Sudah cukup lama kami berusaha membuat Tari tersadar. Namun belum ada tanda-tanda ia akan sadar. Aku masih saja mengoleskan minyak kayu putih ke area hidung, kaki dan juga kepala berharap Tari cepat sadar. Sedangkan Robby bersama Tomy dibantu beberapa pendaki lainnya mencari keberadaan Lukman.
Suara panggilan untuk Lukman terdengar sahut menyahut. Namun yang dipanggil tak sedikitpun menampakkan batang hidungnya.
"Keterlaluan sekali. Kalau sampai kejadian naas menimpa kita semua hanya gara-gara perbuatan Lukman dan Tari, aku gak akan pernah memaafkan mereka." batinku kesal sambil terus menggosok tubuh Tari dengan minyak angin.
"Eh, kenapa nih kok ramai-ramai?" tiba-tiba saja Lukman muncul dari balik semak. Robby yang melihat langsung saja mendekat dan mulai mengintrogasi Lukman.
"Dari mana saja kamu, Man?" tanya Robby terlihat geram.
"Aku ... aku baru saja buang hajat disana." jawab Lukman sedikit terbata.
"Terus dari tadi kami panggil - panggil kenapa gak nyahut?" Robby tampak kesal dengan mimik muka Lukman yang seolah tak berdosa.
"Aku gak dengar. Suueerrr ... " ucap Lukman sambil menunjukkan dua jari membentuk huruf v.
"Eh ini Tari kenapa?" tiba-tiba Lukman mendekat dan meraih tangan Tari. Aku diam saja yak menjawab pertanyaan Lukman.
"Ada yang aneh." gumamku.
Tiba-tiba saja tubuh Tari kejang. Entah apa yang terjadi, kami semua kebingungan dibuatnya.
"Robby, tolongin Tari." ucapku bingung. Dalam waktu sekejap kemah kami dipenuhi oleh para pendaki lainnya. Ada yang sekedar ingin melihat karena penasaran, ada juga yang ingin berusaha menolong.
"Ada yang mengikuti temanmu." ucap salah seorang pendaki tiba-tiba membuat kami semua tercengang.
"Mak ... maksudnya?" tanyaku kebingungan.
"Dia sepertinya di ikuti oleh mahkluk penunggu sini. Ada yang tak suka temanmu berada disini. Kemungkinan temanmu sudah mengganggu mereka sehingga mereka terusik dan mencoba membalas." ucap pemuda itu tiba-tiba. Aku menoleh ke arah Tari yang masih berada di dekapan Lukman.
"Lukman ... " panggilku dengan wajah memerah.
"Kamu kenapa, Jen?" bukannya menjawab panggilanku ia malah menanyaiku balik.
"Tak usah kamu pura-pura gak tau. Ini semua perbuatan kalian berdua kan?" tanyaku geram.
"Apa maksudmu, Jen?" Robby mendekatiku dan mengelus lembut bahu ku.
"Aaaarrrkkkhhh ... " aku tak mampu melanjutkan ucapanku. Tangis ku pecah. Aku berlari dan lebih memilih untuk masuk ke dalam tenda dan menangis sepuasnya. Apa aku terlalu jahat kalau harus mengungkap perbuatan mereka berdua? Aku tak tega kalau Tari dan Lukman akhirnya harus di hakimi karena perbuatan mereka. Namun aku sendiri juga tak mau kalau aku dan teman-teman lainnya yang tak tahu menahu akan ikut menerima imbas dari perbuatan mereka.
"Jen." tiba-tiba Robby sudah berada di belakangku. Aku hanya menoleh namun tak ada sepatah katapun yang mampu aku ucapkan pada Robby. Ku peluk tubuh Robby dan tangis ku semakin pecah.
Robby tak mengucapkan sepatah kata apapun. Dia hanya diam membalas pelukanku dan membiarkanku mengeluarkan segala beban yang ada di hati.
"Ada apa sebenarnya, Jen?" tanya Robby saat keadaanku sudah mulai tenang. Aku hanya menggeleng. Aku tak tahu harus mengatakannya atau tidak. Aku takut semua akan kacau.
"Bagaimana dengan Tari?" tanyaku kemudian.
"Sudah sadar. Tadi di bantu oleh salah seorang pendaki. Benar, Tari kerasukan." ucap Robby membuatku tercengang. Aku bergegas ingin beranjak keluar namun di cegah oleh Robby.
"Kamu istirahat saja, Jen. Sepertinya keadaanmu kurang baik." ucap Robby.
"Aku baik-baik saja, Rob." ku tepis perlahan tangan Robby.
Aku pun beranjak keluar. Ku dapati Tari terduduk lemas sambil memegang sebuah cangkir. Di sebelahnya ada Lukman dan Tommy serta beberapa pendaki lainnya yang masih turut bergabung setelah kejadian tadi.
"Jen ... " panggil Lukman. Aku tak menjawab. Hanya ku lirik sekilas saja dirinya yang hendak beranjak mendekatiku.
"Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanyaku pada Tari.
"Sudah, Jen. Makasih ya, kata Tomy tadi kamu dengan sabar merawat ku saat aku tak sadar. Maaf sudah membuatmu repot." ucap Tari sambil tersenyum. Wajahnya masih terlihat sangat pucat. Aku tak menjawab. Hanya senyum tipis yang ku berikan pada Tari. Pikiranku masih berkecamuk tentang kejadian aneh yang menimpa kami dari kemarin kami tiba di wilayah ini. Aku sebenarnya tak ingin menyalahkan Tari atau Lukman bahkan siapapun atas kejadian aneh yang menimpa kami. Hanya saja semua ini benar-benar masuk akal dengan apa yang ibu penunggu penginapan bicarakan.
"Ayok kita istirahat di dalam saja." ajak ku pada Tari yang di ikuti anggukan kepalanya. Perlahan aku memapah tubuh Tari, sepertinya dia kelelahan.
"Tidurlah, Tar. Biar aku jaga-jaga disini." pintaku pada Tari yang masih terlihat sangat pucat.
"Kamu pasti juga lelah, Jen. Tidurlah. Biar kita-kita saja yang jaga." ucap Robby yang menyelipkan kepalanya kedalam tenda kami.
Mataku tak dapat terpejam. Pikiranku melayang entah kemana. Masih terekam jelas di benakku kejadian kemarin malam antara Tari dan Lukman. Aku berjanji akan membunuh perasaanku pada Lukman. Setidaknya Tari harus ada yang bertanggung jawab dan Lukman harus mau menikahinya. Biar bagaimanapun dia yang telah merusak masa depan Tari sahabatku.
"Jen, apa kamu tidur?" perlahan Tari memegang tanganku. Aku pura-pura terpejam. Aku sedang tak ingin membahas apapun dengannya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Namun aku belum siap mendengar pengakuannya.
Mataku terbuka tiba-tiba. Samar-samar terdengar alunan musik gamelan yang beriringan. Aku berusaha memperjelas pendengaran berharap semua itu hanya halusinasi ku semata. Suara gamelan terdengar semakin jelas.
"Tunggu, kemana mereka yang katanya mau berjaga-jaga diluar?" batinku.
Perlahan kusibak tenda. Sepi, tak ada siapapun diluar sana. Entah mengapa aku merasakan suasana menjadi semakin mencekam. Sepi sekali, bahkan api unggun sudah lama padam sepertinya. Padahal tadi saat kami terjaga itu sudah larut malam. Ku lihat angka jarum jam di pergelangan tanganku. Mati.
"Sejak kapan jam tangan yang ku pakai ini mati?" aku masih menggumam sendirian. Ku lirik ke arah Tari. Ku lihat dia masih terlelap terbuai dalam mimpinya. Perlahan ku buka tenda dan memberanikan mengeluarkan kepalaku untuk melihat sekitar. Suara gamelan sudah tak terdengar lagi. Perlahan aku beranjak keluar untuk melihat sekitar. Aku membawa sebuah senter kecil untuk berjaga-jaga dan melihat kalau saja ada binatang melata yang tiba-tiba merayap.
"Jen ... Jena ... " terdengar suara memanggil namaku. Langkahku terhenti. Bulu kudukku terasa berdiri, kaki ku kaku tak dapat melangkah lagi. Aku merasakan ada seseorang di belakangku.
"Siapa itu?" aku menoleh kebelakang, namun nihil. Tak ada siapapun disana.
Puuukk ...
Aku berjingkat saat merasakan sebuah tepukan di pundak dari belakang. Perlahan aku kembali menoleh ke arah tepukan tadi.
"Aaarrrkkkhhh ... " pekikku saat Lukman berdiri tepat di belakangku dan menepuk pundak dengan tangannya.
"Mana Robby dan Tomy?" tanyaku ketus.
"Maaf, Jen. Aku menginginkanmu." ucap Lukman dengan suara perlahan. Bahkan nada bicaranya sangat menjijikkan untuk di dengar.
"Mana mereka berdua?" aku mengulangi pertanyaan ku. Kali ini dengan suara agak keras.
"We...we...we... tenang, Jen. Jangan berisik. Nanti suaramu membangunkan mereka." bujuk Lukman sambil meraih tanganku.
"Cih." aku menepis tangannya dan memilih untuk kembali ke dalam tenda. Namun tiba-tiba saja aku terjatuh karena kaki ku tersandung sesuatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
alena
🤗
2022-07-16
0