SELAMAT MEMBACA 🙏🙏🙏🙏
Derap langkah Kemal menyusulku. Ketika menolah ke belakang kulihat ia berlari kecil sambil terus memanggil namaku.
Tak dapat kupungkiri ada perasaan bahagia menghampiri. Seulas senyum terbit kala melihatnya menghampiriku.
“Ngloyor aje, si?”
“lha situ masih serius ngobrol, takut ngganggu.”
“Halah, bukannya kamu tiap hari ngganggu aku, ya?”
“Enggak, ngganggu, kok, Qeel. Malah Mila senang kalau Qela nimbrung.” Suara Kamila yang tiba-tiba nongol di belakang Kemal membuat moodku dlosor lagi. Tuhan, kenapa si, ni cewek ikut juga.
Aku hanya tersenyum dan diam.
Rasa humorku tiba-tiba lenyap melihat gadis yang anggun ini. Mungkin aku iri. Gusti, please deh, aku harus bersikap sewajar mungkin. Lagian tak ada hubungan apa pun antara aku dan Kemal. Mengapa jadi gini ya?
“Eh, entar habis isya’ kita kumpul di café biasa ya! Bahas agenda kita selanjutnya. Gimana?” Pertanyaan Kemal mencoba mencairkan kebekuan kami.
“Siap, Pak.” Jawab Kamila bersemangat.
“Kamu, gimana, Qeel?”
“Lihat entar ya.”
“Kok gitu, kalau kamu wajib ikut lha. Situ kan koordinator diskusi.”
Kemal semakin memaksa ketika melihatku tetap ragu untuk datang. Sementara Tiwi yang sedari tadi berjalan bergandengan denganku hanya bisa menggodaku dengan mencubit lenganku. Mata dan alisnya tentu mengisyaratkan agar aku mendengar percakapan Kemal dan Kamila yang berjalan tepat di belakangku.
Di pertigaan gang, Kamila pamit undur diri sebab arah kosnya berlainan dengan kos kami bertiga.
“Hari ini, kenapa kamu lebih banyak diem si, Qeel? biasanya kalau ada pembahasan baru, kamu ini orang yang paling semangat tanya.”
"lagi galau,” sahut Tiwi seenaknya.
“Apa’an si, Wi?”
“Galau kenapa?Cerita dong.”
Ya Allah, tidak peka banget ini laki, tapi untunglah ia tidak tahu gemuruh perasaanku. Aku sendiri juga belum begitu yakin. Sebelum hari ini, aku begitu yakin bahwa hanya aku teman perempuan yang bisa berdiskusi dengan Kemal. Nyatanya, hanya prasangkaku saja. Mungkin banyak lagi perempuan yang diajak diskusi olehnya. Sungguh pintar sekali lelaki ini mengkader, tapi dia memang ketua organisasi.
Kami berpisah tepat di depan kosku. Terlihat punggung lelaki yang selalu membantu segala keluhku itu menjauh.
Segera kuletakkan tas kecil dan membersihkan diri. Aku ingat pesan nenek agar sebisanya salat di awal waktu.
Tiwi sudah siap dengan mukenah dan sajadah ditangannya ketika aku hendak masuk kamar.
“Jama’ah, Bu Nyai.” Suara Tiwi yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu kamar.
Karibku ini memang sering menggodaku dengan sebutan ‘Bu Nyai’ ketika kuceritakan alasanku mengambil jurusan ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Sudah malas berdebat dengannya masalah itu. Di sudut hati diam-diam aku mengamini. Bukankah perkataan bisa menjadi doa, maka biar kata baik kulangitkan saja pada sang pemilik jagat raya ini.
Seperti biasa, sengaja kuajak Tiwi sekalian untuk salat isya’, karena terkadang rasa malas lebih mendominasi ketika salat sebelum tidur.
Baru saja hendak melipat mukenah, terlihat telefon genggam itu berpijar biru.
[Jangan lupa ya, café lesehan]
Tiwi bisa menebak kalau itu pesan dari Kemal. Sebelum kutanya, teman satu kosku itu sudah bercakap kalau kali ini ia tak bisa ikut. Malam ini, perempuan ini ingin fokus belajar sebab besok ada jadwal presentasi.
[Aku tak ikut, Tiwi gak berangkat. Malas jalan sendiri. Takut ada yang ganggu]
Send. Centang dua biru.
Kukirim pesan balasan dengan kelakar kepede-an. Ada balasan emosion tertawa.
[Aku sekarang ada di depan kosmu. Cepetan siap-siap. Berangkat bareng aku]
Segera kubereskan mukenah. Mengganti baju, dan bergegas menuju pintu gerbang kos.
“Tak usah terburu! Si doi sabar menunggu kok,” ledek Tiwi melihatku tergopoh mencari blocknote.
“Mayak, kamu, Wi.”
Kutinggalkan Tiwi yang tak henti menggodaku. Tentu saja teman satu kosku itu punya banyak bahan membuatku mati kutu. Segala resah dan perasaanku banyak kuceritakan padanya. Setidaknya di kota ini aku punya teman yang bisa kujadikan saudara. Ibuku bilang, ketika kita jauh dari rumah, kita akan mendapatkan pengganti saudara, dan aku telah menemukannya.
“Lama juga cewek kalau dandan.”
“Ben gak kumus-kumus, Key.”
Key? Ya, ketika berdua aku sering memanggilnya key. Seperti kunci, ia membuka cakrawala ilmu yang belum kuketahui sama sekali.
“Memang harus ya, begitu?”
“Ya, enggak juga, wong aku mau pakai bedak atau tidak, wajahku tetap saja sama. Manis dan ayu.”
“Waw, ada yang lagi narsis. ”Kemal tak henti tertawa mendengar jawabanku.
Tak terasa, café lesehan yang kami tuju sudah ada di depan mata. Sengaja kita memilih meja yang lebih besar karena memang ada beberapa teman yang akan datang juga. Sementara ia memesan beberapa makanan, aku menulis beberapa point yang akan kita diskusikan nanti biar cepat selesai dan segera kembali ke kos.
“Aku pesankan es teh dan nasi bakar, kamu belum makan, kan?”
“Hemm.”
“Serius amat, nulis apa si?”
Kutunjukkan beberapa coretan yang ada di blocknote. Beberapa ia setujui, yang lain dicoret sebab nanti pembahasan akan membutuhkan waktu lama. Ia hanya takut aku terkunci dan tak bisa masuk ke dalam kos. Pemilik kos memberi aturan jam pulang paling lambat pukul 22.00 WIB.
Sementara Kemal menelepon beberapa kawan, ia menyuruh agar aku makan terlebih dahulu sebelum semua orang datang.
Siapa sangka aku bisa begitu dekat dengan sahabatku ini. Masih segar dalam ingatkan bagaimana perjumpaan kali pertama kami.
Di sebuah pojok di ruang kelas, ia tiba-tiba menghampiriku yang tak bisa membendung linangan air mata sebab merasa asing di antara orang-orang yang tahu tujuannya. Sedang aku? dipaksa untuk tersesat dan menerima segala titah yang orang tua inginkan.
“Aqeela, kan?” Begitu percakapan kami dimulai.
“Iya.”
“Aku melihatmu hanya diam ketika kelas berlangsung, bahkan aku sering melihatmu menangis di pojok kelas ini, ketika semua teman antusias untuk ke perpustakaan bersama-sama.”
“Karena aku salah tempat.”
“Tak ada yang salah dengan rencana Tuhan. Dinikmati saja. Insyaallah pasti ada jalan.”
“Kau tak mengerti?Sebab ini memang impianmu.”
“Sok tahu. Kau harus belajar mencintai apa yang ada saat ini, dan biarkan tangan Tuhan yang bekerja.”
“Aku seperti mendengar seorang motivator berbicara pada pesakitan.”
Lelaki itu tertawa dengan kerasnya.
“Anggap saja begitu. Kita dalam satu kapal yang sama. Kau boleh bertanya apa pun yang tak kau ketahui tentang dunia yang kau anggap baru ini. kau tahu namaku, kan?”
“Tidak.”
Kembali ia tertawa dan mendengkus kesal.
“Waduh, kurang ajar sekali, ada anak buah tidak tahu nama ketua kelasnya. Ya sudahlah ikhlas aku didholimi anak buah.”
Aku hanya terdiam sambil meliriknya. Ketika dia melihat jam tangan, seketika itu langsung pamit untuk makan siang dan berlalu dengan satu kalimat, “Panggil aku Kemal!”
“Qeel, cepetan makannya!Itu anak-anak sudah pada datang. Ojo ngelamun ae!.”Jentikan tangan Kemal membuyarkan lamunanku.
Beberapa teman langsung menyeruput kopi yang sudah di pesan. Gegas, kusingkirkan bungkus nasi bakar yang tinggal daunnya. Seringkali rapat memang dilakukan di café lesehan ini. Lebih santai, apalagi ditunjang dengan Wifi gratis. Tentu hal yang paling dicari anak kos.
“Oke kawan-kawan karena sudah kumpul semua, yang pertama kita bahas adalah tindak lanjut dari diskusi kita tiap minggu. Sebenarnya banyak usulan terkait kolaborasi kita dengan jurusan lain seperti diskusi kita tadi sore dengan anak-anak jurusan hadis.” Kemal memulai perbincangan dan meminta pendapat yang hadir.
Aku belum melihat sosok gadis cantik dan pintar itu datang. Padahal sebelumnya perempuan yang menjadi narasumber tadi sore itu antusias sekali.
Setelah dirasa tidak ada perwakilan dari jurusan hadis yang hadir, maka kami hanya membicarakan perihal diskusi untuk jurusan kami sendiri. Pembahasan pun tidak sampai di situ, ada yang perlu dipersiapkan terkait perwakilan dari kampus untuk mengikuti event yang diadakan forum mahasiswa tafsir dan hadis tingkat nasional. Walau tak banyak yang tahu, tapi kami mahasiswa tafsir maupun hadis ikut serta membantu pemerintah terutama untuk meng-counter segala bentuk radikalisme Islam.
Diskusi semakin seru. Sesekali tentu ada yang tanya pendapatku terutama perihal menagani mahasiswa yang kesasar di jurusan ini. sebagai organisasi intra kampus tentu semua golongan harus dirangkul tanpa terkecuali. Beberapa kopi dan tahu krispi juga telah dipesan kembali. Untuk hal ini, Kemal tak segan-segan merogoh uang jajannya. Itulah yang membuatnya banyak dicintai kaum hawa sekaligus kamu Adam. Jangan membayangkan cinta yang macem-macem ya! Suuzan nanti.
“Maaf ya, teman-teman, tadi tiba-tiba ada tamu yang tak bisa ditinggal jadi terlambat ke sini.”
Permintaan maaf Kamila tiba-tiba mengusik keceriaanku. Diskusi terus berlanjut dan semakin ramai dengan kehadiran sang ratu panggung. Sementara aku hanya bisa terdiam memperhatikan mereka berbicara.
Aku seperti asing di antara orang yang sedang berkumpul.
“Maaf teman-teman sepertinya aku harus pulang duluan.”
Kemal hanya berekspresi tak mengerti mengapa aku tiba-tiba undur diri. Teman-teman yang lain terpaksa mengiyakan setelah kuceritakan alasanku. Walau itu bohong.
“Wah, kau ini bikin diskusi terhenti saja Qeel.” Wajah Ilham mendadak kesal mendengarku yang tiba-tiba meminta izin.
“Maaf ya teman-teman. Silakan dilanjut diskusinya lagian ini sudah hampir jam 10 juga.” Tak ada pembicaaraan yang lain selain permohonan maaf.
Aku membereskan blocknote, pulpen dan telepon gengam kemudian memasukkannya di tas kecil yang terslempang di bahu.
“Biar kuantar pulang dulu Aqeela, mana kunci motormu, Ham!” Kemal langsung berdiri dari tempat duduknya ketika melihatku hendak pergi.
"Tak usah, biar aku pulang sendiri,” jawabku sedikit ragu.
“Sudah, tak usah menolak, tadi kamu ke sini bareng aku, sekarang pulang ya jangan sendiri, kalau ada yang menggoda, piye?” sahut Kemal dengan mengedipkan mata. Riuh suara teman-teman yang lain.
“Cie..cie..,” goda Ilham diikuti yang lain.
“Aku cemburu lho, Mal.” Kamila pun tak mau kalah.
Terdiam, kuikuti langkah Kemal menuju parkir motor. Dalam perjalanan tak banyak yang kami bicarakan. Sebenarnya lelaki ini pun tahu kalau aku punya jam malam yang tak bisa diganggu gugat. Beberapa teman yang protes dengan jam malamku juga akhirnya mengerti ketika sahabatku ini menjelaskannya.
Tak lupa kuucapkan terima kasih ketika hendak membuka gerbang kos yang menjulang itu.
“Kamu dari tadi sore kok uring-uringan terus si, Qeel?”
“Enggak kok, lagi males saja.”
“Kamu lagi PMS, ya?”
Apa? Aku hanya mendengkus kesal mendengar pertanyaannya.
Tamat.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN NAMA, ALAMAT, WAKTU, DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKTIF BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, VOTE JUGA BOLEH. TERIMA KASIH
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Nabila Ramadhan
What?? tamat?? gue kira bakal ada part 3nya Thor
2021-08-24
1
Dahlia Ibu Ibrahim
duuuuhh.. jd penasaran.. part 3 ny thor
2021-03-07
0
vhiit widianti s 💕
kalo yg ini d next eps pasti seru 😊
2021-03-05
0