Malam semakin larut, jam juga sudah menunjukan pukul sebelas malam Anggia masih duduk di ranjang dengan memeluk lututnya, ia memandang rembulan yang terlihat sangat terang menyinari malam yang gelap, entah mengapa Anggia merasa perasaannya tidak menentu. Bukan karena perkelahiannya dengan Brian, itu sudah biasa bagi Anggia, tapi entah apa ia pun merasa bingung. Lama Anggia terdiam hingga suara ponselnya menyadarkan Anggia yang larut dalam lamunanya. Anggia mulai melirik ponselnya yang tergeletak di sampingnya, tertulis nama ibunya di sana.
[Ibu Ku.]
Anggia merasa bingung kenapa Ibunya menghubungi dirinya tengah malam begini. Anggia langsung menjawab panggilan telpon itu tanpa ia berpikir dulu karena ia pun penasaran, ia berdo'a semoga semua baik baik saja.
"Halo Bu," jawab Anggia setelah pangilannya terhubung.
"Anggi ini bibik Uti," kata orang di seberang sana.
"Bik Uti?" tanya Anggia.
"Iya Ngi. Bibik mau mengabarkan Ayah kamu sudah tidak ada," kata bik Uti tetangga orang tua Anggia.
"Apa Bik?" tanya Anggia masih berusaha meyakinkan dirinya.
"Ngi. Satu jam yang lalu Ayah kamu mengalami serangan jantung dan langsung warga melarikan Ayah kamu ke rumah sakit, lalu beberapa saat yang lalu Ayah kamu sudah tidak ada lagi," kata bik Uti.
Anggia diam ia seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, Anggia terus berusaha menguatkan hatinya. Ia yakin buk Uti pasti sedang bercanda.
"Anggia kamu masih dengar Bibik?" kata bik Uti karena ia tidak mendengar suara Anggia lagi.
"Bik jangan bercanda!" kata Anggia dengan air matanya yang terus mengalir.
"Bibik serius Ngi. Kamu langsung pulang ke rumah Ibu kamu ya...jenazah Ayah kamu akan segera di bawa pulang, kasian Ibu kamu Ngi dia hanya diam memeluk jenazah Ayah mu," kata bik Uti.
Anggia diam dan ia menjatuhkan ponselnya. Anggia mulai menagis dan membayangkan saat saat kebersamaan nya dengan Ayahnya. Namun kini semua sudah hilang, Ayah yang ia cintai telah pergi untuk selama, membawa semua kebahagian saat mereka masih bersama.
"Kenapa Ayah biarkan pengorbanan ku sia sia?" gumam Anggia.
Karena semua yang ia lakukan demi kesembuhan Ayahnya. Namun ternyata semua kini sirna luka yang ia rasakan karena pengorbanannya berakhir sia sia, Ia bertahan bersama Brian karena uang yang di berikan tuan Pasha untuk pengobatan Ayahnya.
Anggia bangun dari duduknya ia mengambil kembali ponselnya. Dan tas tangan milik nya di lemari, Anggia melihat jam di dinding kamarnya sudah menunjuk pukul dua belas. Ia yakin sudah tidak ada lagi taxi sementara rumah orang tuanya ada di pinggir kota membutuhkan satu jam perjalanan untuk sampai di sana.
"Aku minta tolong Mas Brian, aku yakin dia mau menolong ku sekali ini," gumam Anggia.
Anggia keluar dari kamarnya dan seperti biasanya Anggia melihat Brian sedang duduk di sofa dengan memeluk Bella kekasihnya. Anggia tidak mau berpikir panjang saat ini ia ingin cepat pulang ke rumah orang tuanya.
"Mas," kata Anggia yang berdiri di sampin sofa yang di duduki Brian dan Bella.
Brian tidak menjawab ia hanya melirik sekilas setelah itu ia kembali melanjut kan menonton televisi.
"Mas hiks hiks,"Anggia kembali memanggil Brian.
"Apa?" jawab Brian cuek.
"Ayah ku meninggal," kata Anggia sambil terus menagis.
"Apa hubungannya dengan ku?" tanya Brian cuek.
"Aku mohon Mas tolong antar kan aku. Ini sudah tengah malam dan pasti sudah tidak ada taxi," kata Anggia.
"Kau meminta aku mengantar mu?" tanya Brian.
"Iya Mas aku mohon," kata Anggia.
"Tidak aku sedang sibuk," kata Brian menatap sinis Anggia.
"Aku monon Mas kali ini saja, untuk pertama dan terakhir hiks hiks hiks," Anggia terus mengharap belas kasih Brian sedikit saja untuk saat ini.
"Tidak!"
"Mas hiks hiks."
"Kau tidak dengar Brian bilang tidak," bentak Bella.
"Aku mohon Mas," kata Anggia tanpa henti.
"Aku bilang tidak, dan aku pun tidak perduli mau Ayah mu mati atau pun Ibu mu yang mati," kata Brian.
Anggia yang menunduk mulai mendongkak ia menatap Brian dengan pandangannya yang tajam.
"Kau manusia tidak punya hati kau iblis," kata Anggia berteriak di hadapan Brian.
PLAKKK!
Brian menampar Anggia karena sudah berani membentaknya, sudut bibir Anggia berdarah dan ia memegang pipinya yang di tampar Brian.
"Kau akan menyesal!" kata Anggia.
Entah kekuatan dari mana kali ini ia sudah tidak takut lagi pada Brian, Anggia melangkah keluar.
BRUUKK!
Anggia membanting pintu ia keluar tanpa menutup pintu itu kembali. Ia terus berjalan dan memasuki lift sesekali ia mengusap air mata nya dengan kasar yang terus mengalir di pipinya.
TINGG!
Anggia keluar dari lift dan ia kini sudah berdiri di pinggil jalan menunggu ada taxi yang lewat. Dua puluh menit berlalu masih saja belum ada taxi untuk ia tumpanggi, hingga dua preman yang sedang mabuk mulai mendekatinya. Anggia terus berlari dan preman itu pun mengejarnya.
"Hey jangan lari," teriak preman itu.
Tiba tiba ada taxi yang lewat, ia melihat Anggia sedang berlari dan ia melihat Anggia sedang di kejar preman. Taxi itu berhenti dan membuka pintu mobilnya untuk Anggia.
"Cepat masuk Nona," kata sopir taxi itu.
Anggia langsung masuk ke dalam taxi itu dan sopir taxi itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga preman itu tidak lagi mengejar Anggia.
"Terimakasi ya pak," kata Anggia sambil sesekali ia melihat kebelakang dan dua preman itu sudah tidak lagi mengejarnya.
"Iya sama sama, kenapa Nona berkeliar tengah malam begini?" tanya sopir itu.
"Pak bisa antar saya," kata Anggia.
"Bisa kemana Nona?" tanya sopir itu.
Anggia mengatakan alamat rumah orang tuanya pada sopir taxi itu, dan sopir taxi itu bersedia mengantar Anggia.
"Terimakasih ya Pak. Bapak mau mengantar saya," kata Anggia.
"Iya Nona, Bapak sebenarnya mau pulang tapi Bapak tidak tega melihat kamu di kejar preman jadi sekalian saja Bapak antar Nona, karena Bapak juga tidak tenang kalau Nona turun di jalanan," kata sopir itu.
"Bapak baik sekali terimakasi Pak, saya memang harus kerumah orang tua saya karena Ayah saya meninggal Pak," kata Anggia dengan suara gemetarnya.
DREETTT DREEEETTT!
Ponsel Anggia kembali berdering dan yang menghubunginya masih sama.
"Anggia kamu di mana?" tanya bik Uti.
"Anggi sudah di jalan Bik," jawab Anggia.
"Kamu harus sabar Ngi, cepat kemari ibu kamu juga ikut pergi dengan Ayah mu," kata bik Uti.
"Maksud Bibik bagaimana hiks hiks?" tanya Anggia.
"Ibu kamu juga sudah tidak ada Ngi, sekarang keduanya.....em, kamu cepat kemari ya" kata Bik Uti.
Bik Uti tidak sanggup melanjutkan ucapannya dan ia tidak mau membuat Anggia menjadi histeris lebih baik Anggia datang dan melihat sendiri keadaan Ibunya. Satu jam perjalanan Anggia sampai di kediaman orang tuanya. Dengan tubuh gemetar Anggia turun dari taxi yang mengantarnya.
Anggia terus berjalan dengan hati dan pandangan yang sudah tak menentu. Ia berdiri di ambang pintu, terlihat warga yang sedang membaca yasin dan duduk mengelilingi dua jenazah yang terbujur kaku di tengah tengah mereka. Anggia berjalan mendekat, ia yang sudah tidak sanggup melangkah di papah oleh warga.
Anggia mulai mendudukan dirinya di samping jenazah ibunya. Ia mulai membuka kain yang menutupi tubuh kaku ibu nya. Anggia tidak sanggup lagi menahan tangisnya ia mulai berteriak sekencangnya dan ia juga mulai mendekati jenazah yang terbujur di samping jenazah ibunya. Anggia mulai membuka dan melihat wajah Ayah nya yang tadi tertutup kain.
"Ayah!"
"Ibu!"
"Kenapa kalian tega membiarkan pengorbanan ku sia sia hiks hiks hiks. Untuk apa aku hidup kalau kalian tidak ada, Ayah bangun!" teriak Anggia dan beberapa warga berusaha menenangkan Anggia yang menagis histeris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Sainah Aina
males klo mereka jadi psngn beneran...
2023-07-10
0
Aprisya
nyesek banget,,, dasar suami berjiwa iblis
2023-07-03
0
Nuryanti Yanti
kyk dania ini.... nangisss trssss
2023-06-21
0