Kali ini adalah kali kedua bagi Arin diantar oleh Reza. Meski tidak sengaja bertemu tapi Arin tetap merasa tidak enak. Arin selalu merasa takut jika ada seseorang yang melihatnya sedang berboncengan dengan Reza yang sudah memiliki seorang istri.
"Kenapa kakak bisa pulang lewat daerah sini?" tanya Arin membuka pembicaraan dari arah belakang motor.
"Jalan yang biasa kakak lewati macet tadi, makanya kakak putar arah kesini biar cepet nyampe rumah," jawab Reza yang sedikit berteriak karena jalanan bising suara kendaraan.
"Kamu sendiri kenapa bisa ada didaerah sini?" tanya Reza balik.
"Aku abis interview kak?" jawab Arin menjelaskan.
"Bukannya kamu sedang bekerja, kenapa nyari lagi pekerjaan?" tanya Reza yang menautkan kedua halisnya. Setahu Reza Arin sedang bekerja, makanya Reza merasa heran mendengar Arin sedang interview.
"Aku ingin cari suasana baru kak," jawab Arin.
"Oh begitu, memangnya kenapa?" tanya Reza lagi
"Tidak apa-apa kak, aku hanya ingin cari suasana baru saja kak," tukas Arin.
Tak terasa karena sejak tadi mengobrol, akhirnya mereka tiba dirumah Arin.
"Terima kasih ya kak," ujar Arin sesaat setelah turun dari mobil.
"Sama-sama Rin," jawab Reza yang segera bergegas meninggalkan halaman rumah Arin.
Meski rumah Arin cukup sederhana, tapi halaman rumah Arin cukup luas untuk parkir motor. Rumah yang tidak terlalu besar, namun tidak juga terlalu kecil. Cukup bagi Arin dan ayahnya yang hanya tinggal berdua. Selain itu, mereka juga tidak terlalu dipusingkan dengan pembayaran yang harus dikeluarkan setiap bulannya sebab rumah itu merupakan rumah pemberian orang tua Pak Cokro.
Beruntung saat tiba dirumah ternyata ayahnya belum pulang bekerja. Jika ayahnya sudah ada dirumah, Arin pasti akan terkena imbasnya.
Ditempat lain, sesampainya dirumah Reza tidak melihat keberadaan istrinya.
"Dimana Sintia? Rumahnya masih dikunci," gumam batin Reza. Reza pun segera membuka pintu rumahnya karena ia selalu membawa kunci cadangan jika Sintia sedang tidak ada dirumah.
Seperti biasa tidak ada makanan apapun yang dihidangkan Sintia. Reza yang sudah memiliki firasat jika istrinya tidak akan menyediakan makanan, langsung mencari makan saat ia pulang kantor. Beruntung tidak jauh dari kantornya ada sebuah tempat makan yang cukup terkenal juga murah.
Reza pun segera membersihkan diri sambil menunggu kedatangan istrinya. Setelah Reza selesai mandi tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu.
Tok.. tok..
"Buka pintunya!" ujar orang itu yang tidak lain merupakan Sintia yang baru saja datang.
"Sebentar!" teriak Reza yang setengah berlari menuju pintu sebab ia baru selesai mandi.
"Kamu dari mana saja?" tanya Reza kesal karena Sintia tidak ada dirumah saat ia pulang.
"Sepertinya aku mendengar suara motor tadi, siapa itu?" tanya Reza lagi.
"Sudahlah semua itu tidak penting! Aku sangat lelah!" pekik Sintia yang segera bergegas masuk tanpa menghiraukan pertanyaan Reza.
"Tunggu Sintia!" pekik Reza yang kini mencekal tangan Sintia.
"Apa lagi?" tanya Sintia yang harus menghentikan langkahnya karena tangannya ditarik oleh Reza.
"Kamu tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu adalah seorang istri, tidak seharusnya bertindak seperti ini!" pekik Reza yang sudah begitu kesal karena istrinya selalu seperti itu.
"Tapi aku sangat bosan berada dirumah!" timpal Sintia yang tak kalah geram mendengar ocehan Reza.
"Aku tahu tapi tidak seharusnya pergi-pergi seenaknya. Lari dari tanggungjawab sebagai seorang istri," ujar Reza lagi yang mengingatkan tugas Sintia sebagai seorang istri.
"Jangankan memasak, menyiapkan makanan untukku saja tidak! Bahkan selama ini aku tidak pernah mendapatkan hakku sebagai seorang suami!" tambah Reza lagi yang seolah mengutarakan isi hatinya.
Sintia yang memang merasa bersalah tidak banyak berbicara. Ia menyadari jika yang dikatakan Reza itu memang benar adanya.
"Jadi selama ini kalian?" timpal suara seseorang yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran mereka.
"Papah? Sejak kapan papah disitu?" tanya Sintia yang baru menyadari jika papahnya sejak tadi berada diambang pintu.
"Jadi begini kelakuanmu dibelakang papah!"
Plak...
Tidak lama terdengar suara Pak Eko menampar Sintia. Sintia yang tidak bisa berkata apa-apa hanya bisa memegangi pipinya. Setelah menampar anaknya Pak Eko tiba-tiba saja memegangi dadanya dan tidak sadarkan diri.
"Papah!" teriak Sintia yang langsung memeluk papahnya.
"Papah," ujar Reza yang tak kalah panik melihat mertuanya tidak sadarkan diri.
Sementara Sintia hanya bisa menangisi ayahnya sambil memeluknya.
"Pah bangun pah, aku tidak punya siapa-siapa lagi," lirih Sintia yang terus saja menangisi ayahnya. Sintia sangat takut kehilangan ayahnya sebab saat ini ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Tanpa aba-aba Reza pun segera membopong ayah mertuanya ke dalam mobil.
"Kita bawa papah ke rumah sakit," ujar Reza sambil membopong Pak Eko ke garasi.
Tanpa berkata-kata Sintia hanya menganggukan kepala. Dengan berderai air mata Sintia bergegas mengekor dibelakang Reza. Sintia duduk dibagian belakang dengan papahnya yang berbaring dipangkuan Sintia. Sementara Reza menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
"Lebih cepat lagi Reza, aku tidak mau papah kenapa-kenapa," lirih Sintia.
"Baiklah," jawab Reza yang menaikan kecepatan mobilnya.
Reza sangat mengerti jika Sintia begitu terpukul dengan apa yang terjadi pada ayahnya. Tidak berapa lama akhirnya mereka tiba dirumah sakit dan Pak Eko segera dilarikan ke ruangan Unit Gawat Darurat. Dokter dan beberapa suster pun segera memeriksa keadaan Pak Eko.
Didalam ruangan Pak Eko segera diperiksa menggunakan alat pacu jantung atau defribrilator adalah alat yang digunakan untuk mengatasi gangguan irama jantung aritmia yang dapat mengancam jiwa. Alat ini ditempelkan pada dada atau perut pasien untuk membantu pasien mengontrol ritme jantung yang tak normal.
Beberapa kali alat itu ditempelkan pada dada Pak Eko, namun hasilnya masih saja nihil.
"Kita coba beberapa kali lagi sus," ujar dokter itu.
"Baik dok,"jawab suster itu.
Dokter itu pun mencoba lagi beberapa kali, namun sayang ternyata Tuhan berkehendak lain.
"Tolong beritahu keluarga pasien," lirih dokter yang merasa sedih karena usahanya sia-sia.
"Mohon maaf, kami sudah berusaha namun pasien tidak dapat diselamatkan," ujar suster itu yang berdiri diambang pintu.
"Apa? Tidak mungkin!" pekik Sintia yang segera menerobos masuk ke dalam ruangan.
"Papah, jangan tinggalkan aku!" lirih Sintia yang menangis karena kini ayahnya telah tiada.
"Mohon maaf nyonya, kami sudah berusaha," lirih dokter itu yang berdiri dibelakang Sintia.
Reza yang merasa sedih segera masuk ke dalam ruangan. Reza mencoba mendekati Sintia dan mengusap punggung Sintia.
"Sabar Sintia, mungkin ini semua jalan yang terbaik untuk papah," lirih Reza yang mencoba mengingatkan Sintia.
"Papah, jangan tinggalkan aku," ujar Sintia lagi yang semakin menjadi. Sintia terus menangisi kepergian ayahnya sebab kini ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments