Adzan asar terdengar mengudara menyadarkan ku dari lamunan masa lalu, tentang cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan.
Aku belum juga beranjak, masih ingin menikmati pemandangan, dan memperhatikan burung yang sesekali hinggap, dan mengusirnya.
"Kamu nggk mau sholat asar?" Suara yang familiar mengagetkanku. Ku lihat mas Faris sudah rapi menggunakan baju Koko .
"Mas sudah sholat?" Tanyaku sambil menghampirinya yang berdiri tak jauh dariku.
"Sudah berjamaah di musholla, aku mau ziarah ke makam."Berlalu cepat meninggalkanku.
Ya makam ayah dan bunda ada desa ini, didekat makam nenek.
"Aku ikut." Aku bergegas berlari menyusulnya.
"Kelamaan ,kamu belum sholat. Ziarah sendiri aja."Jawabnya ketus.
"Bukankah bunda lebih senang jika kita ziarah bersama?." Bujukku. Aku tak ingin jalan sendirian ke makam, meskipun tak jauh.
"Kalo itu kamu yang senang." Ucap mas Faris dengan senyum mengejeknya.
Memang dia tak berniat dekat denganku. Ziarah aja sendiri-sendiri.
Ku lihat mas Faris sudah berjalan menuju jalan utama,dia memilih jalan kaki. Makam tak jauh dari sini 15 menit jika berjalan kaki sudah sampai, sekalian untuk jalan-jalan sore.
Aku berjalan ke rumah dengan menghentakkan kaki kasar. Sebbal . Bergegas mandi, ganti baju sholat dan tak lupa membawa buku doa untuk ku baca nanti. Tak butuh waktu lama, semua kulakukan serba kilat.Berharap aku sampai sana mas Faris belum pergi.
Aku keluar rumah sendirian ku lihat dihalaman banyak sekali orang berkumpul, kakek juga ada disana, rombongan kami tadi dan beberapa anak angkat kakek.
Aku berlalu tidak menyapa atau pamit dengan mereka. Berjalan cepat menyusul mas Faris di makam. Berjalan sendirian dijalanan desa yang sepi, hanya sesekali lewat orang yang pulang dari sawah dan kebun, karna waktu sudah sore.
Aku memasuki area pemakaman, ku lihat mas Faris berdiri bersiap untuk kembali. *T*ernyata aku telat. Aku mendekati makam keluarga yang berjejer 3.
Ku lihat mas Faris berbalik hendak pulang, matanya sembab, mungkin dia tadi menangis.
"Mas nggk mau nunggu aku?" Aku mencoba mencegahnya pulang duluan.
Dia hanya berhenti sejenak tanpa menoleh, kemudian melanjutkan jalannya lagi. Bagaikan ngomong sama robot gagal program tau.
Aku duduk disamping nisan bunda, membaca alfatihah dan juga doa, doa untuk ketiga almarhum. Meskipun aku hanya pernah ketemu bunda, tak diberi waktu untuk berjumpa dengan ayah dan nenek.
"Bunda Hilya kangen bunda. Hilya ingin banget cerita banyak hal sama bunda."
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengan bunda.
Saat aku patah hati dengan ustadz kampung aku memutuskan untuk pergi merantau. Tak sanggup jika melanjutkan mengajar di MDA, setiap hari bertemu dengan orang yang kita cintai, tetapi tidak bisa kita miliki.
Sakit hati memang melihat orang yang kita cintai hidup bahagia dengan orang lain, tapi lebih sakit lagi kalo melihat orang yang kita cintai tak bahagia hidup bersama kita.
Aku merantau ke Sumatra utara dengan paman, paman yang asli orang sini meskipun sekarang menetap di Sumatra barat. Dikenalkan dengan kakaknya paman yang bernama Burhan yang memiliki rumah makan. Akhirnya aku tinggal disini dan bekerja dirumah makan om Burhan, dan tinggal di kostan khusus perempuan.Karna aku menolak tinggal dirumah om Burhan yang anaknya 4 lelaki semua.
Tak bisa ku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik hanya bermodalkan ijazah MA. Bekerja disini pun karna keluarga paman.
Sebulan aku bekerja di rumah makan, semua berjalan normal, akupun bisa melupakan tentang patah hati ku, mulai menyibukkan dengan kegiatan, dan ternyata disini banyak juga non muslim, tapi Alhamdulillah aku tinggal dilingkungan Islam.
Hingga suatu Sore saat aku mengantar makanan ada keributan di tempat kasir.Aku mendekat bertanya.
" Ada apa om?" Tanyaku pada tukang kasir yang memang sudah berumur.
"Ini ada ibu-ibu makan nggk mau bayar, alasan dompet hilang lah kecopetan lah, basi tau nggk alasannya."Kamu tahu bagaimana kerasnya cara bicara orang sini? aku aja takut dengarnya, bagai dibentak .
"Maaf dek , beneran dompetku hilang ,tadi aku bawa." Jelas ibu itu dengan wajah pucat. Aku lihat dia jujur dan kasian lihat mukanya yang pucat dengan
nafas berat.
"Hallah gaya aja sok kaya tapi uang tak punya." Balas sang kasir sengit.
Akhirnya aku membayarkannya ,dan aku mengajaknya keluar. Hari mulai gelap waktu kerjaku sudah habis bertukar dengan pekerja shift malam.
Aku mengajaknya singgah kemushola samping rumah makan ,karna sudah masuk waktu magrib dan ku lihat ibu ini juga berhijab modis, pasti muslim kan?
"Namaku Hilya." Aku mencoba bicara pada ibu itu memperkenalkan diri usai kami menunaikan ibadah magrib.
Ku lihat tadi dia meminum obat dan menyemprot sesuatu ke mulutnya, mungkin dia sakit. Namun wajahnya kini lebih segar dari yang tadi.
"Nak Hilya maaf ya sudah merepotkan mu, lain kali aku ganti uangnya."Ucapnya minta maaf.
"Udah tak apa buk, anggap aja salam perkenalan." Jawabku santai.
"Namaku Laili, panggil aja bunda Laili. "Jawabnya tersenyum ramah." Nak Hilya bukan asli orang sini ya?"
" Iya bun, aku baru sebulan dikota ini,bekerja dirumah makan tadi."
" Kalo bunda rumahnya dimana? masih dikota ini jugakah?"
"Bukan, bunda tinggal di kota Asahan. Aku kesini menjenguk ayah mertua di kota pinang ini."Jawabnya sambil tersenyum kecut." Ziarah ke makam suami dan ibu mertua yang meninggal sebulan yang lalu karna kecelakaan." Nampak sekali raut mukanya berubah sendu. Mungkin masih berduka atas berpulangnya ke Rahmatullah suami dan ibu mertuanya.
"Maaf ." Aku merasa bersalah ,dan ku pegang tangannya untuk menguatkan.
"Tidak apa-apa kamu tak bersalah. "Mencoba tersenyum dan menghapus air matanya.
"Bunda sakit apa? aku lihat tadi minum obat." Tanyaku penasaran.
" Bunda tidak sakit, anggap aja itu tadi vitamin." Aku tahu dia berbohong tapi aku tak bertanya lebih lanjut, takut menyinggungnya.
"Trus kok bunda pergi sendiri? Anaknya kemana?"
"Anak bunda main tempat budenya di ibu kota ,jadi ibu tinggal sendiri dirumah. Mainlah nak biar bunda nggk kesepian ."Katanya sambil merangkul ku.
"Jauh Lo bund, aku belum hafal daerah sini belum pernah jalan-jalan." Jawabku malu.
"Lain kali bunda ajak jalan-jalan kemana aja."Ucapnya diselingi tawa.
" Kalo nak Hilya orang tuanya dimana? "
"Disumatra barat Bun, jauh."Sedih ,kangen orang tua.
" Kenapa merantau kesini? nggk kuliah? kalo perkiraan bunda kamu masih muda lo,anak sekolahan." Tebaknya.
"Ingin cari pengalaman aja merantau ke kota orang bund, dan belum ada kesempatan untuk kuliah ." Aku tambah sedih karna pupus sudah cita-cita menjadi sarjana.
"Iyalah ke kota orang,,, emang ada kota monkey?" Candanya sambil tertawa renyah.
Aku hanya ikut tertawa menanggapi.
"Dan apa kendalanya tak lanjut kuliah?" Tanyanya sambil menghadapku penasaran.
" Yah waktu kelulusan dan siap daftar kuliah sawah ayah gagal panen, harga sawit juga lagi anjlok.Jadi, ya gagal kuliah deh," Jawabku dengan senyum terpaksa.
"Kendala ekonomi." Ucapnya menatap lurus ke depan." Ingin lanjut kuliah ? kalo minat tahun ajaran depan bisa masuk kuliah, bunda yang tanggung biayanya."
Aku terperangah dengan tawaran menggiurkan itu. Mau banget. Namun segera ku sadarkan diri. Baru juga kenal. Takut ada maksud tersembunyi.
"Nggk enak bunda, baru juga kenal udah merepotkan."
"Ya nggk apalah, bunda belum kenal udah merepotkan malah." Dengan senyum yang tak pernah surut, bahagia sekali kayaknya ketemu aku. Atau memang orangnya yang ramah?.
Aku diam berpikir.
"Udah nggk usah kelamaan mikir, kamu masih berharap lanjut pendidikan kan?"
Aku masih terdiam bingung mau jawab apa.
"Anggap aja bayar hutang makan bunda tadi."
"Nggk sebanding lah Bun, lagian aku ikhlas kok." Kataku tak enak hati.
" Emang menurutmu bunda nggk ikhlas?"
"Bukan begitu maksudnya, Bun." Takut salah paham nantinya.
Allahuakbar Allahuakbar
"Udah adzan isya Bu, lain kali cerita lagi."
Setelah sholat isya kami berpisah, pulang kekediamannya masing-masing ,setelah tukar nomor hp pastinya. Lagian badanku rasanya sudah lengket karna belum mandi,dan juga capek banget.
bersambung,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments