Dalam Dekapannya
Menatap ke luar jendela kamarnya Ghina Aditya Wijaya masih belum juga tidur meskipun waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Matanya belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengantuk hingga akhirnya dia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya dan membuka sedikit gorden di kamarnya.
Meskipun semua sudah berlalu malam mengerikan itu masih sering menghantui Ghina, dia kerap kali bermimpi buruk dan mengingat semuamya lagi. Sebesar apapun keinginannya untuk melupakan kejadian itu tetap saja ketika Ghina sedang sendirian kenangan itu datang lagi dan lagi, mengurungnya dalam perasaan benci pada dirinya sendiri.
Rasanya dia ingin tertawa miris mengingat betapa dia selalu membela Alden dihadapan Kakaknya dan mengatakan bahwa pria itu adalah pria yang baik. Sejak dia dan Alden menjalin kasih Gibran tidak pernah setuju Kakaknya itu selalu marah sambil mengatakan bahwa Alden bukan pria yang baik.
'Kalau dia pria baik-baik dia tidak akan mengajak kamu keluar sampai tengah malam begitu Ghina!'
Memang ketika mereka berpacaran Alden sering sekali mengajak Ghina keluar hingga larut malam bahkan pernah sampai jam tiga dan ketika pulang Ghina dimarahi habis-habisan, tapi entah kenapa dia tidak pernah kapok. Rasa cintanya sudah membuat dia buta dan mengabaikan perkataan orang-orang disekitarnya.
'Alden lepasin! Lepas kamu mau apa Alden aku gak mau! Aku mau pulang!'
Ghina masih sangat ingat teriakannya pada Alden agar pria itu melepaskan dan membiarkan dia pulang, tapi yang Alden lakukan malah menghempas tubuhnya ke atas ranjang.
'Alden enggak jangan... jangan aku gak mau... lepasin aku brengsek!'
'Diamlah Ghina!'
Dia juga masih ingat isak tangisnya yang malah dibalas Alden dengan bentakan bahkan pukulan.
'Lepasin brengsek! Aku bilang lepas!'
Ghina terus memberontak, tapi Alden sama sekali tidak peduli dia mengabaikan isak tangis Ghina hingga teriakan kesakitannya.
'Alden sakit... sakit udah Alden lepasin... akhh sakitt'
Ghina terus menangis dengan tangan yang mencengkram kuat seprai, dia menangis dan merasa jijik dengan dirinya sendiri.
'Aku benci kamu akhh... Alden aku benci kamu...'
Mata Ghina terpejam ketika ingatan itu datang bahkan nafasnya kian memburu bersamaan tubuhnya yang luruh ke bawah. Tangannya menyentuh dinginnya lantai Ghina merasa dadanya sesak dan mendadak dia ingin menangis.
Tak butuh waktu lama bagi Ghina untuk kembali mengeluarkan air mata bahkan dia sudah terisak dengan tangan yang menutup mulutnya sendiri untuk meredam isak tangisnya.
'Ghina kita akhiri saja semuanya orang tuaku sudah mengatur pertunangan untukku'
Isak tangis Ghina terdengar begitu pilu ketika dia mengingat perkataan Alden tiga hari setelah pria itu menghilang tanpa kabar dan tidak datang ke rumahnya seperti yang Gibran minta.
"Kamu jahat Alden.. kamu jahat..."
Ghina menjambak pelan rambutnya karena merasa dadanya yang kian sesak, dia sangat benci ketika tidak bisa tidur dan mengingat hal-hal itu kembali.
"Alden... kenapa? Kenapa kamu... ngelakuin ini sama aku?" Isak Ghina
Dengan nafas memburu Ghina menghapus kasar air matanya lalu berjalan ke arah ranjang dan mengambil ponselnya yang ada di bawah bantal. Perlahan Ghina membuka ponselnya lalu menggenggam kuat benda itu di tangannya dan membuka aplikasi chat miliknya.
Meskipun sudah satu bulan berlalu Ghina tidak pernah menghapus semua percakapannya dengan Alden di ponselnya bahkan bodohnya Ghina masih sering membacanya lalu menangis sendiri.
Seperti sekarang tangan Ghina terus bergerak ke bawah setelah dia membaca pesannya bersama Alden dua bulan yang lalu, masih terlihat layaknya seorang kekasih.
Sayang nanti malam mau ikut kan?
Kita kumpul sama yang lainnya, mau ya? Nanti aku jemput
Aku gak mau ikut kalau gak ada kamu
^^^Ih mager tau Alden^^^
^^^Kamu aja ya? Aku gak mau ikut males^^^
Ah yaudah aku juga gak mau ikut
^^^Loh kok gitu?^^^
Aku gak bisa kalau gak ada kamu sayang
^^^Gombal^^^
Ya ampun beneran aku gak bisa kalau gak ada kamu
Pokoknya hidup aku itu udah dipenuhin sama kamu
Jadi, semua haru sama kamu dan harus ada kamu
^^^Nanti kamu ninggalin aku :"^^^
Mana mungkin Ghina aku bisa mati nanti
Ghina tertawa membaca kata-kata itu bodoh sekali dia bisa percaya.
Dia akan mati?
Bukan mati bahkan Alden sudah memiliki seseorang dalam waktu singkat dan akan bertunangan dengannya.
Aku minta maaf soal orang tua aku, tapi jangan khawatir aku janji bakal yakinin mereka
Kamu tenang aja aku cuman milik kamu dan kamu cuman milik aku
Jangan pernah pergi ninggalin aku Ghina
Alden benar Ghina tidak pernah sekalipun pergi meninggalkannya, tapi pria itu sendiri yang meninggalkan bahkan membuang layaknya sampah.
"Alden kenapa sulit sekali membenci kamu?" Tanya Ghina pelan
Mengusap kasar wajahnya Ghina mematikan ponselnya lalu berbaring sambil menatap kosong ke depan. Semuanya sudah berakhir hubungan yang Ghina anggap akan sampai ke pernikahan nyatanya malah berakhir mengenaskan.
Seseorang yang dia anggap akan menjaganya justru malah menorehkan luka yang begitu besar untuknya. Seseorang yang selalu meminta Ghina untuk tetap tinggal kini malah berjalan menjauh dan meninggalkannya.
"It's okay Ghina semua akan berlalu, kamu pasti bisa melalui ini semua semangat ya? Di depan sana ada banyak kebaikan yang menunggu kamu"
Ghina mengatakan hal itu dengan sangat pelan lalu tersenyum dan perlahan memejamkan matanya.
Untuk seseorang yang sudah menorehkan luka terima kasih banyak sudah membuat aku menjadi pribadi yang lebih kuat.
Badai akan berlalu dan pelangi akan datang menghiasi hari-harimu.
Ghina pernah membaca sesuatu di sosial medinya dan ternyata hal itu berhasil menguatkannya.
Don't lose hope please believe that there are many beautiful things waiting for you. Sunshine come to all who feel rain.
Ya, Ghina tidak akan pernah berhenti berharap.
¤¤¤
Tersenyum manis sambil menatap pantulan dirinya di cermin Ghina sudah siap untuk memulai pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan teman Papa nya dan sekarang hari pertamanya berkerja. Saat ini Ghina memakai kemeja putih serta rok selutut dan sepatu yang tidak terlalu tinggi rambut panjangnya dia biarkan tergerai.
Memakai make up tipis di wajahnya Ghina merasa kalau penampilannya sudah cukup baik bahkan nyaris sempurna, untuknya. Menghela nafasnya panjang Ghina menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu berjalan keluar kamar dan menemui orang tuanya di bawah.
Mereka tidak pernah tau kalau Ghina selalu mengalami kesulitan untuk tidur dan Ghina juga tidak pernah bilang karena menurutnya semua itu akan hilang sendiri nantinya. Sampai di bawah Ghina menyapa orang tuanya dengan senyuman agar keduanya tidak mencemaskan keadaannya lagi.
"Sudah siap sayang?" Tanya Farhan pada anak perempuannya
Ghina tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Sudah Pa dan aku sangat gugup sekarang." Kata Ghina
"Kenapa gugup?" Tanya Dara sambil mengusap kepala anaknya yang sekarang duduk disampingnya
"Hmm karena ini hari pertama Ghina kerja, apa Uncle Liam itu galak sama pegawainya Pa?" Tanya Ghina
"Tidak Ghina dia baik." Kekeh Farhan
Sayangnya bukan Liam yang nanti akan anaknya temui, tapu Louis dan dia harap keduanya bisa berhubungan baik.
Ghina tersenyum dan mengangguk faham lalu menatap makanan di depannya dengan mata berbinar.
"Aaa Mama masak udang." Kata Ghina senang
Dengan penuh semangat Ghina mengambil makanan yang ada di meja membuat kedua orang tuanya tersenyum melihatnya. Setidaknya dengan Ghina yang baik-baik saja membuat mereka sedikit lega dan tidak cemas lagi.
"Mau Mama bawakan bekal sayang?" Tanya Dara
"Hmm boleh itu bakal menghemat uang Ghina." Kata Ghina
"Nanti Mama siapkan ya?" Kata Dara yang dijawab dengan anggukan oleh Ghina
Setelah itu mereka menyantap sarapan dalam diam hingga dua puluh menit setelahnya Ghina menyelesaikan sarapannya dan pamit untuk berangkat lebih dulu. Hari ini dia akan naik taxi dan menolak tawaran Papa nya untuk mengantar atau mengizinkan Ghina membawa mobil sendiri.
Dia akan bersikap layaknya pegawai biasa mungkin nanti dia akan membawa mobil sendiri, tapi untuk sekarang dia akan naik taxi saja.
"Ghina berangkat Ma Pa." Kata Ghina sambil mencium pipi keduanya bergantian
"Hati-hati sayang." Kata Dara
"Hm makasih bekalnya Ma." Kata Ghina
Dara tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya.
Setelah berpamitan Ghina keluar rumah dan masuk ke dalam taxi yang sebelumnya sudah dia pesan. Selama perjalanan Ghina terlihat sangat gugup bahkan sejak tadi dia terus menautkan jari-jari tangannya.
Saat sampai Ghina langsung membayar lalu turun dari mobil dan menatap gedung perusahaan itu dengan senyuman. Menghela nafasnya panjang Ghina mulai melangkahkan kakinya ke dalam.
'Baiklah Ghina mari kita mulai semuanya dari awal'
Tidak tau dimana letak ruangannya Ghina lebih dulu bertanya pada pegawai disana.
"Maaf, saya boleh tanya sesuatu." Kata Ghina
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu dengan ramah
"Em dimana letak ruangan Pak Liam?" Tanya Ghina
"Mohon maaf sebelumnya, apa anda sudah buat janji lebih dulu?" Tanya wanita itu lagi
"Ah aku sekretaris barunya Ghina dan ini hari pertama aku bekerja." Kata Ghina
"Iya Ghina tadi Pak Liam sudah mengatakannya kalau gitu ruangannya ada di lantai sepuluh sebelah kiri dari lift." Kata wanita lagi
Ghina tersenyum sambil menundukkan kepalanya lalu mengucapkan terima kasih dan melangkahkan kakinya menuju lift. Menekan angka sepuluh Ghina menunggu hingga akhirnya lift berhenti tepat di lantai sepuluh.
Mengedarkan pandangannya Ghina menoleh ke kiri dan melihat satu-satunta pintu yang ada disana. Tersenyum manis Ghina melangkahkan kakinya mendekat lalu menatap pintu itu cukup lama dan mengetuk pintunya sebelum masuk.
Seorang pria sedang duduk sambil memegang berkas yang menutupi wajahnya dan mendadak Ghina kembali gugup, dia harus apa?
Baru akan bicara pria itu sudah lebih dulu menurunkan berkasnya lalu menatap Ghina dan mengeluarkan suaranya.
"Ghina?"
"Iya Pak saya Ghina." Kata Ghina gugup
Pria itu beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan mendekat membuat Ghina semakin gugup dibuatnya.
Kenapa bukan Uncle Liam?
"Louis"
Ghina mengerjapkan matanya berkali-kali ketika pria itu mengulurkan tangannya, tapi pada akhirnya tetap menjabat tangannya.
"Ghina"
"Daddy sudah mengatakan kalau hari ini akan ada sekretaris baru dan namanya Ghina." Kata Louis
"Ah iya Pak." Kata Ghina
Jadi, pria itu adalah anak dari Liam.
Louis terlihat begitu tampan dengan wajahnya yang lebih terlihat seperti orang dari barat dan bukan asia, tapi dia sangat mirip dengan paman Liam kalau diperhatikan.
Satu lagi pria itu juga sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari Kakaknya.
"Berapa tinggi kamu?" Tanya Ghina spontan
"Apa?"
Mata Ghina membulat ketika sadar apa yang baru saja dia katakan lalu dengan cepat Ghina menggelengkan kepalanya sambil menunduk.
"Tidak tidak maaf saya hanya salah bicara." Kata Ghina
Melihat hal itu Louis justru tertawa dan menjawab pertanyaan yang sekretarisnya itu ajukan.
"180"
Ghina menatapnya dengan takjub lalu kembali menggelengkan kepalanya.
"Baiklah sudah cukup perkenalannya." Kata Louis
Berjalan ke arah meja Louis mengambil salah satu buku lalu menyerahkannya pada Ghina.
"Ini jadwalku baca dan perhatikan baik-baik setelahnya kamu catat semua jadwalku untuk besok, mulai dari meeting hingga pertemuan dengan client atur semuanya dan tanyakan dulu padaku sebelum memutuskan jamnya." Kata Louis
Dengan penuh semangat Ghina menganggukkan kepalanya.
"Siap Pak!"
Louis tersenyum dia berbalik dan kembali ke tempat duduknya sambil menunjukkan tempat Ghina bekerja.
Wanita itu terlihat lucu dimatanya.
Bagaimana bisa ada pria yang menyakitinya?
¤¤¤
Yesss akhirynya aku update juga cerita Ghinaaaa💞
Tim Alden atau Tim Louis???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Chybie Abi MoetZiy
💞💞💞💞😅
2021-11-18
1
𝓐𝔂⃝❥🍁●⑅⃝ᷟ◌ͩṠᷦụᷴfᷞi ⍣⃝కꫝ🎸❣️
tim louis la thor 🥰🥰 ngapain tim jantan pencundang itu ngak level 🤣🤭
2021-07-29
0
Risa Istifa
aq team louis aja deh ...
2021-07-13
0