Flashback satu tahun lalu.
Jimmy mengendarai motor dengan wajah putus asa. Tampak beban yang berat sedang menimpanya. Jalan demi jalan ia lewati, membelah keheningan malam dengan tujuan tak pasti. Tak peduli rintik-rintik hujan yang menetes membasahi wajahnya. Jimmy, tak memikirkan itu, Jimmy hanya memikirkan hubungannya setelah ini.
Kecewa, sakit hati, tertekan, tapi dia bisa apa?
"Nggak lucu jika sebuah hubungan yang sudah melibatkan kedua keluarga, dirusak begitu saja, Mut. Aku harus gimana?"
Dia tak mungkin mengecewakan persahabatan kedua orang tua mereka bukan?
Beberapa jam yang lalu, dia dan keluarga baru saja bertandang ke rumah Mutiara bermaksud untuk melamarnya. Pertemanan erat Ayahnya-lah yang membuat mereka melakukan perjodohan ini.
Bukan tanpa sebab, tapi karena Ahmad selaku Papa dari Mutiara sudah sangat mengenal Jimmy baik dari segi apapun. Sehingga beliau meminta Jimmy untuk menikahinya, mempercayakan putrinya kepada Jimmy, karena Ahmad yakin Jimmy-lah yang mampu menjaganya!!
Tiga bulan lalu mereka memang sudah membicarakan perjodohan ini, sehingga hari ini adalah waktu yang disepakati untuk mengadakan acara lamaran.
Awalnya hanya berteman biasa dari kecil, tidak ada pacaran sebelumnya. Tapi sejak perjodohan itu dibicarakan, Jimmy memutuskan untuk mulai belajar mencintai Mutia. Dan sekarang, dia sudah terlanjur menaruh hati kepada wanita itu.
Tapi ternyata, nasib tak begitu baik kepadanya.
Tepat hari ini juga, hatinya dipatahkan.
Jimmy akui telah bodoh dan ceroboh, membiarkan perasaannya tumbuh begitu saja. Jimmy pikir, Mutia menerimanya karena perasaan yang sama. Tapi ternyata, Mutia menerimanya karena ada sebab lain.
"Aku sudah punya pacar...."
"Kenapa nggak kamu gagalkan saja tadi?"
"Aku menerima lamaran kamu karena Papa ya, KARENA PAPA! Bukan berarti aku suka sama kamu."
"Lagian pacaran juga enggak, tahu-tahu kamu malah melamar."
"Harusnya kamu tanya aku dulu dong!"
"Masa aku pacaran sama pelayan cafe, yang benar saja."
"Pacar aku itu lebih dari segala-galanya dari kamu. Jangan ngimpi."
Kata-kata Mutia beberapa saat lalu terus berputar di kepalanya. Sakit, tapi tidak berdarah yang Jimmy rasakan. Apalagi, Mutiara adalah cinta pertamanya.
"Apa definisi mencintai itu harus kaya dulu?" Jimmy membatin.
Sudah beberapa puluh menit perjalanan, Jimmy memutuskan untuk berhenti di suatu tempat. Detik itu juga ia turun dari motornya. Jimmy pikir, dia butuh tempat singgah untuk menenangkan diri.
Menatap bangunan tinggi yang menjulang, matanya mengedari ke seluruh bangunan yang didominasi putih dan hijau itu. Kemudian Jimmy menginjakkan kakinya di lantai yang dia rasa cukup dingin.
Pelan, Jimmy membuka handle pintu yang sudah tertutup. Padahal, hari belum begitu malam, pikirnya.
"Kenapa dek?" tanya seorang laki-laki paruh baya berbaju koko warna putih. Sudah bisa ditebak, beliau marbot masjid ini.
"Saya mau beribadah disini apakah boleh?" jawab Jimmy hati-hati.
"Boleh, masuk saja ke dalam. Tidak dikunci."
"Belum shalat isya?"
Jimmy mengangguk.
"Iya sudah, masuklah. Tempat wudhu ada disamping."
"Terima kasih Pak…"
***
"Darimana kamu semalaman Jim?" tanya Ibu Dwi. "Kenapa kamu baru pulang, wong sudah mau menikah itu mbok ya jangan macam-macam kamu Jim..."
"Ketiduran di masjid Bu, maaf ya..." Jimmy menyalami Ibunya.
"Tidur itu dirumah, kayak nggak punya rumah saja tidur di masjid."
Bu Dwi mengeluarkan pacitan-pacitan untuk mereka sarapan. Mulai dari pisang goreng, bakwan, teh hangat dan masih banyak lagi.
"Ini diminum dulu, dimakan dulu," ucap Bu Dwi. "Kamu itu lho, mau nikah kok ya wajahe malah kusut. Mbok ya harusnya seneng toh? Apa biayanya kurang?"
"Jimmy seneng kok Bu, biaya nggak kurang." Jawab Jimmy sopan.
"Ayah!" Panggil Bu Dwi kepada suaminya.
"Ya, sebentar" teriak Ayah dari dalam. Tak lama kemudian, beliau keluar.
"Kita rembug masalah biaya pernikahan sekarang saja Yah," ucap Ibu. Lalu beralih kepada Jimmy "kamu ada uang berapa, biar ada kekurangan kita tambahin."
"Tidak usah Bu, uang Jimmy nggak akan kurang. Insyaallah..."
"Yakin kamu nak? Buat seserahan, sewa gedung, biaya Wedding Organizer?"
"Yakin Bu, sebentar ya Yah..." Jimmy masuk ke dalam kamarnya mengambil sesuatu.
"Ini perhiasannya sudah ada, sama uang buat mahar. Dan ini uang buat biaya sewa gedungnya." Ucap Jimmy dengan menunjukkan apa saja yang dibawanya.
Ibu Dwi dan Ayah Wirawan membeku di tempat melihat uang Jimmy sebanyak itu.
"Yah, Bu?" panggilan Jimmy tak mendapat respon apa-apa dari mereka. "Huhh, malah main sulap jadi patung." Gerutu Jimmy.
"Bu? Ayah!!" Panggilnya sekali lagi lebih seru dari yang tadi.
Keduanya menatap Jimmy bersamaan.
"Ini uang segini banyak darimana? Halal atau tidak ini?"
"Halal Ayah, tenang saja. Jimmy nggak akan berbuat aneh-aneh kasihan sama orang tua. Jimmy juga masih ingat dosa."
"Lalu darimana?" tanya Ayah.
"Dari Allah SWT" ucap Jimmy kemudian pergi ke kamar mandi.
Ayah dan Ibunya lagi-lagi saling menatap bingung dan bertanya dalam diam.
***
"Kamu itu kenapa sih, dari kemarin di chat nggak dibalas-balas. Aku merindukanmu." Ucap Frans. Laki-laki yang berstatus tak halal untuk Mutia itu memeluknya dari belakang.
"Aku sibuk Frans, aku kan kerja. Kamu juga tahu nggak usah nanya lagi."
"Kerja sampai malam? Nggak kan?"
Mutiara melepas belitan tangan yang melingkar di pinggang rampingnya, lalu menghadap Frans.
"Kalau malam aku capek, jadi kalau belum bisa balas, aku minta maaf. Okay? Please, percaya sama aku."
"Yaudah nggak apa-apa."
"Aku lagi bete nih. Jangan ganggu aku dulu." Kata Mutia dengan nada ketus.
"Kita shopping yuk! Aku akan belikan semuanya yang kamu mau."
Mood Mutiara langsung berubah seketika mendengar kata belanja barusan.
"Benar?"
Frans mengangguk.
"Kita shopping?"
"Iya sayang!"
" Ayo!"
Keduanya langsung melesat menuju ke pusat perbelanjaan. Frans memang selalu memanjakan Mutia dengan uangnya pada saat weekend seperti ini.
Jika ada yang bertanya siapa Frans? dia berbeda jauh dari Jimmy dari segi apapun.
Frans adalah anak dari salah satu anggota DPRD di kota ini dan dia sendiri juga sudah sukses mendirikan beberapa usaha counter ponsel yang tersebar di kota-kota besar. Jadi tak khayal, pundi-pundi uangnya seakan tak pernah habis.
Awal pertemuan singkat yang dulunya teman dari teman akhirnya menjadi hubungan ketika mereka merasakan kecocokan. Hingga kini, hubungan mereka sudah berjalan setahun lamanya.
"Ambil saja semua yang kamu mau." Ucap Frans pada saat mereka sudah di outlet Zara terbesar.
"Aku mau itu, itu, itu," tunjuk Mutia kepada barang yang dia inginkan.
"Iya nggak apa-apa."
"Tapi harganya mahal" Mutia sedikit berbisik.
"Sayang, jangan ragukan uangku."
"Oke deh, hehe. Besok aku bisa berangkat kerja sama baju keren deh..."
Beberapa menit setelah mereka puas berbelanja, keduanya mampir ke restoran jepang favorit mereka.
"Jadi kapan aku bisa melamarmu sayang?"
Pertanyaan Frans barusan membuat Mutia terdiam. Yang Papa Ahmad ketahui hubungan keduanya sudah kandas, mempercayai apa yang Mutia katakan.
Mungkinkah ia harus jujur perihal lamarannya kemarin siang? Nggak mungkin kan?
"Kenapa kamu diam?" tanya Frans lagi. "Apa Papa kamu belum merestui hubungan kita?"
"Ehm, iya. Maaf Frans belum" jawab Mutia gugup. Ternyata dia tidak pandai berbohong.
"Sampai kapan? Kita nggak akan mungkin seperti ini terus. Aku ingin segera menikahimu."
Deg!!"
Mutia menelan makanannya susah payah.
Dia takut kepada Papa Ahmad, tapi juga lebih takut melepas Frans, laki-laki yang ia cintai.
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Edah J
like ahh👍
2022-11-03
0
mom mikayla
hey..Mutia apa salahnya sm pegawai cafe?yg penting tu uangnya halal,drpd kaya banyak duit tp hasil korupsi
2021-04-05
0
Zidan Irfani
slt istigharah mutia klo dilema
2021-03-05
0