"Semoga jodohmu adalah seseorang yang amarahnya tak lebih tinggi dari rasa sabarnya. Yang tetap berkata baik meskipun kamu telah kecewakan hatinya, yang peluknya tetap hangat disaat kamu rasakan dinginnya perlakuan dunia."
"Hahhhh!" Mutia terbangun dari tidurnya, dia langsung terduduk dan mengatur nafas yang terengah sebab karena mimpi.
Matanya kian memanas dan mengembun, teringat almarhum. Mengusap rambutnya, Mutia berkata lirih "Mama, Mutia kangen..." ucapnya parau.
Almarhum Mamanya barusan datang dalam mimpi dan memberinya nasihat layaknya beliau masih hidup.
Sudah terhitung sepuluh tahun lebih dia hidup tanpa seorang Mama di sampingnya, yang membuat hidupnya menjadi sedikit kacau.
Tok tok tok!!
"Mut... bangun Mut!!" seru Papa dari luar "sudah jam setengah tujuh."
Astagaaa!! Setengah tujuh! Batin Mutia memekik.
"Iya Pah! Mutia kesiangan!" jawab Mutia. "Mana mobil masih di bengkel lagi, mau berangkat pakai apa?" Mutia menggerutu. Dia cepat-cepat membersihkan diri dan bermake-up kilat. Tak mempedulikan kamarnya yang berantakan sebab ulahnya.
Menuju ke ruang makan, Mutia langsung minum susu buatan Nuri asisten rumah tangganya. "Mbak, lain kali kalau saya belum bangun, bangunin dong! Saya kan mau kerja" ucapnya ketus.
"Maaf Non, besok-besok saya bangunkan kalau seperti ini lagi" jawab Nuri.
Papa menatap Mutia dengan heran. Tak semestinya dia harus dibangun-bangunkan seperti ini, seperti anak kecil saja.
"Shalat subuh nggak kamu Mut?" tanya Papa.
"Nggak Pah, gimana mau shalat subuh. Sudah keduluan matahari."
"Pasang alarm kalau nggak mau kesiangan. Kamu sudah sering seperti itu."
"Aku berangkat sama siapa dong Pah, mobil kita masih di bengkel..." keluh Mutia sudah hampir menangis.
"Jimmy sudah ada di depan" jawab Papa. "Dimakan dulu sarapannya Nak..."
"Nggak Pah, Mutia telat" Mutia salim dan buru-buru keluar rumah. "Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam" jawab Papa.
Terlihat didepan rumah sudah ada Jimmy yang sedang memainkan ponselnya. Dia sudah memikirkan ini dari kemarin, siapa lagi kalau bukan dia yang mengantarkannya.
"Ayo Jim, aku telat" ucap Mutia.
Jimmy memasukkan ponselnya dan bersiap.
Mutia menengok kesana kemari mencari sesuatu, karena yang ada di depannya bukan motor melainkan mobil. "Loh mana motornya Jim?"
"Kita pakai mobil ini" jawab Jimmy lalu membukakan pintu.
"Hah?!" Mutia menganga "mobil siapa ini?" tanya dia penasaran.
"Mobil temanku... ayo masuk!"
Blam!
Keduanya masuk mobil tanpa penjelasan apa-apa dari Jimmy. Hanya Mutia yang terus bermonolog kepada dirinya sendiri. Mobil siapakah ini? Di Zaman seperti sekarang ini, siapa orang baik hati yang berani meminjamkan mobilnya secara sukarela tanpa iming-iming?
"Berkas-berkasnya nanti sore dikumpulkan, nanti kalau sudah, hubungi aku" kata Jimmy seraya menoleh ke samping. "Nanti biar temanku yang mengurusnya."
"Iya."
"Mobil Papa kamu kapan beres?"
"Nggak tahu."
"Maksudnya kalau belum, nanti sore aku bisa jemput..."
Mutia menoleh cepat, keduanya sempat saling menatap, sebelum akhirnya Jimmy berkata lagi seolah mengerti apa yang sedang Mutia beratkan. "Pakai mobil ini, kalau kamu nggak mau pakai motor."
"Jemput aja, jam lima" jawab Mutia singkat.
Tidak ada percakapan lagi selama di perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit. Setelah sampai, Mutia buru-buru keluar mobil.
"Makasih Jim!"
Blam.
Pintu mobil tertutup.
"Sama-sama, sayang..." ucap Jimmy lirih dibubuhi dengan senyum tipis.
Dia sudah bertekad memberikan segenap kesabarannya untuk menghadapi Mutia, berharap wanita itu akan luluh. Karena menurutnya, tidak ada pernikahan terpaksa. Melainkan Tuhanlah yang menakdirkan mereka berjodoh. Meskipun jalanan yang Jimmy tuju sangat terjal. Jimmy tidak ingin menjadi seseorang yang pengecut yang mundur sebelum berjuang. Dia akan terus berusaha hingga Tuhan sendiri yang menghentikan langkahnya.
Putar balik dan kembali ke rumah, Jimmy akan memulai aktivitasnya.
Di kantor.
Siapa bilang seseorang harus mengawali harinya dengan senyuman. Bukankah dengan sarapan? Mutia membuktikan sendiri baru saja tiba di kantor, sudah merasa sangat lapar.
Mutia berdecak "ini gara-gara kesiangan!" gerutunya.
"Sambil makan saja Mut, aku ada sandwich dua tangkep nih... kita bagi dua aja buat ganjel." Ucap Rina seraya menyodorkan makanan bekalnya. Dia teman yang duduk berada tak jauh dari Mutia.
"Makasih Rin, ini sangat membantu." Mutiara mengambil satu tangkap sandwich yang Rina sodorkan kepadanya, kemudian langsung makan lahap sandwich itu.
"Minum ada nggak?" tanya Mutia.
"Nih, ada aqua" jawab Rina dan menyerahkan botol miliknya. "Tenang masih segel kayak aku."
"Kedalaman lautan nggak ada yang tahu," ucap Mutia.
"Dijamin kok" jawab Rina. "Lagian kenapa bisa sampai kesiangan sih kamu aneh-aneh saja."
"Mimpi buruk."
"Mimpi basah kali!"
"Sembarangan saja kamu Rin, heuu!"
Mutia bekerja di suatu perusahaan property sebagai salah satu staff accounting. Dia sudah bekerja di perusahaan ini selama dua tahun terakhir sebelum Papa pensiun.
Meskipun penghasilan itu cukup untuk diri sendiri, tapi setidaknya bisa membantu sedikit beban Papanya.
Tugas Mutia adalah memastikan dokumen yang berhubungan dengan transaksi Keuangan lengkap dan benar, membuat posting jurnal dan membuat laporan keuangan dan masih banyak yang lainnya yang berhubungan dengan uang.
"Banyak banget hari ini tugas kita," keluh Rina yang terus menggerutu.
"Iya nih, asem banget."
Beberapa jam kemudian...
Cukup lama Mutia input-menginput data jurnal akuntansi ke dalam sistem serta membuat laporan. Hingga tak terasa sudah tiba waktunya makan siang.
Mutia keluar bersama teman-temannya dari ruangan melewati kubikel-kubikel menuju ke kantin.
"Tunggu Rina! Aku rapiin rambut aku dulu." Seru Mutia pada saat melewati toilet dan merapikan penampilannya disana.
"Ciee yang pacarnya cowok tajir, kemana-mana bener-bener harus keren, matching warna baju, celana, aksesoris, sampai casing hape pun warnanya sama" ujar Ulfa.
"Ya sama dalemannya juga sama Mutia mah. Kemungkinan warna usus dan ginjalnya juga sama" sambung Rina.
"Garing kalian!"
Mereka saling bergurau sebelum akhirnya sampai di kantin dan mulai memesan makanan.
"Emangnya Papa kamu tahu, kamu masih berhubungan sama Frans?" tanya Rina.
"Enggak, aku malah dijodohin sama pelayan cafe. Gila nggak?" jawab Mutia.
"Oh iya? Gimana-gimana ceritanya? Penasaran dong kita. Kayak apa orangnya, ganteng nggak?" tanya Ulfa menyerobot.
"Apaan sih kalian kepo" jawab Mutia.
"Kok bisa sih Mut?" tanya Ulfa. "Apa yang menonjol, sehingga Papa kamu menjodohkan cowok itu sama kamu?"
"Nggak tahu, padahal orangnya sederhana gitu. Ahh sudah ah. Jangan dibahas" Mutia malas sekali harus membahas Jimmy.
"Kamu beneran mau nikah sama dia?" tanya Rina.
"Papa aku punya penyakit jantung lemah, aku takut Papa kenapa-kenapa kalau aku nggak nurutin permintaannya."
"Yaudah Frans buat aku aja, gilaaa keren siss!!" Ucap Ulfa.
"Enak saja!!" Gerutu Mutia.
"Kamu itu nggak jodoh berarti sama dia Mut, jadi lepasin aja buat kita-kita, ya nggak?" lanjut Ulfa lagi.
"Nggak akan!"
"Dih serakah, kamu mau poliandri?" tanya Ulfa.
"Dia itu cintanya aku, nanti aku pikirin langkah selanjutnya."
"Frans sudah tahu kalau kamu mau dijodohin?" tanya Rina.
Mutia menggeleng.
"Lah kamu cari gara-gara sendiri. Ribet itu mah urusannya" kata Rina. Rina adalah salah satu teman Mutia yang paling care terhadapnya. "Kamu kenal sama cowok yang mau dijodohin sama kamu Mut?"
"Iya, dia anak teman Papa aku. Kita memang sudah kenal lama, tapi cuma sekedar kenal saja. Nggak dekat."
Rina terus membimbing sahabatnya "kamu nggak bisa kayak gini, nanti bisa jadi bumerang buat kamu Mut. Kamu harus mengambil keputusan dan memilih salah satunya."
"Aku nggak rela pisah sama dia, aku cinta sama dia dan sebaliknya" jawaban Mutia membuat Rina menggeleng keheranan.
Cukup lama mereka mengobrol hingga tanpa disadari waktu istirahat mereka sudah hampir habis. Terlebih dahulu mereka melakukan ibadah empat rakaat, sebelum akhirnya kembali berkutat dengan pekerjaan.
***
Tepat pukul tujuh belas waktu setempat.
"Mut, aku balik dulu ya?" Ucap Rina kemudian diikuti oleh Ulfa.
"Aku juga soalnya udah dijemput calon ayang bebeb, heheheh…" sahut Ulfa.
"Oke, hati-hati kalian. Aku juga masih nunggu jemputan" jawab Mutia sebelum akhirnya ketiganya berpisah.
Sudah terhitung tiga puluh menit Mutia menunggu Jimmy yang katanya akan menjemputnya. Nyatanya dia belum datang juga sampai sekarang. Mutia terus melihat jarum jam di tangannya dan berdecak malas. Mengesalkan sekali harus menunggu selama ini. Tahu begitu tadi pesan Gr*b car saja, pikirnya.
Tin tin!
Jimmy membuka kaca mobil "ayo Mut, masuk sudah mau maghrib" ucapnya.
Tapi sayang, Mutia memalingkan wajah. Dia sudah kepalang ngambek hingga pura-pura tak mendengar kata-katanya.
***
To be continued.
Seberapa greget kalian sama Mutmut?😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Edah J
Agaknya sedikit rese nie si mut mut🙁
2022-11-03
0
Ekawati Hani
Mutia sombong, matre🤣
2022-04-24
0
Siti Komariah
matre bgt jadi cewek..gk ad bersyukurnya..untung d novel klo d dunia nyata entah d ceburin kesumur kali ky d brita2 kriminal wkwkwk
2022-04-01
0