16. Ibarat Buah Simalakama

Beberapa hari kemudian Arin masih tidak bisa melupakan kejadian malam itu bersama Reza. Bahkan hingga detik ini Arin masih merutuki dirinya sendiri. Arin merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Arin tidak pernah menyangka jika dalam hidupnya ia akan melakukan itu sebelum menikah.

"Apa yang harus aku lakukan? Apa sebaiknya aku segera menikah saja? Tapi aku masih belum siap menjadi seorang istri. Aku masih ingin bebas dan meraih cita-citaku," lirih Arin yang terbaring diatas kasur.

Hari ini Arin sengaja mengambil cuti karena ia merasa tidak enak badan setelah kejadian kemarin. Setelah melakukan hal itu Arin pulang dengan basah kuyup karena kehujanan. Sesampainya dirumah Arin pun kembali menghukum dirinya sendiri dengan menyiram tubuhnya dengan shower dikamar mandi.

Hal itulah yang menyebabkan Arin akhirnya masuk angin. Ia merasa jika seluruh tubuhnya merasa ngilu dan kepalanya sedikit pusing. Tak berapa lama terdengar suara ponsel Arin yang berdering. Lalu Arin pun terpaksa terbangun dari tidurnya dan mengambil benda pipih itu diatas nakas.

Awalnya Arin tidak mengangkat telfonnya, namun akhirnya ia mengangkatnya karena takut jika telpon itu merupakan telpon penting. Tanpa melihat dari siapa panggilan itu Arin segera mengangkatnya karena ponselnya berdering sejak tadi.

"Hallo, mau bicara dengan siapa? Ini kak Reza?" jawab Arin yang langsung mengangkat telponnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya.

"Arin apa kamu baik-baik saja." tanya Reza di seberang sana.

"Ya, aku hanya sedikit tidak enak badan."

"Apa? Kalau begitu aku akan datang dan membawakan makanan."

Beberapa saat kemudian, panggilan itu berakhir. Arin tidak menyangka jika yang menelfonnya itu adalah Reza. Padahal Arin begitu marah dengan Reza sebab kejadian kemarin. Bagaimana Arin harus menghindar sedangkan Reza sedang dalam perjalanan akan ke rumahnya.

Ditempat lain Reza merasa khawatir setelah tahu bahwa Arin sedang tidak enak badan. Reza merasa ikut bersalah karena kejadian kemarin.

"Apa Arin sakit gara-gara kejadian kemarin?" gumam batin Reza.

Sebelum berangkat bekerja, Reza berencana untuk menjenguk Arin terlebih dahulu. Dalam perjalanan menuju rumah Arin, Reza membeli sarapan berupa bubur untuk Arin. Dengan kecepatan tinggi Reza melajukan kendaraannya. Reza benar-benar khawatir dengan keadaan Arin saat ini. Setengah jam kemudian akhirnya Reza tiba dirumah Arin.

"Permisi, rin! Ini kakak," pekik Reza sambil mengetuk pintu.

Tak berapa lama Arin pun datang membukakan pintu.

"Kak Reza? Kenapa ke sini?" tanya Arin.

"Gimana keadaan kamu sekarang? Sebaiknya kita pergi ke dokter," ujar Reza yang merasa sangat khawatir dengan keadaan Arin.

"Aku tidak apa-apa kak. Aku hanya pusing biasa saja," jawab Arin lirih.

"Ini kakak bawakan bubur buat kamu," ujar Reza yang menyodorkan bungkusan hitam yang berisi bubur.

"Makasih kak, kenapa harus repot-repot segala," ucap Arin.

"Eh sampe lupa, duduk dulu kak," tawar Arin.

"Tidak apa-apa, kakak hanya mampir sebentar karena harus segera berangkat bekerja," jawab Reza.

"Oiya, kakak minta maaf dengan kejadian kemarin. Kakak akan bertanggungjawab," tukas Reza sebelum berangkat meninggalkan rumah Arin.

"Entahlah kak, nanti akan aku pikirkan," jawab Arin.

"Ya sudah kalau begitu, kakak pergi ya," pamit Reza.

"Iya kak," jawab Arin sambil menganggukan kepalanya.

Arin merasa sangat bingung harus berbuat apa. Apakah Arin harus segera menikah apa tidak? Jika menikah mungkin Arin tidak akan bisa mewujudkan semua harapannya. Namun jika tidak Arin juga merasa bingung karena Arin takut jika menikah dengan orang lain akan bagaimana.

Ibarat buah simalakama, Arin merasa bingung dan terjebak dengan sebuah keputusan yang besar ini. Tidak menikah bagaimana, menikah pun bagaimana. Rasanya sangat sulit memikirkan ini semua. Jika bisa memilih Arin hanya ingin menjadi anak sekolah saja yang tidak memikirkan banyak hal.

Betapa rumitnya menjadi seorang yang dewasa. Begitu banyak hal yang harus dipikirkan dan begitu banyak hal yang harus diputuskan. Hanya saja itu hanya sebuah angan semata. Tidak mungkin jika kita harus menolak takdir yang terjadi dalam kehidupan kita.

Ditambah Arin yang tidak memiliki seorang ibu, merasa bingung harus bercerita kepada siapa. Setiap ada masalah, Arin hanya memendamnya sendiri. Tidak ada orang lain yang ia percaya. Hal itulah yang membuat Arin tidak pernah mengeluh jika ia sedang tertimpa masalah.

Meski selama ini Arin tinggal berdua bersama ayahnya, tapi hal itu tidak membuat Arin terbuka terhadap ayahnya. Arin tidak pernah menceritakan hal apapun kepada ayahnya. Hal itu terjadi sebab ayahnya tidak begitu simpati kepada Arin, sehingga ada jarak diantara mereka.

Jangankan menangis, menunjukan jika ia sedang bersedih saja rasanya Arin tidak bisa. Arin selalu bisa menutupi setiap masalahnya. Bagi Arin masalah tidak perlu diumbar atau harus diceritakan kepada orang lain. Cukup dirinya saja yang tahu dan merasakan setiap permasalahan yang terjadi dalam hidupnya.

Keesokan harinya, ayah Arin baru saja tiba dari luar kota.

"Assalamualaikum," ujar Pak Cokro sambil mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam warrohmatullohi wabarokatuh, ayah sudah pulang," jawab Arin yang terlihat senang saat ayahnya pulang.

"Kenapa ayah tidak memberikan kabar jika pulang hari ini, kan Arin bisa nyiapin makanan buat ayah,"  tukas Arin sambil menyalami ayahnya.

"Ah itu pasti akan merepotkanmu nak. Lagi pula ayah membeli beberapa makanan di jalan tadi," ujar ayahnya sambil menyodorkan keresek hitam berisi beberapa macam makanan.

"Wah asyik banyak makanan," ujar Arin yang langsung membuka isi dari kantong keresek tersebut.

"Wah ada soto, gorengan, martabak coklat kesukaan Arin. Makasih yah," ujar Arin yang langsung melahap makanan kesukaannya.

"Kalau begitu, ayah istirahat dulu Yah," pamit Pak Cokro sambil berlalu menuju kamarnya. Perjalanan yang cukup jauh membuat Pak Cokro sangat lelah.

"Ayah tidak makan dulu?" tanya Arin.

"Ayah sudah makan tadi dijalan," jawab Pak Cokro.

Arin pun hanya menganggukan kepalanya dan melanjutkan melahap makanannya satu persatu. Setelah ayahnya masuk ke dalam kamar membuat Arin berfikir kembali tentang pernikahannya. Entah apa yang harus Arin katakan kepada ayahnya.

"Bagaimana caranya ngomong sama ayah ya? Apa yang harus aku katakan?" gumam batin Arin bermonolog.

Arin berfikir sejenak, memikirkan bagaimana, apa yang harus ia lakukan. Untuk beberapa saat pikirannya melayang hingga akhirnya Arin pun berfikir untuk menemui bibinya di desa.  Selain itu, disana juga ada kakek dan neneknya. Mungkin dengan berbicara kepada mereka akan membuat Arin mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkannya.

"Ya sepertinya aku harus menemui bibi dulu di desa. Aku akan menceritakan tentang pernikahan kepada bibi," gumam batin Arin yang merasa bersemangat.

Satu minggu kemudian, akhirnya Arin pergi menemui bibinya di desa. Selain bibinya, disana juga masih ada kakek dan juga neneknya, serta beberapa saudara dari almarhum ibunya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!