Sejuta Cerita
SELAMAT MEMBACA🙏🙏🙏
Dini hari, pukul 01.00 WIB, tiba-tiba aku terbangun setelah merasakan tenggorokan kering luar biasa. Biasanya kalau terbangun malam, aku selalu mendapati Mas Harun di sampingku. Kadang, ia berada di ruang tengah, “melekan”, menggantikanku untuk menjaga bayi kami yang baru berusia tiga bulan.
“Nda juga rindu padamu, Dek. Pertemuan terakhir kita membuat Nda terbayang-bayang terus…” Mas Harun terus saja enjoy dengan obrolan di gawainya. Dia tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraannya.
Samar-samar terdengar suara Mas Harun, tapi tak kulihat sosoknya. Mata ini mencari di ruang tamu juga depan rumah, tapi tak ada. Suara semakin jelas ketika aku pergi ke dapur, tapi tetap saja tak kutemukan dirinya. Pintu belakang yang terbuka, menyadarkanku kalau ia berada di taman belakang rumah. Tadinya, aku akan mengagetkan sambil memeluknya dari belakang. Aku menghentikan langkah kaki, ketika mendengarnya bercanda mesra. Ia memanggilnya adek seperti ia memanggilku, bahkan Mas Harun memanggil namanya sendiri dengan ‘Nda’ sebagaimana aku biasa memanggilnya.
Aku ingin teriak, tapi tubuh ini terasa tak bertenaga lagi. Meski sakit menghujam hati. Aku kuatkan untuk menikmati suara sepasang kekasih yang lagi dimabuk cinta. Aku ingin melihat reaksi Mas Harun setelah ia melihatku di sini. Apa lagi yang ia akan katakan.
“Sudah ya Dek, besok Nda sambung lagi, Nda sayang sama Adek. Bobok yang nyenyak ya. Love you.” Mas Harun mengakhiri panggilan teleponnya.
"Dek…!?”Mas Harun kaget mendapatiku duduk lunglai tak berdaya, tepat tujuh langkah di belakangnya.
“Siapa lagi ini Nda?” selidikku sambil menarik-narik lengan bajunya.
Tak menjawab pertanyaanku, justru Mas Harun bertanya balik padaku, “Sejak kapan Adek disini?”
“Sejak kau katakan kalau kau menikmati pertemuan kalian. Kau…” Tangisku pecah seketika.Rasanya tak sanggup mengulang kalimat yang diucapkan Mas Harun pada wanita itu. “Tega sekali kau, Nda.Ternyata bukan hanya aku yang memanggil Nda padamu. Bahkan kau obral kata-kata cintamu itu dengan murahnya. Teganya, kau, Nda…?!” cerocosku tanpa henti sambil menangis dan memukul-mukul tubuhnya. Terdiam dan hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya.
“Siapa dia, Nda?” desakku masih emosi. “Siapa Nda?”
Lama sekali Mas Harun menjawab pertanyaanku. Aku terus saja mendesaknya. Lamat terdengar lirihnya, “Dia orang yang sama Dek. Yang pernah datang dalam hubungan kita dulu.”
Bak disambar petir dan dicabik hati ini, untuk kesekian kalinya ia mengkhianatiku. Baru tiga bulan yang lalu aku melahirkan buah cinta kami, Aisyah, dan tanpa perasaan ia menduakanku. “Dinar…?” Anggukannya membuatku semakin histeris. “Bukankah dinar sudah bersuami Nda? Apalagi ini, Nda?” tanyaku bertubi-tubi tanpa memedulikan usahanya untuk menenangkanku.
“Apa aku punya salah, Nda? Apa aku tak lagi menarik bagimu, Nda?”
"Tidak Dek. Aku yang tak bisa mengendalikan perasaanku. Aku menyayangimu tapi aku juga tak bisa melihat Dinar sedih, Dek.” Aku hanya mendelik mendengar kilahnya.
Pantas saja, akhir-akhir ini ia selalu bersenandung lagu Dewa ‘Aku Cinta Kau dan Dia’. Tak henti memandangi layar gawai dan senyum-senyum sendiri.
Mas Harun terus saja tertunduk. Melayang-layang, teringat beberapa tahun silam. Sewaktu masih bertunangan, Dinar sudah pernah menjadi orang ketiga dalam hubungan kami. Rencana pernikahan nyaris batal. Jika bukan karena ibu mertua yang sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, rasanya tak ada alasan bagiku untuk meneruskannya. Setelah menikah, Dinar sempat datang ke rumah meminta maaf sekaligus memberikan kabar gembira kalau ia juga akan menikah. Nyatanya, kejadian yang dulu, kini terulang kembali. Wanita itu seperti terobsesi dengan lelakiku.
Setelah kupaksa, akhirnya Mas Harun cerita semuanya. Sebulan yang lalu, tiba-tiba Dinar datang ke tempat kerjanya. Dinar mengaku kalau suaminya ringan tangan. Sebagai lelaki, tentu saja ada iba pada kondisi Dinar. Hampir tiga hari sekali Dinar mendatangi Mas Harun di kantornya. Rasa yang dulu belum selesai akhirnya muncul kembali. Perasaan iba itu akhirnya berubah menjadi kasihan kemudian sayang, dan berakhir di ranjang.
Sempat ingin melabrak Dinar, tapi harga diriku lebih berharga. Tak ingin Dinar semakin besar hati, maka kuurungkan niatku. Mas Harun tak henti-hentinya memohon maaf. Ia menyayangiku tapi tak bisa menolak kehadiran Dinar yang butuh pertolongan. Waktu kukatakan, “Kau begitu peduli pada nasib istri orang lain Nda, hingga lupa telah menyakiti istrimu sendiri. Seandainya aku disakiti olehmu, relakah engkau, Nda, jika aku melampiaskannya pada lelaki lain?” Mas Harun menggeleng sambil berucap lirih, “Tentu aku tak rela Dek.”
Sementara aku masih sesenggukan, Mas Harun hanya terdiam sambil merangkul dan tak henti mengecup keningku. Aku mati rasa. Kecupan Mas Harun kini tak lagi membuatku bahagia tetapi semakin perih. Membayangkan bagaimana Mas Harun kala bersama Dinar membuat luka semakin menganga. Tangan yang merangkulku, ternyata juga merangkul perempuan lain. Tuhan, maafkan aku jika aku tak bisa berbagi apalagi wanita itu juga istri orang lain. Bejat sekali perbuatan Mas Harun. Kepalaku terasa berat. Tangis Aisyah memberiku alasan untuk melepas rangkulan Mas Harun. Kukeloni Aisyah sambil menangis hingga subuh menjelang.
*****
Menu sarapan sudah tersedia di meja makan. Mas Harun juga menyiapkan beberapa keperluan mandi Aisyah. Melihat Mas Harun yang perhatian seperti ini. Rasanya tak bisa dipercaya kalau ia bisa menghadirkan wanita lain di tengah-tengah keluarga kami. Ah, bodohnya aku. Aku seperti menjadi bahan lelucon dua orang, Mas Harun dan Dinar. Shit!
“Sarapan yuk, Dek. Ada sambel goreng ati kesukaanmu,” bujuk Mas Harun dengan senyum manis yang sekarang terasa hambar bagiku. “Oya, nanti Ibu mau datang ke sini, katanya kangen sama kamu dan Aisyah.”
Aku hanya terdiam. Sering kali memang seperti ini.Setiap aku dan Mas Harun ada masalah. Suamiku itu selalu memanggil ibunya untuk datang kemari. Ia tahu kelemahanku ada pada ibunya. Aku takakan pernah bisa menyakiti hati ibu. Ibu bahkan lebih sayang padaku daripada anaknya sendiri, Mas Harun.
Mas Harun sudah berada di kantor, ketika ibu datang. Banyak oleh-oleh yang dibawanya. Ibu cerita banyak hal, ia senang sekali ketika tadi subuh Mas Harun menghubungi dan menyuruhnya ke sini. Aku tahu, Ibu mengerti kalau aku dan Mas Harun sedang ada masalah, tapi Ibu pura-pura bahagia untuk menutupi kekhawatirannya. Duh, Mas Harun jahat. Aku yakin, Mas Harun akan membuat banyak taktik agar aku mau memaafkan kesalahannya, bahkan ibunya pun dijadikan senjata. Kurang ajar kau Mas!
“Seandainya suatu saat aku bukan menantu Ibu lagi. Apa Ibu akan tetap menyayangiku?” dengan hati-hati kubuka perbincangan.
“Ih, jangan ngomong begitu toh, Nduk, tidak baik. Kalau Harun punya salah dimaafkan ya, Nduk. Anakku itu biar tak jewer, kalau perlu biar aku pukuli.”
“Ah, janganlah Bu. Kasihan…” Aku pura-pura terkekeh.
“ Setiap rumah tangga itu pasti ada masalahnya, Nduk. Entah itu karena masalah ekonomi, suami yang nakal atau yang lainnya. Harus legowo dan punya stok maaf yang banyak, ya! Kamu harus kuat agar kebahagian datang…” wejangan Ibu yang membuat hatiku tentram dan lebih legowo.
Aku dan Ibu ngomong ‘ngarol-ngidul’. Ibu berniat membawa Aisyah malam ini. Ibu menyiapkan berbagai hal keperluan Aisyah di Sana. Katanya, biar aku bisa bulan madu lagi dengan Mas Harun, dan yang terpenting menyelesaikan masalah kami berdua.
Menjelang sore, Mas Harun pulang. Ibu juga akhirnya pamit untuk pulang. Sementara Mas Harun pergi mengantar Ibu. Aku di rumah menyiapkan kejutan untuknya.
Aku masak makanan kesukaan Mas Harun. Aku ganti korden ruang tengah dengan motif bunga-bunga yang indah. Kupetik setangkai mawar yang ada di halaman depan rumah, dan kutaruh di meja makan. Tak lupa kusiapkan lilin-lilin. Candle light dinner kali ini harus selalu diingat Mas Harun.
Kusambut Mas Harun yang datang dengan senyum termanis. Tak lupa kukenakan gaun malam andalan. Senyum Mas Harun tanpa semringah. Ia lega melihat aku yang sudah bisa legowo dan memaafkannya. Setelah makan malam, kami beranjak ke taman belakang menikmati pesta sambil mendengarkan lagu, ‘Endless Love”.
Ketika kami duduk bersanding. Mas Harun merangkul dan mengecup keningku. “Terima kasih ya Dek sudah mau memaafkan kesalahanku,” bisiknya.
“Tentu saja, Nda. Aku mencintaimu maka aku harus mau menerima segala salahmu.” Senyum pria ini semakin mengembang. “Tapi…Nda, aku memang mencintaimu tapi aku tak bisa lagi hidup dalam cintamu, maka sebaiknya kita bercerai saja.”
I love you, but I don’t Wanna be With You, Nda. Kulangkahkan kaki meninggalkan Mas Harun yang masih terpaku dan tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
Aku memang mencintai Mas Harun, tapi untuk berada dalam cinta Mas Harun sepertinya berat untukku. Ia seperti tak belajar atas kesalahan yang diperbuat. Lelaki itu harus belajar menghargai wanitanya, biarlah perpisahan ini menjadi efek jera baginya, bahwa mencintai butuh kesetiaan.
Ruang Hampa, 12 Februari 2020
TAMAT.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN DALAM PENULISAN SEPERTI NAMA, ALAMAT, WAKTU DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKSI BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, KASIH VOTE JUGA BOLEH. TERIAMA KASIH
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-04-08
0
Nabila Ramadhan
Wow baru nemu novel berbagai genre di satuin 😍😍😍😍
2021-08-24
0
Nunung Nuraini
Keren abis cerita nya,,,,😍😍😍
2021-02-27
0