asline nakal tenan yah. Dasar anak durhaka!"
Candaan mereka menciptakan kehangatan keluarga hingga semua tergelak tawa.
"Hehe, bercanda Bu…" Jimmy memeluk Ibunya seperti anak kecil.
"Duh, iki anakku loro wes gedhi kabeh, tapi masih manja juga... semoga besok lancar acaranya ya? Samawa ya Jim..."
"Aamiin, Bu..."
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Ekawati Hani
Ya ampun Jimmy bela belain ngambil setoran rumah dan mobil demi si Mutia matre
2022-04-24
0
Amay Zenita 1705
udh mw mewek dl an br baca smp cni 😭
2021-04-04
1
Sunarti Runa
vano yg bantu y jim..
2021-03-22
1