Tanganku mencoba menggapai selimut yang tadinya menutupi tubuhku kini berpindah entah mengapa. Dengan mata yang masih terpejam tanganku meraba-raba sekitar berusaha untuk menemukan selimut yang tadi telah ku kenakan. Aku enggan membuka mata, karena sudah menjadi kebiasaan kalau mata sudah terbuka pasti akan sulit lagi untuk di pejamkan.
"Nah ini dia."gumamku dalam hati setelah menarik selimut di sampingku.
"Tunggu, kemana Tari?"pikirku karena aku tak mendapati tubuh Tari di sebelahku saat aku meraba mencari selimut. Seketika kubuka kedua mata dan ku edarkan pandangan ke sekitar. Tak ada tanda-tanda Tari berada di dalam kamar.
Tok ... tok ... tok ...
"Tari, apa kamu di dalam?"tanyaku perlahan sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Perlahan ku tekan engsel pintu untuk membuka pintu kamar mandi. Kosong. Tak ada siapapun di dalam.
Samar aku mendengar suara tak lazim di luar ruangan. Benar saja, pintu kamar yang sebelumnya ku kunci kini sudah tak terkunci lagi. Ku lihat slot kunci telah bergeser. Perlahan aku membuka pintu kamar. Lampu ruang tengah dimana yang letaknya persis di depan kamar dimatikan. Hanya ada cahaya temaram yang berasal dari teras. Terdengar suara rintihan pelan yang seperti sengaja sedang ditahan. Jantungku berdetak cepat. Samar-samar aku melihat bayangan dua orang sedang bercumbu di sela-sela meja dan bangku panjang yang terdapat di ruang tengah. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan seolah tak percaya. Aku mengenal sekali siapa orang yang tengah asyik memadu kasih itu hanya dari bayangan tubuhnya. Lukman dan Tari. Mereka sedang asyik melakukan perbuatan keji layaknya suami istri. Suara nafas yang memburu dari keduanya ditambah rintihan Tari yang sengaja ditahan samar terdengar olehku yang berdiri tepat di belakang pintu kamar. Terkejut? Tentu saja.
Aku memilih untuk kembali ketempat tidur dan berpura-pura tak melihat apapun. Tak ku sangka Tari dan Lukman melakukan hal yang seharusnya belum boleh mereka lakukan, apalagi mereka melakukan hal tidak baik saat ditempat asing seperti ini. Ditambah kenyataan kalau sebenarnya Tari mengetahui kalau aku sudah menyukai Lukman sejak lama. Sejak kami masih sama-sama di bangku kuliah. Tapi aku tak menyangka kalau ternyata mereka tega melakukan hal seperti itu di belakangku. Pantas saja akhir-akhir ini Tari sering menasehati ku untuk mencari laki-laki lain karena tak ingin persahabatan kami rusak hanya gara-gara perasaan. Sudah sejak kapan mereka melakukan hal terlarang seperti itu? Apakah yang lain tahu? Bermacam-macam pikiran berkecamuk di dalam dada. Rasa kantuk menghilang. Hanya ada gemuruh dalam dada yang merasa tak ikhlas telah di khianati oleh sahabat sendiri.
Pintu kamar terbuka. Secepat kilat aku berpura-pura memejamkan mata supaya Tari tak curiga kalau aku telah memergoki kegiatan gila mereka berdua. Sedikit aku membuka mata untuk melihat apa yang Tari lakukan. Dengan rambut yang masih berantakan dan juga baju yang belum sempat
di rapikan, ia berjalan menuju kamar mandi.
"Loh, Jen. Kok kamu bangun?"tanya Tari terkejut saat melihatku duduk di tepi ranjang sesaat setelah keluar dari kamar mandi.
"Iya, pengen ke kamar mandi. Tapi ternyata udah keduluan kamu."ucapku sambil pura-pura mengucek mata.
"Oh, yasudah sana. Aku udah selesai."jawab Tari dengan sikap biasa saja. Aku mengangguk dan segera beranjak ke kamar mandi.
"Eh, Jen. Kamu udh kebangun dari tadi?"tanya Tari padaku.
Aku menggeleng dan pura-pura menguap seolah-olah aku baru saja terbangun.
"Kenapa emangnya?"tanyaku berpura-pura tak tahu maksud pertanyaan Tari.
"Hehehe ... gak apa-apa."jawabnya kemudian menarik selimut kembali untuk menutupi tubuhnya.
Aku menghela nafas panjang. Sakit sebenarnya perasaanku melihat sendiri apa yang telah mereka lakukan di belakangku. Ku seka air mata yang terlanjur menetes dan membasuh wajahku dengan air kran. Aku kembali ke kamar dan ku lihat Tari sudah mendengkur. Mungkin karena kecapean karena harus sembunyi-sembunyi melakukan hal bejat dibelakang kami. Aku pun kembali merebahkan badan dan kali ini memunggungi tubuh sahabatku itu. Entahlah, apa masih pantas ia ku sebut sahabat. Kenapa ia tak berterus terang saja kalau dia juga menyukai Lukman? Aku akan ikhlas, toh ku lihat sepertinya Lukman juga sangat menyukainya.
Aku berjalan-jalan di sekitar penginapan. Udara pagi di sekitar kaki gunung memang terasa segar. Apalagi tetesan embun yang tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi membuat sedikit perasaan sakit berubah menjadi rasa nyaman. Ya, aku memutuskan untuk mengikhlaskan Lukman demi Tari. Tapi tidak dengan cara seperti itu mereka menjalani kasih asmara. Aku khawatir mereka akan mendapat balasan atas perbuatan terlarang mereka selama ini. Apalagi saat ini mereka berani melakukan hal-hal senonoh di tempat asing. Tempat yang seharusnya kita jaga dan kita hormati.
"Kok sendirian, Mbak?"tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Eh iya, Bu Sumi."jawabku sambil tersenyum.
"Ibu mau kemana?"tanyaku balik pada beliau.
"Mau ke pasar, Mbak."jawabnya sambil tersenyum.
"Boleh saya ikut, Bu?"tanyaku.
"Boleh, ayok."ajaknya ramah.
Kami pun berjalan beriringan menuju pasar daerah setempat. Bu Sumi bercerita banyak hal tentang desa ini.
"Mbak Jenna harus hati-hati. Jangan sembarangan disini. Jadi kalian akan selamat kalau bisa menghormati adat istiadat disini."ucap Bu Sumi membuat jantungku terasa mendadak berhenti. Aku menelan ludah, keringat dingin mengucur.
"Mbak Jenna tidak apa-apa?"tanya Bu Sumi khawatir.
"Oohh ... tidak apa-apa, Bu." jawabku tersenyum.
Aku teringat dengan perbuatan Tari dan Lukman semalam. Apa benar kami akan celaka kalau mereka telah berbuat sembarangan. Jujur saja aku takut kalau kami semua bakal terkena imbas dari perbuatan mereka berdua.
"Tidak usah takut, Mba. Selama kalian menjaga tatakrama disini semua akan aman." ucap Bu Sumi yang ku jawab dengan anggukan.
"Dari mana, Jen?" tanya Robby yang sedang olah raga pagi di depan penginapan.
"Ikut Bu Sumi ke pasar."jawabku sambil menunjukan tentengan yang ku bawa.
"Apa itu?" tanya Tomy menyambar plastik yang ku bawa.
"Tambahan buat bekal kita nanti sore."jawabku singkat.
"Waaahhh ... enak nih. Makin banyak bekal kita."ucap Tomy sambil membawa bungkusan ke dalam.
"Lukman sama Tari kemana?"tanyaku pada keduanya.
"Ada di dalam."jawab Robby.
Aku lebih memilih duduk di teras melihat Robby dan Tomy yang bercanda ria. Tingkah mereka berdua yang konyol bisa menghiburku sedikit dan melupakan cerita Bu Sumi tadi di perjalanan.
Gancet. Istilah jawa kalau sampai ada pasangan yang tidak halal berani berbuat macam-macam di daerah sini. Mereka akan menempel satu sama lain dan tak akan bisa lepas. Bahkan ada sampai yang meninggal dalam keadaan laknat dan terhina. Untung saja semalam Tari dan Lukman bisa terlepas. Kalau tidak, betapa malunya mereka kepergok yang lainnya telah berbuat macam-macam ditempat seperti ini.
"Haaaiii gaaaiiissss ... ayok pada sarapan."tiba-tiba Tari keluar dari rumah dengan rambut basah.
Aku memilih diam saja sambil tetap melihat ke arah Tomy yang sedang mengejar Robby karena sudah di ganggu aktifitasnya. Mereka berdua memang sering jahil satu sama lain. Lumayan menghibur menurutku.
"Eh, Jen. Sarapan yuk. Laper nih."ajak Tari sambil menarik lengan tanganku.
"Duluan aja, Tar. Aku nunggu mereka aja."jawabku sambil menunjuk ke arah dua pemuda yang asyik berlarian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
alena
😍
2022-07-16
1