SELAMAT MEMBACA 🙏🙏🙏🙏
Hari ini adalah jadwal pertama kali aku mengaji. Seminggu sebelumnya santri baru hanya sibuk berkenalan dan memahami keadaan yang ada di pondok.
Ini untuk pertama kali aku belajar di sebuah pondok pesantren. Sebenarnya bukan pilihanku, tapi ini adalah maklumat Ayah yang tak bisa dinego. Ya, harga yang aku bayar ketika mengilai bola dan berteman dengan anak-anak pank.
"Wes, Duk, kamu harus mondok, tak peduli nilai NEM-mu bagus atau tidak, pokoknya harus mondok. Kamu itu perempuan, Ayah ngeri lihat pergaulanmu."
Mau aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan kalau aku hanya kenal saja dengan mereka tidak lebih. Ayah tetap dengan keputusannya. Dan di sinilah aku sekarang, si bonek yang harus serius belajar agama biar tidak pencilaan lagi.
"Assalamu'alaikum, perkenalkan nama saya Kemal Amrullah, guru bahasa Arab untuk santri baru," ucap lelaki yang disapa dengan Ustaz Kemal itu memulai pembicaraan.
Tersihir, rasanya tak percaya melihat lelaki yang sedang memperkenalkan diri itu. Kalau begini, mau dikurung bertahun-tahun di pesantren juga betah. Tak menyangka kalau ada Lee Min Hoo berkopyah dan memakai sarung.
***
Adibah Rumaysa, begitullah orang tuaku menyematkan nama itu padaku. Awalnya, aku berpikir kalau pondok itu begitu mengerikan, tapi semua itu berubah ketika aku bertemu dengan Ustaz Kemal, guru sekaligus pengurus Pondok al-Qudus tempatku menimbah ilmu.
Aku memang sedikit urakan di kalangan santriwati, tapi kelas tak akan ramai tanpa kehadiranku. Hobi teriak-teriak di lapangan bola ternyata begitu susah untuk dihilangkan, hingga guru ngaji pun jadi sasaran. Untungnya musrif bahasa arabku itu hanya tersenyum saja setiap kugoda.
"Rum, ada Ustaz Kemal di kantor putri." Ucap Rika setengah berteriak mengabariku dari pojok kamar sebelah. Kamar Rika memang dekat dengan bangunan yang selalu ramai dengan berbagai urusan santriwati itu.
"Beneran?"
"Iya, cepetan ke sini, biar bisa lihat." Secepat kilat aku menghampiri Rika yang sedari tadi melambaikan tangannya itu.
Bisa melihat makhluk berjakung masuk area putri adalah kesenangan tersendiri. Selain urusan mengajar dan hal penting, tidak boleh ada lelaki maupun santri putra memasuki kawasan ini.
"Eh, Ustaz Kemal bareng dengan santri putra lho. Ganteng juga," bisik Rika sambil nunjuk-nunjuk.
"Hush, jangan nunjuk-nunjuk nanti ketahuan kalau kita lagi ngelihatin mereka," selahku sambil kembali membuka kitab kuning yang kubawa untuk mengelabuhi seksi keamanan.
"Hei, kenapa di sini?"
Gawat, yang baru diomongkan datang juga.
"Tidak, Mbak. Ini sinau biar lancar bacanya. Iya kan, Rik?"
"Eh, eh, iya, Mbak. Alhamdu utawi iki ...."
Pinter juga Rika bersandiwara.
"Kalau sudah selesai langsung masuk kamar, banyak tamu laki-laki di kantor."
"Enggeh, Mbak."
Kutatap punggung perempuan yang menjadi koordinator keamanan itu menjauh. Tawa kami akhirnya brojol juga.
Setengah jam kemudian, Rika mengajakku untuk antri kamar mandi. Nanti habis ashar ada kelas bahasa Ustaz Kemal, tentu aku tak mau menyia-yiakan kesempatan untuk memandanginya lebih lama dan puas. Dosa mata begitu kata santriwati yang lain, yang tak pernah kuhiraukan.
Ah, bukankah kasih sayang juga pemberian Tuhan. Terus salahku dimana? Buktinya, setiap kali aku memandang Ustad jiplaan artis korea itu, gairah belajarku semakin bertambah. Aku hanya ingin memantaskan diri saja, sapa tahu Ustaz Kemal memang benar-benar jodohku.
"Bagaimana rek, apa ada yang perlu ditanyakan?"
Setiap kali Lee Min Hoo berkopyah itu berkata seperti itu. Hampir dipastikan tak ada santriwati yang menjawabnya. Mereka hanya menganggukkan kepala tanda mengerti dengan semua keterangan yang diberikan.
"Kalau tak ada yang ditanyakan sebaiknya kita akhiri saja pembahasan kali ini ya."
Waduh seminggu lagi baru bisa bertemu sang Ustaz pujaan.
"Ada, Ustaz." Reflek tangan dan mulutku tak bisa diajak kompromi. Dasar bonek sejati, tak mengerti situasi.
"Iya, Adibah, silakan."
"Hem ..., hem ..., kapan Ustaz mau ngalalin aku?" Mampus deh, keceplosan aku.
Gerr. Suara tawa membahana di kelas.
"Hem, ternyata Adibah sudah pingin nikah."
"Anuh ... Ustaz, Maaf." Sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana wajahku saat ini. Ada rasa malu dan tak tahu diri.
Menit selanjutnya, Ustaz Kemal mengucapkan salam dan meninggalkan kelas dengan tawa yang juga di tahan. Kupandangi kepergian guruku itu dengan doa yang kusematkan diam-diam. Semoga engkau memang benar-benar calon imamku, Ustaz.
***
Sudah dua pekan ini Ustaz favoritku itu absen dari tugas mengajarnya. Dari desas desus yang terdengar, ia pulang kampung. Sementara waktu, Mbak Nita, pengurus pondok putri mengantikan kelas Ustaz Kemal. Ah, jadi tidak bisa mengoda.
Rasanya sepi tanpa kehadirannya. Gairah belajarku pun seperti ikut surut juga. Kulangkahkan kaki menuju area belakang mushola, ada kebun sayur di sana, sepertinya enak kalau kalau bersantai-santai sejenak sambil menunggu azan maghrib berkumandang.
Setelah jama'ah maghrib, para santriwati bisa beristirahat sebentar sebelum ikut jama'ah isya dan melanjutkan kegiatan lainnya.
"Rum, Romo Yai memanggilmu," kata Mbak Nita, yang untuk sementara mengalihkan pembicaanku dengan Rika.
"Ada apa, Mbak?"
"Gak tahu, kata Mas Rozak, supir Romo Yai tadi. Penting dan mendesak."
"Enggeh, Mbak. Saya ke sana sekarang."
Ada perasaan aneh. Semoga ini bukan berita yang buruk. Sepertinya akhir-akhir ini, aku tidak berbuat kesalahan atau melanggar peraturan pondok seperti yang dulu-dulu.
Kuhirup oksigen sebanyak-banyak ketika sampai di pintu depan ndalem Romo Yai. Sedikit gemetar, kuketuk pintu.
" Assalamu'alaikum, Romo, ini Rum."
"Walaikumussalam, masuk Rum."
Kulangkah kaki dan duduk sambil menunduk menunggu Romo Yai berbicara.
"Kamu tahu, Rum, kenapa aku memanggilmu ke sini?"
"Mboten, Yai."
"Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, apa kamu mau?"
"Enggeh, Romo, jika Rum sanggup."
"Insyaallah, kamu sanggup. Jika tadi siang, ada pemuda yang mengajukan lamaran untukmu. Dia pemuda yang baik, sholeh, saya meyakini isyaallah dia bisa membimbingmu, dan kamu bisa menyempurnakan kekurangannya. Bagaimana kamu mau kan, Duk?"
Ya Allah bagaimana ini. Aku hanya ingin Ustaz Kemal yang menjadi imamku, tapi tentu aku tak bisa menolak permintaan kyaiku.
"Tapi, Romo. Rum ...."
"Inyaallah kamu suka,Nduk." Belum sempat kuutarakan pendapatku. Romo Yai sudah melanjutkan pembicaannya.
"Enggeh, Romo. Rum manut saja." Legowo, semua kupasrahkan pada Allah. Semoga memang ini jodoh yang benar-benar Allah pilihkan untukku.
"Sudah, Le. Kesinio, biar Rum tahu siapa yang melamarnya hari ini."
Sosok itu melangkah dari balik tirai ruang tengah dalem Romo Yai. Terlihat lelaki itu terpampang nyata di depanku.
Shock. Aku hanya terdiam.
***
Hari ini adalah hari pernikahanku. Teman-teman pondok banyak yang hadir, tak terkecuali Romo Yai yang menjadi pengikat hubunganku dengan lelaki yang saat ini menjadi imamku.
Kisah guru yang dijahili oleh santrinya sendiri pun telah usai. Kini kisahku dimulai dari lelaki yang menghalalkan dengan mahar seperangkat alat shalat dan emas sebesar 5 gram.
Aku tak bisa mengungkapkan perasaan apa yang ada di hatiku. Tiba-tiba yang teringat adalah awal mula kehadiranku di pondok dan pertemuanku dengan Ustaz Bahasa Arab itu. Tapi, jodoh memang rencana Allah.
"Selamat ya, Rum sekarang kamu sudah dihalalin sama Lee Min Hoo yang berkopyah dan bersarung," ucap Rika menggodaku.
Aku hanya tersenyum, dan mengusap buliran air mata sebab terharu.
Tamat.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN NAMA, ALAMAT, WAKTU, DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKTIF BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, VOTE JUGA BOLEH. TERIMA KASIH
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Nabila Ramadhan
Thor typo di judul, kok tulisannya CERIAT?
2021-08-24
0