"Sudah sampai mana?" kata Marcell yang sekarang sedang mengobrol dengan Jay melalui ponsel.
"Masih di perempatan, sobat," jawab Jay, "Kurang satu perempatan lagi dan aku akan sampai di sekolah kalian."
"Oke. Kami tunggu," kata Marcell seraya menutup komunikasinya dengan Jay.
Sandra, Putra dan Marcell sedang menunggu Jay. Sambil menunggu Jay, Sandra dan Putra bermain catur. Mereka berdua meminjamnya dari security sekolah. Setelah menelepon Jay, kini Marcell menelepon gadis dari ekskul cheerleader. Tentu saja gadis incarannya yang satu tingkat di bawahnya.
"MARCELL!!! ASAP ROKOKMU MENGGANGGU!!!" teriak Sandra.
Tentu saja Sandra barusan menjahili Marcell. Marcell tidak merokok. Hanya saja Sandra tahu gadis yang menjadi incaran Marcell tidak suka dengan perokok. Sanda dan Putra menahan tawa mereka melihat muka Marcell yang menganga. Mereka berdua kembali terdiam untuk mendengarkan Marcell mengklarifikasinya.
"Tidak, Mawar!! Sumpah!! Aku tidak merokok!! Itu tadi Sandra yang menjahiliku!! Aku berani bersumpah!! Aku tidak merokok!!" kata Marcell dengan panik, "Kalau kau tidak percaya, kau boleh bertemu denganku di depan gerbang. Cium aku ... apakah aku merokok? Hei!!! Tunggu!!! Bukan begitu maksudku!!! Aku tidak semesum itu!!! Maksudku cium bauku!!!"
Marcell hanya menghela nafas ketika mendengar bunyi 'tut-tut-tut' di ponselnya. Dia melirik Sandra dengan sebal. Pengendali listrik itu hanya tertunduk pasrah pada nasibnya.
"Oh, ayolah, kawan," kata Putra sambil menepuk bahu Marcell, "Jangan cemberut begitu."
"Tenang saja," kata Sandra yang masih tertawa, "Aku akan berbicara langsung pada Mawar nanti. Jangan khawatir."
"Baiklah," kata Marcell, "Jika kau ingkar janji, maka kau harus menjadi pacarku, Ndra."
Sandra mengangguk, "Iya. Aku berjanji, kok."
Ponsel Marcell berdering lagi dan dia cepat-cepat mengambil ponsel dari sakunya. Sekilas mukanya tersenyum senang karena mengira Mawar yang memanggilnya. Mukanya datar lagi ketika mengetahui yang meneleponnya adalah Jay. Dia segera merespon panggilan Jay dengan muka cemberut dan mengobrol selama beberapa detik. Setelah mengakhiri obrolannya, Marcell mengajak Sandra dan Putra untuk menghampiri Jay yang sudah di depan sekolah.
"Apakah kalian hari ini sibuk?" tanya Jay ketika tiga muridnya sudah berada di dalam mobil, "Ada tugas atau kerja kelompok misalnya?"
"Tidak ada," jawab Sandra, "Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa," kata Jay, "Apapun yang ada di kepala kalian, segera tanyakan pada Tari."
Jay segera menyalakan mesin mobil dan berangkat menuju rumah Tari Panjaitan. Tari Panjaitan adalah anak dari Nino Panjaitan. Mereka bertiga berniat bertanya-tanya pada Tari terkait piano tua dan misi Kamar Merah ini. Mungkin Tari tidak tahu banyak karena dia adalah anggota Departemen Medis Paladin. Jadinya hantu dan hal-hal gaib bukan bidangnya. Meskipun begitu, Jay yakin akan mendapatkan petunjuk dari wanita ini.
Tiga puluh menit kemudian, Sandra dan timnya sampai di rumah Tari. Mereka dipersilakan masuk oleh Tari. Mereka berbasa-basi selama sepuluh menit saja. Mulai dari perkenalan, menanyakan karir Tari di Departemen Medis hingga menceritakan bagaimana sosok almarhum Nino Panjaitan. Setelah sepuluh menit, mereka mulai masuk ke inti pembicaraan. Diawali oleh Sandra yang menceritakan semuanya.
Tari terdiam cukup lama dengan kening berkerut. Dia menunduk menatap cangkir teh yang dipegangnya selama hampir satu menit. Jemarinya berdentingan karena memainkan cangkirnya.
"Memang waktu itu ayahku membelinya. Tapi ayahku tidak mengijinkan ibu dan saudara-saudaraku tinggal di sana lama-lama. Jika memang harus menginap, harus ada ayahku atau anggota timnya yang menemani," kata Tari, "Kalau dibandingkan cerita kalian barusan, hantu-hantu ketika ayahku dan timnya menghadapi mereka ... jauh lebih kuat dan banyak daripada yang kalian hadapi."
"Apa yang Kak Tari lihat?" tanya Sandra.
"Sebenarnya ada banyak kejadian, Ndra. Kuceritakan beberapa saja, ya. Ceritanya di malam hari dan saat itu hanya aku, kakak pertama dan ayahku. Ayah dan kakak sudah tidur di kamarnya masing-masing. Sementara aku sedang mengerjakan tugas sekolahku di ruang tamu. Ayah dan kakakku sudah tidur di kamarnya. Ketika tepat pukul 11 malam, aku mendengar suara berisik dari kamar mandi. Aku kira tikus atau apa jadinya aku mengambil sebatang sapu untuk memukulnya. Ketika aku sampai di kamar mandi, aku hanya melihat wig hitam yang sangat panjang di kamar mandi. Mengetahui ini ulah hantu, aku langsung lari keluar dari kamar mandi. Begitu melewati pintu kamar mandi, aku merasakan cengkeraman tangan dingin menangkap kakiku hingga aku terjatuh. Aku mencoba melihat apa yang menyandung kakiku. Ya ... aku masih ingat wajah itu ... wajah seorang bocah yang meringis kepadaku ..."
"Jangan-jangan yang kami temui?" kata Putra.
Tari mengangguk, "Ya. Ketika bocah itu memegangi kakiku, aku melihat sendiri seorang wanita keluar dari bak mandi. Dia mulai merangkak mendekati. Karena aku benar-benar tidak kuat lagi, aku langsung pingsan. Begitu bangun, aku sudah mendapati diriku di dalam kamar ibuku. Aku langsung menangis memeluk ibuku."
"Bagaimana dengan Nino?" tanya Jay.
Tari tersenyum, "Ayahku terkena sleep paralysis. Antara sadar dan tidak, ayah melihat sosok hitam yang berdiri di kaki tempat tidur. Hantu itu berwarna hitam legam dan memandang ayahku dengan mata merahnya yang menyala. Butuh waktu beberapa menit bagi ayahku untuk membebaskan diri. Begitu bebas, dia langsung mengumpulkan angin, melapisinya dengan nether dan memukul makhluk hitam itu. SID menyebut mereka apa?"
"Black Fur," kata Sandra.
Tari tertawa kecil, "Hantu itu tidak seimut namanya. Black Fur langsung keluar kamar dan berusaha melemparkan kursi kayu ke ayahku. Mudah bagi ayah untuk menghindarinya. Benda hitam lalu berlari ke arah dapur dan menghilang. Ayah mengejar ke dapur dan mendapati diriku pingsan. Ayah langsung mengantar kami semua pulang.
"Esok paginya, Ayah dan timnya kembali datang ke rumah berhantu itu dan karena menyadari sesuatu. Setiap ayah dan timnya memukul mundur hantu-hantu pengganggu, sebagian besar hantu-hantu itu selalu berlari ke dapur. Setelah menyelidiki selama beberapa hari, ternyata dapur adalah jalan menuju Kamar Merah."
Tim Jay langsung melebarkan telinga dan menatap Tari dengan antusias. Tari mengambil cangkir tehnya dan meminum tiga teguk.
"Ayah memiliki teman yang penglihatan matanya mampu menembus dinding. Dari departemen lain, aku lupa dari departemen apa. Ayah meminta bantuannya dan ternyata dugaannya benar. Dapur adalah jalan menuju Kamar Merah. Aku tidak tahu dapur yang bagian mana. Tapi yang pasti, di situlah jalannya," Tari mengakhiri cerita dengan menghabiskan tehnya.
Marcell langsung bangkit dan berkata, "Tunggu apalagi?"
Jay dengan tenang berkata, "Ada dua masalah, Marcell. Pertama, kita tidak tahu dinding bagian mana. Kedua, sekalipun kita mengetahuinya, kita belum menemukan cara untuk menghancurkan dinding dapur, Marcell."
"Tahu sendiri kan bagaimana kondisi dindingnya?" kata Sandra, "Kita bahkan tidak tahu tempat rahasianya di sana. Dinding-dindingnya benar-benar rapi sehingga kita tidak tahu bahwa di sana ada jalan rahasia."
Putra diam sejenak kemudian mencetuskan idenya, "Masalah pertama, Sandra adalah solusinya. Masalah kedua ada Kak Choky."
"Aku?" kata Sandra.
Putra mengangguk, "Kita tidak perlu menguliti cat dinding. Cukup rasakan saja energi nethernya. Kau yang paling sensitif terhadap energi nether. Bahkan melebihi Jay yang seorang Immortal."
Sandra, Jay dan Marcell saling berpandangan. Kemudian mereka bertiga menatap Putra dan mengangguk.
"Aku punya nomornya," kata Putra yang segera mengambil ponsel dan mulai menelepon. Beberapa menit kemudian, Putra berkata, "Kak Choky baru bisa besok lusa."
Jay mengangguk, "Oke. Tidak apa-apa."
"Tunggu sebentar," kata Tari, "Aku teringat sesuatu."
Tari bangkit dari sofa dan berjalan ke belakang. Tiga menit kemudian, dia kembali membawa sebuah album foto.
"Ini adalah interior Kamar Merah," kata Tari, "Perhatikan baik-baik."
Dia kembali duduk dan menunjukkan pada tim Jay beberapa foto tentang Kamar Merah. Foto pertama yang ditunjukkan Tari semuanya adalah sebuah ruangan yang sangt luas. Bahkan terlalu luas jika hanya disebut kamar. Perabotan-perabotan dan dinding ruangan ini berwarna merah. Hampir semuanya berwarna merah. Di foto kedua, Tari menunjukkan sebuah meja kerja yang juga dicat berwarna merah. Di atasnya ada sebuah buku yang begitu tebal. Disegel oleh rantai dan gembok merah. Sandra sempat melihat perubahan ekspresi pada Jay ketika melihat buku aneh itu. Foto ketiga adalah foto dari dua orang gadis Jepang kembar yang sangat cantik namun tak memiliki ekspresi. Foto keempat adalah tumpukan sesuatu yang dibungkus oleh kafan putih. Tumpukan-tumpukan ini diletakkan di sudut ruangan. Foto kelima adalah meja yang sangat panjang. Seperti meja makan untuk keluarga yang cukup besar. Ada tengkorak manusia di atas meja itu. Foto keenam adalah sebuah meja batu yang letaknya tiga meter dari foto gadis Jepang kembar. Sandra tahu bahwa meja batu itu dibuat untuk meletakkan persembahan. Foto ketujuh adalah sebuah tong kayu yang berisi berbagai macam senjata tajam. Mulai tombak, pedang, pisau, kayu, golok, arit dan kapak. Tong kayu ini diletakkan di samping meja batu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 259 Episodes
Comments