"Lima belas menit lagi kendaraan pengangkut datang," kata Jay sambil melihat jam tangannya, "Bersiaplah! Kalian harus ikut!"
Murid-murid Jay pun menuju kamar masing-masing. Putra yang kamarnya di lantai satu berjalan dengan langkah yang santai. Sedangkan Sandra dan Marcell yang kamarnya berada di lantai dua segera menaiki tangga. Sambil menaiki tangga, Sandra dan Marcell mengobrol masalah piano.
"Kenapa tidak menjual piano sialan itu?" tanya Marcell.
"Kasihan orang yang membeli, Cell," jawab Sandra, "Begitu dua hantu itu berada di rumah yang baru, mereka akan mulai beraksi."
"Ah, benar juga," jawab Marcell yang berjalan mendekati piano.
"Mau apa kau?"
Marcell mengepalkan tinjunya dan memukul sisi kiri piano dengan sekuat tenaga. Dia lalu menjawab pertanyaan Sandra, "Tak ada. Hanya mengucapkan selamat tinggal."
Sandra tak menjawab pertanyaan Marcell dan langsung masuk ke kamarnya. Begitu masuk kamar, Sandra mengaktifkan matanya untuk mengecek hantu. Saat ini tidak ada apapun di kamar. Termasuk di bawah tempat tidur. Sandra menonaktifkan matanya dan mulai memilih baju. Dia memakai skinny jeans berwarna merah dan menutupi tank top yang dipakainya sekarang dengan sweater berwarna merah. Ketika menyisir rambutnya, Sandra mendengar umpatan kemarahan Marcell dari kamar sebelah.
Sandra segera keluar kamar dan menghampiri Marcell, "Kau kenapa lagi?"
"Lihat ini!" kata Marcell sedikit membentak, "Tugas matematikaku!!"
Sandra melihat buku tulis Marcell yang berada di atas meja. Lima tulisan "MAIN YUK!" ditulis acak-acakan. Kata-kata yang berwarna-warni itu ditulis dengan darah. Semua tulisan "MAIN YUK!!" menindih tugas integral Marcell. Melihat itu, Sandra bersyukur bahwa hal ini tidak terjadi pada dirinya. Tapi bagaimanapun Sandra harus menolong Marcell.
"Oke! Oke! Tenangkan dirimu, Cell," kata Sandra.
"Tenang bagaimana?! Bocah sialan!!" Marcell mengumpat sambil menunjuk piano, "Mana mungkin aku mengumpulkan tugas integral dalam kondisi seperti ini??!!"
"Sepertinya ditulis dengan darah," kata Sandra.
"Sandra ... aku tidak peduli jika dia menulis dengan krayon, spidol, air liur atau bahkan ingus," kata Marcell yang mukanya merah padam, "Yang kupedulikan hanya tugasku."
Marcell menggertakkan gigi-giginya sambil menatap ke meja belajarnya. Dia lalu membuka beberapa buku di meja untuk memastikan apakah hantu bocah itu mengerjai bukunya yang lain. Sandra berinisiatif untuk membantu Marcell mengecek buku-buku yang lain.
"Apakah semua aman?" tanya Marcell.
Sandra mengangguk dan berdiri, "Semua aman, kok."
"Kalau begitu, aku akan memasukkan buku-buku ini ke tas lalu kukembalikan ke rumahku setelah urusan piano tolol ini selesai. Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Sambil berjalan mendekati piano, Sandra menjawab, "Aku akan memeriksa piano."
Sandra berdiri di hadapan piano berhantu. Piano berhantu ini model tua sehingga terlihat seperti meja besar. Tidak seperti model baru yang lebih kecil. Di bagian atasnya ada empat buah laci yang tersusun secara horizontal. Seluruhnya terbuat dari kayu yang cukup keras. Piano yang sudah ada di sini sejak Park pindah ke sini memang perlu diselidiki. Park sendiri tidak tahu sejarah rumah ini. Karena itulah Sandra berniat memeriksanya untuk mengungkap dimana letak kamar merah.
Sandra mulai memeriksa beberapa bagian piano. Awalnya dia memeriksa empat laci teratas dan hanya menemukan buku-buku tipis yang berisi chord lagu. Dia langsung mengambil buku-buku dan membuka-membuka tiap buku. Berharap menemukan petunjuk seperti sejarah rumah atau kondisi rumah yang terselip di antara buku. Dia hanya mendapatkan nama "Nino Panjaitan" di setiap sampul buku. Sandra langsung menghela nafas dan segera mengembalikan buku-buku itu lagi. Tidak menyerah, dia terus mencoba mencari petunjuk di piano ini. Sandra memeriksa bagian kanan dan kiri piano. Nihil. Tak ada apapun di sana. Hanya muncul bau pengap yang membuat Sandra mengernyit. Kemudian Sandra memeriksa bagian bawah. Di sanalah dia menemukan sesuatu.
"Marcell, turunlah sebentar!" Sandra mendengar suara Putra yang memanggil Marcell.
"ADA APA, PUT?" teriak Marcell.
"Hei!" kata Sandra sebal sambil menoleh ke belakang untuk menatap Marcell, "Jangan teriak-teriak. Ini bukan rumahmu."
"Kau meninggalkan ponselmu di bawah. Cewek incaranmu menelepon, nih!" kata Putra
Marcell bangkit, tersenyum pada Sandra dan berkata pada Putra, "Oke. Oke. Aku datang. Beginilah yang namanya berbunga-bunga."
"Terserah kau!" jawab Sandra ketus, "Sial! Sampai dimana tadi?"
Sandra meneruskan pemeriksaannya pada piano berhantu yang ada di hadapannya. Gadis itu menemukan sebuah lambang di dekat kaki piano. Karena gelap, Sandra menciptakan api kecil di jarinya untuk meneranginya. Mata Sandra langsung membelalak ketika melihat lambang yang tergambar di piano. Lambang yang sangat dikenalinya.
Lambang itu terdiri dari sebuah piala yang biasa digunakan pada misa atau disebut dengan chalice, sebuah pentagram yang berada di atas chalice dan dua buah pedang yang menusuk pentagram itu. Pentagram merupakan perlambang setan dan kejahatan sedangkan chalice melambangkan sesuatu yang suci dan mensucikan. Pedang yang menusuk pentagram berarti akan selalu memerangi kejahatan. Jika digabung, esensi dari lambang ini adalah mengalahkan dan mensucikan mensucikan kejahatan. Lambang ini adalah lambang Departemen Investigasi Supernatural.
"Kau sudah menemukannya, ya?"
"Sudah, Cell," kata Sandra, "Tinggal memberitahu Jay bahwa piano ini milik..."
Kata-katanya terhenti karena Sandra menyadari sesuatu yang aneh. Marcell sudah menuruni tangga dan Sandra tidak mendengar suara Marcell menaiki tangga. Ditambah lagi, seseorang yang menanyai barusan bukan suara Marcell. Malahan memiliki suara yang mirip anak kecil. Tidak banyak berpikir lagi, Sandra langsung mengaktifkan pengendalian api-nether dan menyemburkan ke belakangnya. Sandra melihat seorang anak kecil melompat mundur untuk menghindari api.
"Kenapa kau mengganggu Tuan Park?" tanya Sandra.
Bocah itu hanya menatap Sandra dengan tatapan kosong. Dia berlari menjauhi Sandra. Tubuhnya berjalan ke depan tapi kepalanya seratus delapan puluh derajat menghadap Sandra. Sandra mencoba menyerangnya namun semua apinya meleset. Sebelum bocah itu menghilang menembus dinding, dia menyeringai pada Sandra.
"Kau bicara pada siapa, Sandra?" tanya Putra dari bawah, "Apa kau sedang berimajinasi berbicara dengan Aliandra?"
"Berisik, Put! Jangan sebut nama orang itu di depanku!"
"Di depanmu? Tapi sekarang aku di lantai satu sehingga aku di menyebut nama Aliandra dari bawahmu, kan?"
"Terserah, Put!" amuk Sandra, "Aku mendengar suara di depan. Apakah truknya sudah datang?"
"Benar. Ayo, kita segera mengangkatnya," kata Putra.
Sandra segera turun ke lantai bawah dan mengamati semuanya. Dia mendapati teman-temannya sedang bersantai di ruang tamu. Sementara Jay dan Park sedang mengobrol dengan sopir kendaraan pengangkut. Sopir itu membawa dua orang buruh untuk mengangkat piano. Tidak berapa lama, Park membawa masuk para buruh untuk mengangkat piano ke truk. Butuh waktu sepuluh menit untuk menganguk piano.
"Kita ikut?" tanya Putra pada Jay.
"Tentu saja," jawab Jay, "Aku tidak mau jika tiba-tiba penghuni piano ini mengganggu para sopir. Bisa-bisa nyawa orang tak berdosa akan hilang."
Para anggota SID berangkat menuju rumah Arthur. Sandra dan timnya duduk menemani piano di bagian belakang truk. Hanya Park yang tidak ikut. Park harus kembali ke hotel untuk menemani keluarganya. Dari rumah Park ke rumah Arthur hanya membutuhkan waktu dua puluh menit. Arthur dan istrinya sudah berada di depan rumah.
Arthur dan istrinya adalah orang berdarah Inggris yang merupakan sahabat Jay. Arthur memiliki rambut pirang yang dibiarkan acak-acakan, bermata biru dan bergaya seperti geng motor. Sementara istrinya yang bernama Guinevere atau biasa dipanggil Ginny, memiliki rambut ikal berwarna coklat yang panjangnya sepinggang. Hidung kecil dan mata lebar yang dimiliki Ginny inilah merupakan tipe favorit Arthur. Meskipun mereka orang Inggris, mereka sudah lama bekerja di Paladin sehingga Bahasa Indonesia mereka sangat lancar. Arthur dan Ginny bersalaman dan mengobrol ramah dengan murid-murid Jay. Denan Bahasa Indonesia tentunya.
"Inikah piano sialan itu?" kata Arthur ketika para buruh, Marcell, Putra dan Jay berusaha menurunkan piano.
Sandra mengangguk, "Apa tidak apa-apa jika kau diganggu para hantu penghuni piano?"
Ginny tersenyum, "Sandra, kau tahu? Justru para hantu yang terganggu dengan dengkuran Arthur dan omelanku."
Sandra tersenyum, "Aku ingin melihat kau mengomeli mereka, Ginny."
Setelah mengantar jasa pengangkut pulang, tim Jay mengobrol dengan Arthur dan Ginny. Mereka mengobrol cukup lama sambil membicarakan piano berhantu. Setelah tiga puluh menit, Arthur dan Ginny memohon maaf pada tim Jay karena mereka harus pergi. Tim Jay pun berterima kasih dan berpamitan pada Arthur dan Ginny. Mereka segera kembali ke rumah Park.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Putra pada Marcell.
"Tidur siang dulu," kata Marcell, "Nanti malam aku harus mengerjakan ulang tugas matematikaku."
Setelah Marcell menjawab, Sandra melihat dia menaiki tangga dengan cepat. Baru beberapa detik kemudian, Sandra mendengar teriakan amarah Marcell yang diikuti dengan berbagai macam umpatan kasar. Dengan menghela nafas sebal, Sandra menaiki tangga diikuti oleh Putra.
"Kau hari ini benar-benar cerewet, ya?" kata Putra.
"Diam dan lihatlah ini!" kata Marcell.
Sandra dan Putra yang baru sampai di lantai dua terbelalak dengan mulut menganga. Betapa tidak, piano yang baru saja dipindah di rumah Arthur saat ini berdiri kokoh di tempat asalnya. Tanpa kurang sedikit pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 259 Episodes
Comments