SELAMAT MEMBACA 🙏🙏🙏🙏
Ibu masih cekatan membereskan isi lemari. Menata ulang baju-bajuku yang berserakan. Tak lupa memberi 'wejangan' agar aku lebih rajin sebab kini jauh dari keluarga. Di rumah, merapikan kamar adalah rutinitas akhir pekan kami. Kupikir itulah cara yang dilakukan agar bisa selalu dekat denganku.
Mendengarkan nasehat ibu, membuatku mengingat perdebatan kami satu tahun yang lalu.
“Kenapa tidak Kak Hisyam saja, Bu?”
“Karena Aqeela yang pinterngaji dan Kak Hisyam sekarang juga sudah bekerja.”
“Kan ada Kak Naina, anak Bibi yang juga sering bantu nenek ngajarngaji.”
“Justru itu kau harus pergi, Nak.”
“Bagaimana dengan impianku, Bu?”
“Maafkan Ibu, anggap saja Aqeela sedang membahagiakan ibu dan ayah.”
Entalah aku selalu menurut jika ibu sudah bicara seperti itu. Waktu itu yang terpikir olehku adalah tak ada yang benar-benar menyayangiku. Aku ini, kan, anak bontot , bukankah seharusnya lebih disayang, dituruti mau-ku.
Jika nenek memang sayang padaku, mengapa malah menjerumuskanku pada tempat yang tak pernah sama sekali kuinginkan? Dunia tafsir.
Bukankah nenek tau apa yang aku impikan? Walau nenek punya harapan yang lain untuk langgar keramatnya itu.
Sampai hari ini pun masih banyak pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya, kenapa ayah dan ibu begitu ngotot untuk mendaftarkanku di sini, hingga rela menjual beberapa perhiasan agar aku bisa masuk melalui jalur mandiri. Melihat kemampuanku, tentu jalur tes tidak memungkinkan. Kata Ibu, insayaallahal-Qur’an yang diajarkan nenek akan berguna, dan aku disuruh untuk percaya begitu saja.
“Nduk, seng pinter ya belajarnya, Ibu tidak bisa lama di sini, kasian kakakmu nunggu di luar”
“Sebenarnya aku ingin tanya hal penting, Bun. Terkait wasiat nenek.”
“Wes jangan pikirkan itu, Aqeela anak yang pintar, nenek pasti senang ada yang meneruskan perjuangannya.”
Seperti biasa kepulangan ibu tetap meninggalkan tanda tanya. Apa aku tak berhak tahu alasan yang akhirnya membawaku ke tempat ini. Di sini semua orang ‘gandrung’ membaca kitab yang tak memiliki harakat, kalau sekedar membaca al-Qur’an tentu aku tak kesulitan sebab dari kecil Nenek memang mengajariku di langgar depan rumah kami. Langar yang kini menjadi satu-satunya sebab aku harus membuang jauh-jauh segala ingin dan menunaikan kewajiban serta baktiku pada orang tua. Apa aku tak bisa memilih?
[Jangan lupa nanti sore jam 4, kita ada kajian di taman depan fakultas]
Pesan sahabatku-Kemal-membuyarkan lamunan. Saatnya bersiap-siap. Sekarang sudah jam tiga. Lelaki itu bisa marah besar kalau aku terlambat datang. Sebenarnya tanpa diingatkan pun, aku sudah membuat janji untuk berangkat bareng Tiwi.
Aku sudah mempelajari materi kajian hari ini. walau tak begitu mengerti, paling tidak ada yang bisa kutanyakan nanti. Aku sudah bosan menjadi pendengar setia di antara diskusi kawan-kawan sendiri.
Entalah, apa itu benar-benar alasan yang sesungguhnya, aku hanya tak ingin terlihat bodoh di hadapan Kemal, yang selama ini sudah banyak membantu.
“Berangkat, yuk! Kemal telefon melulu dari tadi. Jangan lupa ‘nyangking’ kamu katanya.” Seperti biasa Tiwi tiba-tiba muncul, maklum selain karena sudah biasa, kamarnya memang tepat di sebelah kamarku.
“Iya, sebentar.”
“Mana jajan dari bundaku?”
“Enak saja ngaku-ngaku bunda. Itu di bawah meja belajar. Ambil sendiri.” Tiwi sudah ‘nyomot’ sekantong peyek kacang sebelum aku menyelesaikan pembicaraanku.
Kami berangkat dengan berjalan, menelusuri gang kecil menuju taman fakultas kampus. Kosku memang tepat di belakang kampus, jadi sewaktu-waktu aku bisa pulang untuk istirahat maupun sholat sebelum akhirnya kembali lagi ke kampus.
“Kuperhatikan sekarang kamu semakin dekat dengan Kemal ya, Qeel?”
“Biasa saja.”
“Tapi beda lho, cara dia memberi perhatian padamu dan pada teman yang lain, walau sama-sama meminta bantuan.”
“Udah, ah. Jangan dibahas nanti jatuhnya jadi su’uzan!”
“Siap, Pren.”
Kedatangan kami sudah ditunggu beberapa teman yang hadir. Kali ini yang hadir tidak hanya dari prodi ilmu al-Qur’an dan tafsir, tetapi prodi sebelah juga datang. Ya, prodi ilmu hadis. Mampus aku! Padahal persiapanku dari tadi malam agar tidak terlihat cupu di antara teman prodiku sendiri. Lha ini malah ditambah jurusan yang lain. Bagaimana bisa aku memprediksi dan mengetahui kemampuan mereka. Sepertinya, lagi-lagi aku hanya akan menjadi pendengar yang baik hati dan neriman saja kali ini. huf!
Kuhirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Bismillah.
Kuikuti isyarat tangan Kemal agar duduk lebih dekat dengan narasumber, sementara ia menjadi moderator hari ini. Sebelum kajian dimulai, lelaki itu memberi penjelasan tentang materi yang akan dibahas pada diskusi kali ini, tak lupa ia memperkenalkan sang pemateri.
Tiwi bolak-balik bertanya dan terheran setelah tahu yang menjadi pemateri kali ini adalah sesosok cantik dan pintar dari prodi sebelah. Aku sengaja menyuruhnya diam, walau sebenarnya aku sudah tahu, sebab beberapa hari yang lalu ketika aku dan Kemal sedang berdiskusi, ia mengatakan kalau akan ada kejutan narasumber kali ini. aku cukup senang karena selama ini hanya orang-orang yang berkumis saja yang selalu mendominasi dengan spidol di tangannya.
Ada rasa takjub melihat sosok perempuan di depan yang membawakan materi dengan penuturan cukup baik, dan semua audien seperti terbius oleh keanggunan kata dan ketegasannya. Di sisi lain, ada perasaan berdesir di uluh hati. Entahlah, ada rasa perih dan ingin menangis ketika melihat Kemal tak berhenti berkedip dengan tatapan kekaguman pada wanita itu. Apa aku cemburu?
“Hei, kau mendengarkan materi atau hanya melihat Kemal saja?” tanya Tiwi menggoda.
“Cantik, ya?”
“Aqeela!” bentaknya dengan wajah penuh tanda tanya.
“Iya, Tiwi cerewet. Jangan bentak dong!”
“lha kamu ngelamun saja si.”
Kukatupkan jari telunjuk di bibir agar tiwi berhenti untuk ‘ngedumel’. Beberapa teman sudah mulai dengan tanya-jawabnya. Betul saja, situasi ini membuat aku ‘ngeblank’. Materi yang sengaja kuhafal tadi malam seperti menguap begitu saja. Ini untuk pertama kalinya aku ingin secepatnya pergi sekalipun di sini ada Kemal.
Diskusi kali ini ditutup dengan apik oleh narasumber dan moderator. Sementara beberapa teman pergi satu persatu dan yang lainnya masih sibuk dengan obrolan agenda kajian minggu depan. Kualihkan kegusaran dengan membuka layar gawai. Iseng membaca satu persatu status yang berseliweran.
“Aqeela, ya? Perkenalkan aku Kamila.” Tiba-tiba narasumber itu datang menghampiri. Ada perasaan seperti remahanrenginang. Aku remahan-nya, sedang dia renginangnya.
“Ya.”
“Kemal sering cerita tentang kamu.” Kulirik tajam Kemal yang tepat berada di sampingku.
“Tenang saja, ceritanya bagus-bagus kok.” Sahut Kemal yang merasa terintimidasi lirikanku.
Kamila sosok yang enak untuk diajak bicara. Ah, semakin merasa kayak upil saja diriku. Menjelang maghrib aku dan Tiwi pamit lebih dulu. Kutinggalkan Kemal yang masih serius berbicara dengan Kamila. Langkah kaki sengaja kuperlambat. Seperti ada hati yang tertinggal di taman fakultas itu. Rasa yang membuatku tak bertenaga untuk bicara walau hanya sepatah kata.
“Aqeela, tunggu!”
Suara itu mampu mengembalikan desir di hati sekaligus mengembangkan senyumku.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Nabila Ramadhan
next
2021-08-24
0
@✿€𝙈ᴀᴋ hiat dulu⦅🏚€ᵐᵃᵏ⦆🎯™
assalamu'alaikum
saya beri 5 like untuk 5 bab pertamar karyamu thor
like balik ya
mari kita saling mendukung selalu💖
2021-02-27
4