Bu Rani menggeram kesal saat teriakannya tak dihiraukan sama sekali oleh anaknya. Fajar terus melangkah mengejar Senja yang sudah sampai di ambang pintu.
"Dasar perempuan mandul! Ilmu apa yang dia pakai sampai Fajar bisa tergila-gila padanya." gerutu Bu Rani sambil menghentakkan kakinya.
"Sudahlah Ma, jangan seperti itu terus. Sudah berapa kali aku bilang, jangan merendahkan Senja, bagaimanapun juga dia itu istrinya Fajar. Fajar berhak menentukan pilihan hidupnya, kita harus merestuinya, jangan egois." kata Pak Hery sambil memegang kedua bahu istrinya.
"Terus saja membela Senja!" bentak Bu Rani.
"Aku tidak membelanya Ma. Aku hanya ingin kamu bisa mengerti perasaannya Fajar. Dia pasti kecewa dengan sikap kamu Ma!" kata Pak Hery.
Bu Rani tidak menjawab, beliau hanya menatap suaminya dengan jengah.
"Jika hanya soal cucu, Farah sudah hamil, seharusnya kamu tidak memaksa Senja untuk segera memilik anak. Mereka sudah sama-sama dewasa, mereka tahu apa yang baik untuk masa depan mereka." sambung Pak Hery.
"Tapi aku lebih menyukai Adara Mas, dia yang lebih layak bersanding dengan Fajar. Dia cantik, kariernya bagus, dan keluarganya juga terpandang, tidak seperti Senja." ucap Bu Rani.
"Jangan menilai seseorang dari status sosialnya Ma, tapi nilailah dari kepribadiannya. Buktinya Fajar memutuskan Adara, dan dia lebih memilih Senja, berarti Senja lebih baik daripada Adara." kata Pak Hery.
"Ah sudahlah! Capek bicara sama kamu Mas. Aku mau tidur saja!" ucap Bu Rani dengan nada yang tinggi, seraya melangkahkan kakinya meninggalkan suami dan anaknya.
Pak Hery hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menghadapi sikap istrinya yang tak pernah menyukai Senja. Jika Pak Hery sendiri, jujur ia lebih menyukai Senja daripada Adara. Senja adalah wanita biasa, sudah pasti dia akan mengurus rumah tangganya dengan baik. Sedangkan Adara, dia adalah wanita karier. Dia tidak akan mungkin meninggalkan kariernya demi rumah tangga. Alhasil hanya pelayan yang akan mengurus anak, dan suaminya. Dan Pak Hery, beliau tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya.
"Dion maafkan sikap Mama kamu ya, mungkin kamu merasa tidak nyaman, tapi tolong jangan diambil hati." ucap Pak Hery sambil menatap Dion.
"Tidak apa-apa Pa." jawab Dion sambil tersenyum.
"Ayo sekarang kita makan, sayang kalau ditinggalkan begitu saja, Bibi sudah susah payah menyiapkan makanannya." sahut Farah sambil menatap Ayah, dan suaminya.
"Ayo!" jawab Dion, dan Pak Hery secara bersamaan.
***
Ditengah keramaian kota. Lampu-lampu berpendar dengan indahnya, menyinari gedung-gedung pencakar langit yang berbaris di pinggir jalan raya. Kendaraan roda dua, dan roda empat, tampak berlalu lalang memadati jalanan. Senja menatap suasana kota dari balik kaca mobil, yang sedang membawanya pulang. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, hatinya masih kesal mengingat ucapan Ibu mertuanya.
Sesekali Fajar melirik istrinya yang sedang duduk sambil memalingkan wajahnya. Tangannya dilipat di dada, terlihat jelas jika suasana hatinya sedang buruk.
"Sayang!" panggil Fajar.
Namun tidak ada tanggapan sama sekali dari Senja. Jangankan untuk menjawab, menoleh saja pun tidak.
Fajar menghela nafas panjang, ia tahu semua ini memang salah Ibunya. Dan ia lebih memilih untuk diam, membiarkan Senja menenangkan hatinya.
Sekitar setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di halaman apartemen. Senja langsung turun dari mobilnya, setelah Fajar menghentikannya. Ia berlalu begitu saja, dan tak menghiraukan Fajar yang masih tertinggal di belakang.
Senja membuka pintu apartemennya dengan sentakan keras, lalu ia melenggang masuk, dan membiarkan pintunya terbuka begitu saja. Fajar mengacak rambutnya dengan kasar, semua ini karena dirinya. Andai saja dulu ia tidak bodoh, pernikahannya tidak akan berjalan seburuk ini.
Fajar terus melangkah, mengikuti sang istri yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Ia melihat dengan jelas, Senja melemparkan tas selempangnya begitu saja. Raut wajahnya tampak sangat kesal, dan penuh emosi.
"Sayang!" panggil Fajar sambil melangkah mendekati istrinya yang sedang berdiri di dekat ranjang.
"Puas kamu Kak! Puas melihat harga diriku diinjak-injak oleh Ibu kamu!" bentak Senja sambil menatap Fajar dengan pelototan tajam.
"Maafkan Mamaku, tolong jangan dengarkan omongannya. Yang penting aku selalu mencintai kamu, aku selalu menjaga kamu, dan selalu berusaha membahagiakan kamu." ucap Fajar sambil menggenggam kedua tangan Senja.
"Kapan kamu berusaha membahagiakan aku? Dengan tidak pernah menyentuhku itukah yang kamu bilang usaha. Kebahagiaan seorang istri itu, jika sudah berhasil menjadi Ibu, bukan menjadi perawan selamanya!" kata Senja masih dengan nada tinggi.
"Sayang tolong mengertilah, aku masih ingin hidup berdua denganmu, aku belum menginginkan anak." ucap Fajar dengan pelan.
"Cukup! Jangan mengulangi kalimat itu lagi!" bentak Senja sambil menepiskan tangan Fajar dengan kasar.
"Aku tidak butuh alasan kamu yang tidak masuk akal. Belum menginginkan anak, bukan berarti tidak bisa melakukannya Kak. Semua itu bisa diatur, dan aku tahu kamu juga paham akan hal itu. Katakan saja jika memang kamu tidak tertarik dengan tubuhku, atau sebenarnya ada wanita lain di luar sana. Katakan Kak, katakan!" teriak Senja dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tidak sayang, apa yang kau katakan itu tidak ada yang benar. Yang kucintai hanya kamu, aku sangat tertarik dengan kamu. Tidak ada wanita lain, hanya kamu sayang." ucap Fajar sambil memegang kedua Senja.
"Bohong! Dari sikap kamu yang seperti ini, orang bodohpun akan tahu kalau kamu punya simpanan. Kenapa kamu melakukan semua ini padaku Kak, kenapa? Apa aku hanya pelarianmu saja, jika memang iya, baiklah! Ceraikan aku, dan kembalilah pada wanitamu itu. Aku lelah hidup seperti ini!"
"Jaga bicaramu Senja!" bentak Fajar sambil mengeratkan genggamannya. Tatapannya terlihat tajam, dan penuh amarah.
Senja meringis, menahan rasa sakit di bahunya. Untuk pertama kalinya Fajar memperlakukan dirinya sekasar ini. Air mata Senja mulai menetes, membasahi kedua pipinya yang mulus. Namun untuk kali ini, Fajar tak bergeming sedikitpun. Meskipun Senja menangis, namun hatinya tidak luluh. Emosi terlanjur membuncah, saat mendengar kata cerai yang keluar dari mulut Senja.
"Jangan pernah mengatakan cerai untuk yang kedua kalinya. Aku mencintaimu, dan aku memberikan kehidupan yang layak untukmu. Apapun yang kau inginkan, aku selalu berusaha untuk memberikannya, kecuali anak. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Ingat baik-baik perkataanku ini Senja!" kata Fajar tepat di depan wajah Senja. Suaranya terdengar pelan, namun tegas, dan mengerikan.
Senja semakin menangis, malam ini ia melihat sisi lain dari diri Fajar. Selang beberapa detik, Fajar melepaskan cengkeramannya, menyisakan bekas merah di bahu Senja. Lalu tanpa berkata apapun, ia berlalu pergi meninggalkan Senja sendirian.
Senja memegangi kedua bahunya yang masih terasa nyeri. Dan tangisnya semakin pecah, saat suara bantingan pintu memekakkan telinganya. Ia terduduk lemas di lantai, ia menunduk membiarkan air matanya membasahi pangkuannya.
"Kak Alvin, seharusnya aku mendengarkan perkataanmu. Seharusnya aku tidak menerima lamarannya Kak Fajar." ucap Senja dalam hatinya.
Senja meratapi nasibnya yang pilu. Sedangkan Fajar, entah kemana perginya dia, hingga satu jam berlalu ia belum juga kembali ke kamar. Ia membiarkan Senja yang masih tetap duduk di lantai sambil menangis. Malam yang sunyi, tidak ada suara lain yang terdengar, selain suara isakan Senja yang cukup menyayat hati.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Eva Rubani
ceraikan aja kok susah si fajar cm menyiksa doang kasihan senja..
2023-05-30
0
Lail Maubile
kasihan senja jadi sasaran fajar ini jgn sampai kena penyakit HIV ADS mungkin sto.
2022-10-14
0
Lutha Novhia
smua d posisi senja pst sakit lh
n mgkin kbnyakan gk betah milih prgi
2022-10-10
0