Ketabahan Sang Madu
Tarik nafas, keluarkan...., terus, Bu.. tarik lagi, keluarkan lagi... bagus.
wueeeeeekkkkkk!!!!!
"Akhirnya, Alhamdulillah selamat ya, Bu anaknya laki-laki".
Bayi mungil ini telah hadir dalam hidupku, anak yang kunantikan selama sembilan bulan. Namun, terlintas semburat nestapa di rongga dada. Mas Gino Alpa menemaniku berjuang antara hidup dan mati. Ia pasti tidak bisa menemui ku karena takut dengan istri pertamanya. Aku harus ikhlas sebagai madu yang hadir di tengah kehidupan mereka. Aku sangat memahami perasaan mbak Rina. Sebab, aku telah menorehkan sembilu ke hatinya. Namun, aku tidak bisa menghindari takdir kalau aku harus menjalani hidup seperti ini.
"Maaf, Sus. Boleh minta tolong hubungi suami saya?" seraya menyodorkan handphone.
"Baik, Bu"
"Maaf, suami Ibu sepertinya menolak panggilan teleponnya" terang suster hati-hati.
Aku yakin pasti Mbak Rina yang sedang pegang handphone Mas Gino. Ia benar-benar ingin memisahkan aku dengan Mas Gino. Aku mulai khawatir kalau itu benar-benar akan terjadi. Bagaimana nasib anakku nanti? spontan saja bulir air mataku tak tertahankan keluar tanpa aba-aba. Ku elus lembut kening bayi tak berdosa yang harus menanggung kesalahan ku. Miris.. Tapi aku tidak bisa mengulang waktu.
"Maafkan Ibu, Nak, akibat kesalahan Ibu ayahmu tidak hadir untuk mengazankanmu dan menyambut mu hadir ke dunia ini".
Tak terasa mataku sudah sembab akibat terlalu banyak menangis.
...****************...
Kringg.. Tiba-tiba handphone Rania berdering.
di layar tertera nama Mas Gino.
"Halo!"
"Sayang, gimana keadaanmu? Gimana anak kita?" suara Mas Gino khawatir.
"Anak kita sudah lahir, Mas. Laki-laki. Tampan sepertimu?" suaraku parau menahan haru.
"Alhamdulillah, sekarang kamu dimana? biar Mas susul ke sana".
"Aku udah di rumah, Mas. Lagian udah dua hari dan dokter ngizinin aku pulang, Mas nggak perlu khawatir, aku baik-baik aja kok, Mas". Jelasku agar Mas Gino tidak terlalu panik.
"Oke, sayang. Besok pulang dari Rumah Sakit aku kesana ya, jaga anak kita baik-baik ya, sayang. Love you".
"Iya, mas. Love you too".
Sejak menikah dengan Mas Gino aku berubah menjadi makhluk yang pengertian, memahami, dan banyak mengalah. Aku tetap bersyukur bisa memiliki seorang suami seperti mas Gino yang sangat menyayangi ku. Ia bagaikan pahlawan dalam hidupku. Tapi, kebahagiaanku justru menjadi duri bagi orang lain yang membuat ku sulit untuk mencabutnya.
...****************...
"Sayang, aku minta maaf. Tiba-tiba Rina tahu kalau kamu sudah melahirkan. Ia mengirim orang untuk mengikutiku. Ia mengancam akan membahayakanmu jika aku menemuimu. Ia sudah benar-benar kelewat batas." jelas Mas Gino di seberang telepon.
"Mas yang sabar, ya. mungkin belum sekarang waktunya mas lihat anak kita. Aku yakin pasti ada cara lain agar Mas bertemu Rafa".
"Rafa? apakah nama anak kita Rafa?" Suara Mas Gino terdengar bergetar.
"Iya, mas. Maaf, aku yang kasih nama duluan. Tapi itu sebatas panggilan saja kalau mas ada nama yang lain bisa kita ganti".
"Nama yang indah, sayang. Mas suka. Oya, Rafa lagi ngapain, sayang? Mas Video Call ya".
Gino benar-benar terharu melihat Rafa yang mungil. Hingga ia lupa kalau ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya dari balik kaca jendela ruang prakteknya.
"Sepertinya tuan sedang menghubungi seseorang melalui video call, Nyonya!" lapor Johan anak buah Rina.
"Dimana keberadaan Gino sekarang?" suara diseberang.
"Tuan masih di kantornya, Nyonya".
"Oke, terus pantau kemana dia akan pergi, jangan sampai lengah". perintah Rina tegas.
"Baik, Nyonya!"
...****************...
"Ma, izinkan aku bertemu anakku. Sebentar saja, Ma. Aku janji cuma mau lihat Rafa sebentar setelah itu langsung pulang. kalau perlu mama boleh ikut papa ke sana, ma". Bujuk Gino penuh harap.
"Pa, mengetahui papa menikah saja aku rasanya sudah tidak sanggup. Sekarang papa sudah punya anak dengan perempuan ib**s itu? Papa ingin membunuh aku dan anak-anak pelan-pelan, Pa. Tolong mengerti perasaanku?" Rina sesenggukan menahan perih di hatinya.
"Aku mohon, Ma. Papa tahu ini salah. Ini sudah terlanjur. Aku nggak mungkin menelantarkan darah dagingku sendiri". Gino hampir putus asa.
"Kenapa baru sekarang papa sadar kalau ini semua salah? kenapa nggak dari dulu, Pa? Kenapa? Kenapa setelah punya anak?" teriak Rina histeris.
"Ma, tenangkan dirimu. nanti anak-anak mendengar".
"Biarkan saja, biar mereka tahu kalau ayahnya bukanlah ayah yang baik". teriak Rina tak kalah histeris.
"Oke, sekarang kamu mau papa gimana?" tanya Gino putus asa.
"Ceraikan perempuan itu! Aku tidak ingin dia ada di hidup kita sampai kapan pun". Tukas Rina berang.
"Ma..."
"Tidak ada kata tidak kalau masih ingin melihatku dan anak-anak." Sambil beranjak Rina keluar kamar dengan membanting pintu.
...****************...
Gino tercenung sendiri di kamar. Ia tidak menyangka akan seperti ini akibat dari perbuatannya. Ia benar-benar frustasi memilih antara Rina dan Rania. Istri pertama dan keduanya. Satu sisi ia tidak bisa meninggalkan Rina yang telah memberikannya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Jelas saja Rina tidak akan mengizinkannya menemui anak-anak apabila mereka berpisah. Anak-anak adalah tumpuan harapan Gino. Sementara, Rania adalah perempuan yang Gino cintai setelah umur pernikahannya dengan Rina berjalan 10 tahun Gino sudah lupa bagaimana caranya jatuh cinta. Namun, rasa itu kembali tumbuh pada perempuan ayu dan tulus pada sosok Rania. Gino sudah berusaha untuk menepis rasa itu, namun sosok Rania lebih kuat untuk hadir di pikirannya daripada usaha untuk menghilangkan bayang perempuan ayu nan lembut Rania. Gino benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Hingga akhirnya ia terlelap dalam mimpi bertemu Rania dan anaknya Rafa.
...****************...
"Pagi, ma. Pagi Anak-anak!" sapa Gino setelah selesai mandi dan langsung menuju ke dapur.
"Pagi, Pa!" Jawab Gea anak bungsunya.
"Mulai pagi ini sampai seterusnya Gea sama Edo diantar sama mamang! Papa sama Mama berangkat sama-sama ke Rumah Sakit. karena Mama di mutasi ke Rumah sakit Umum tempat papa!" jelas Rina di sela sarapan pagi mereka.
"Yah, mama.. nggak asyik, deh nggak diantar sama papa lagi!" Gea kecewa sambil memonyongkan bibirnya.
Gino tahu kalau peristiwa ini bagian dari rencana Rina agar bisa memantaunya lebih mudah untuk tidak berhubungan dengan Rania.
"Handphone papa saya pegang. Jika papa butuh bisa minta ke ruangan mama!" perintah Rina dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Nggak gitu juga kali, Ma. Gimana kalau ada yang menghubungi papa dalam keadaan darurat? tolonglah, Ma! jangan terlalu protektif!"
"Kenapa semua ini mama lakukan? karena kelakuan papa! papa hanya memikirkan perempuan k***r itu!"
"Ma...."
"Mama tidak akan segan-segan menggugat cerai papa jika melakukan sedikit saja kesalahan. Ingat itu, Pa!" ancam Rina kesal.
...****************...
Sudah sebulan Mas Gino tidak menghubungi Rania. Jangankan nafkah kabarnya pun tidak pernah Rania terima. Apakah mas Gino sudah memutuskan untuk melupakan Rania? Ia tidak boleh berpikiran negatif dulu. Mungkin saja mas Gino sibuk atau mbak Rina mengekangnya agar tidak bertemu dengannya. Tapi, apakah selamanya ia akan hidup seperti ini? Rania mulai gelisah memikirkan nasib dirinya dan anaknya. Namun, ia tetap berusaha tegar demi Rafa. Apapun yang terjadi ia tidak boleh menyerah untuk membesarkan Rafa.
"Sekarang Rafa sudah 40 hari. Aku harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhanku dan juga Rafa". Bisik Rania dalam hati.
Sambil membolak-balik koran untuk mencari lowongan Rania menyusui Rafa. Akhirnya, ia menemukan lowongan yang ia cari seraya mencatat nomor telepon yang bisa dihubungi.
"Halo, Selamat pagi! Ada yang bisa kami bantu?" Suara diseberang telepon.
"Selamat pagi, Mbak! Apakah benar ini Butik Assyafa?" tanya Rania hati-hati.
"Benar sekali, mbak. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya lihat di koran bahwa Butik Assyafa sedang membutuhkan karyawan baru. Apakah benar, Mbak?" tanya Rania antusias.
"Benar sekali, Mbak! untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi costumer kami secara langsung ke perusahaan. Nanti mbak akan dituntun untuk memenuhi persyaratan yang akan diperlukan". Jelasnya.
"Baik, Mbak. Terimakasih!" Rania menutup telepon.
...****************...
Alhamdulillah, akhirnya aku diterima di sebuah butik yang cukup terkenal di kalangan menengah ke atas. Penghasilan yang kuterima cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya yang dibutuhkan Rafa. Walaupun mas Gino sekarang tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin aku harus tetap semangat menjalani hidup demi Rafa. Selama aku bekerja Rafa dititipkan sama Bi Sum Asisten Rumah Tangga yang ditugaskan Mas Gino sejak aku menempati rumah pemberiannya. Mas Gino memang laki-laki yang baik, yang membuatku sulit untuk menolaknya.
...****************...
Flash back
Minggu pertama
"Apa keluhannya, Bu?" tanya dokter penuh perhatian terhadap setiap pasiennya.
"Enggak tahu nih, Dok. Rasanya dada saya sesak dan berdebar-debar". Jelasku melaporkan.
"Baik, Ibu boleh berbaring sebentar agar diperiksa?"
"Ibu hanya gangguan pencernaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan". Jelas dokter muda itu dengan mata teduhnya.
Seperti yang sering Rania dengar dari beberapa pasien yang sudah berobat sama Dokter Gino adalah dokter yang ramah dan tulus melayani setiap pasiennya. benar adanya ketika Rania berhadapan langsung dengan Dokter Gino. Serasa sakitnya langsung sembuh dengan sikap ramahnya.
"Ini, Bu resepnya bisa diambil di apotek rumah sakit ini. Jangan terlalu banyak pikiran ya, Bu!" Nasihat dokter Gino mengakhiri konsultasi mereka.
"Baik, Dok. Terimakasih banyak".
Setelah menebus obat, ternyata ada sisa kertas yang menjelaskan bahwa Rania harus kembali Minggu selanjutnya untuk mengetahui perkembangan penyakitnya setelah mengonsumsi obat yang diberikan dokter Gino.
Dalam perjalanan menuju rumah entah kenapa bayangan Dokter Gino terlintas di benak Rania.
"Duh, aku ini kenapa, toh kok mikir dokter itu?" sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir bayangan dokter Gino
...****************...
Minggu kedua
"Bagaimana keadaannya, Bu? ada perkembangan?" Tanya dokter Gino
"Rasanya, seolah melayang-layang, Dok!" keluhku.
entah kenapa darahku terasa berdesir sampai ke ubun-ubun hingga jantungku berdegup kencang.
"Ada apa dengan ku?" Ingin rasanya keluar secepatnya dari ruangan.
"Coba Ibu baringkan sebentar". Perintah dokter Gino sambil meraih stetoskopnya. perlahan ia memeriksa dadaku yang saat ini sedang berdegup kencang.
"Aduh, gimana ini?" Jantungku tidak bisa diajak kompromi. Aku yakin Dokter Gino pasti merasakan keadaan jantungku sekarang ini.
"Tuhan, semoga ia tidak salah paham". Batinku dalam hati.
Setelah selesai memeriksaku Dokter Gino langsung menuju kursinya dan meraih pulpen untuk mencatat sesuatu di atas kertas. Aku pun kembali ke tempat duduk pasien sembari menunggu dokter Gino selesai mencatat.
"Kalau sudah tidak ada lagi Ibu boleh tunggu di luar" Saran suster sopan.
"Baik, sus". karena gugup aku hampir menabrak ranjang pasien yang berada tepat di belakang saya. Saya melihat sekilas dokter Gino tersenyum melihat kegugupanku.
"Ya Allah, malunya".
Beberapa jam menunggu resep lagi-lagi Minggu depan saya harus balik lagi ke rumah sakit ini. Tandanya aku masih harus bertemu Dokter Gino lagi.
"Gimana ini? yang ada ntar aku bukan berdebar lagi, justru yang ada aku pingsan di depan Dokter Gino." Batinku gelisah.
...****************...
Minggu ketiga
"Maaf, Bu! kali ini Ibu saya anjurkan untuk dirawat inap beberapa hari di rumah sakit ini". jelas Dokter Gino.
"A..a.. Apa, Dok? Apa penyakit saya makin parah?" Aku shock mendengar perintah dokter Gino.
"Tidak, Bu. Hanya ada beberapa hal yang harus saya periksa secara intensif". jelas Dokter Gino.
"Sus, tolong bawa ibu ini ke ruangan yang sudah saya siapkan tadi". perintah dokter Gino sama suster.
"Baik, Dok. Mari, Bu ikut saya ke ruangan rawat". Ajak suster. Mau tidak mau saya menurut saja.
Ruangan yang aku tempati agak berbeda dengan ruangan lainnya. Ruangan ini dilengkapi dengan AC plus televisi dan kamar mandi. Aku yakin ini pasti ruangan kelas 1. Biasanya ditempati oleh pasien yang berduit. ruangannya saja lebih besar dari kamarku di rumah. Tempat tidurnya yang empuk membuatku nyaman. Tak terasa mataku rasanya bagai dilem. Ngantuk hingga tak sadar aku sudah terlelap dalam mimpi.
"Rania...."
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggilku begitu lembut. perlahan aku membuka mata. Di samping ranjang Dokter Gino tersenyum melihatku.
"Astaga, aku ketiduran, ma.. maaf, Dok". kilahku gugup disertai jantung berdebar tidak menyangka dokter Gino sudah ada di sisiku.
"Kamu kelihatan lucu saat tidur, Ran. Imut!" celoteh Dokter Gino.
"Tunggu. Aku bingung. Sejak kapan dia tahu namaku? pakai panggilan sok akrab lagi?" aku mengernyitkan dahi.
"Kenapa bingung begitu wajahnya? kamu heran ya aku tahu nama kamu?" tanya dokter Gino dengan bahasa santai. Aku makin bingung dengan sikapnya yang tidak formal seperti biasanya. Perlahan ia mendekat tepat di wajahku. Begitu dekat hingga rasanya nafasku berhenti sejenak. Mataku melototinya. Perlahan ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Aku minta maaf ya, Ran. Aku terpaksa melakukan ini agar bisa lebih dekat denganmu". Jelas dokter Gino lembut.
"Ma.. maksud Dokter?" tanyaku kebingungan.
"Aku tahu kamu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Pertama melihatmu aku juga merasakan jantung berdetak kencang. Aku nggak tahu apakah ini cinta atau tidak. Aku sudah berusaha menepisnya. Namun, rasa ini begitu kuat hingga aku tak kuasa untuk menyimpannya lebih lama lagi. Aku jatuh cinta padamu, Rania." terangnya menatapku lekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Diah Ratna
Gino nya gampang goyah , semangat Rani selamat kan keluarga mu,jauhkan pelakor
2021-05-29
0
Zahrotul Ulum
perasaan yang salah tempat dan waktunya
2021-02-16
2