Suara ketukkan pintu tak membuat Bumi berhenti memoles wajahnya. Rambut sebahu dengan poni tipisnya dia kucir kuda. Diraihnya kemeja putih di atas kasur lalu dia pakai tanpa mengancingkannya. Dia mematut dirinya. Celana pendek yang memperlihatkan paha hingga betisnya dipadu dengan tanktop dan kemeja putih yang tidak ia kancingkan terasa kurang. Bumi memicingkan mata dan membolak-balikkan tubuhnya sendiri di depan cermin.
Dia segera menggulung lengan kemejanya hingga memperlihatkan lengan kuning langsat bersih yang banyak ditumbuhi bulu halus. Sekali lagi mematut dirinya, bibirnya mengukir senyum tipis lalu tangannya membentuk fingerheart, "calangeo...."
Bumi segera menyambar tas ransel di meja rias dan membuka pintu kamarnya.
"Deeek, sekian lama kamu dandan hasilnya cuma gini?" Laut menatap penampilan adiknya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Kenapa sih, kak? Sekian lama nggak ketemu bukan dibaik-baikkin malah dibentak-bentak!" Bumi melengos meninggalkan Laut dan mengibaskan tas ranselnya ke wajah sang Kakak.
"Sudah siap, Nak?" Ayas yang sedang duduk bersama mertua dan adik iparnya tersenyum lembut. Ada perasaan getir dalam hatinya melihat penampilan sang putri yang sudah sebesar ini tapi belum bisa menutup aurat.
"Sudah, dong. Mam." Bumi menghampiri Uti dan merangkul bahunya.
"Jangan sedih, ya! do'akan Bumi biar kerjanya lancar. Nanti Bumi belikan ponsel biar Uti juga tetep bisa nonton drakor."
Laut geram dengan perkataan Bumi dan langsung mengacak rambut adiknya itu.
"Orang tua diajak nonton drakor. Ajak tuh pengajian, kasih tasbih bukan ponsel!"
Bumi memutar bola mata dan melepas rangkulan di bahu uti.
"Tanya Uti, pilih tasbih apa ponsel buat nonton drakor?"
Uti yang senyum malu-malu menjawab pelan.
"Ponsel dong biar bisa terus liat oppa ganteng."
Bumi tersenyum penuh kemenangan dan menjulurkan lidahnya yang dibalas sentilan pelan di hidungnya oleh Laut. Ayas hanya tersenyum dengan terus menerus mengucap istighfar dalam hati. Anak gadisnya tumbuh menjadi sosok yang jauh dari dambaannya. Ayas tidak menyalahkan Bumi. Dirinya lah yang sepenuhnya salah. Menjauhkan Bumi dari hidupnya dan membiarkan Bumi menapaki jalannya sendiri.
"Jangan lupa sama paman ya, Bumi. Paman nggak ada teman maen ludo lagi nih jadinya," Yudis memasang wajah kecewa karena keponakannya yang sudah tinggal bersamanya selama tiga belas tahun itu akhirnya akan kembali diboyong oleh kakak iparnya ke Kota.
"Paman juga yang dipikirin malah maen ludo, nikah dong. Cari istri!" Laut sok menasihati pamannya.
"Siapa yang mau menikah sama pengangguran?" sergah Uti saat Yudis baru saja akan membuka mulut.
Bumi, Ayas dan Laut saling melirik lalu tersenyum. Ingin tertawa, tapi takut dosa.
"Tertawa aja tertawa, terus ejek aja ejek," Yudis menahan amarahnya yang mulai mendidih.
"Sudah, kita berangkat sekarang saja ya?" Ayas mengalihkan pembicaraan dan bergantian memandang Anak-anaknya meminta persetujuan. Bumi dan Laut mengangguk.
Uti kembali merajuk sebab, akan ditinggalkan oleh cucu kesayangan, yang menurutnya sangat satu server dengannya. Sama-sama girang jika melihat lelaki tampan.
"Ibu, maafkan Ayas ya. Tapi, Ayas juga sudah sangat merindukan kumpul kembali dengan Bumi. Terimakasih selama ini sudah merawat Bumi," Ayas meraih tangan uti lalu menciumnya khidmat seraya memberikan amplop putih tebal berisi beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Digunakan sebaik-baiknya, ya. Insyaallah nanti Kami datang menengok Ibu," Ayas memeluk mertuanya. Raut sedih itu berubah sedikit ceria dan mengangguk takjub. Rambut pendeknya yang semakin memutih berkilau terkena pantulan matahari yang masuk lewat celah jendela yang dibuka.
Bumi pun ikut berpamitan bergantian memeluk Yudis dan Uti. Dari dalam mobil yang baru dibeli Laut beberapa waktu lalu, Bumi, Ayas dan Laut melambaikan tangan pada Yudis dan Uti yang saling merangkul melepas kepergian Mereka. Perasaan sedih menyeruak begitu saja di hati Bumi yang kini berusia 21 tahun itu. Bumi baru saja lulus kuliah keperawatan dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke ibu kota dan bekerja di sana.
Biar bagaimanapun Bumi sangat bahagia pernah tinggal bersama Yudis dan Uti walau harus selalu menahan rindu pada Ayas dan Laut. Janji Laut akan sering berkunjung ternyata tidak benar. Mereka hanya berkunjung satu tahun sekali saat idul fitri.
Awalnya Bumi sering marah. Namun, Ayas menjelaskan jika ongkos pulang kampung itu tidaklah murah. Ditambah saat itu Laut masih bersekolah dan kuliah belum bisa membantu keuangan keluarga. Bumi bisa menerima alasan Ayas.
Saat berkuliah Bumi sebetulnya ingin melanjutkan di Ibu Kota. Namun, tidak tega meninggalkan Utinya yang berprofesi sebagai tukang urut balita yang kewalahan menerima pasien.
Mobil yang plat nomornya saja baru turun seminggu yang lalu itu pergi meninggalkan pelataran rumah Uti. Bumi membawa bersama kenangan manisnya dari sana. Bumi tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dengan baik. Dia hanya mengaji sore di surau, itupun kalau dia mau.
Uti dan Yudis tidak pernah dengan tegas mengarahkan Bumi. Tentang salat saja, Bumi hanya melakukannya jika malam jum'at dan itupun hanya shalat magrib dilanjut membaca yasin bersama di surau. Yudis dan Uti sama saja, Mereka terlalu santai dengan ibadah.
Ayas dan Laut tidak sepenuhnya menyalahkan Bumi. Penyesalan bertubi-tubi datang dalam diri Ayas melihat anak gadisnya yang tumbuh dengan jalannya sendiri.
"Kakak sekarang udah jadi horang kayah ya?" Suara Bumi memecah keheningan dari dalam mobil.
"Menurut kamu?" Laut melirik Bumi yang berada di bangku penumpang sambil merebahkan diri lengkap dengan bantal dan guling yang dia peluk.
"Kayaknya lumayan kaya, ya?" Bumi menerka-nerka.
"Kalau kaya emang kenapa?" Laut mengernyitkan keningnya.
"Ya lumayan lah bisa minta duit terus buat jajan buat beli tiket konser oppa-oppa ganteng itu," Bumi menutup wajahnya dengan guling membayangkan sekelebat wajah-wajah tampan berdarah korea sedang berjingkrak di atas panggung lalu mengerlingkan mata dan membentuk fingerheart.
"Woy, bangun. Mimpimu kebangetan. Cewek-cewek korea bukannya lebih cantik?" Teriak Laut. Bumi terperanjat lalu duduk dengan tegap dan badannya sedikit bergeser ke arah kursi kemudi Laut.
"Kakak suka juga liat kekorea-korea an?"
"Cewekku yang suka, sampai Aku kadang dicuekkin!" Laut mencebikkan bibirnya jika mengingat kelakuan Ayesha yang sedang menonton drakor.
"Kak Ayesha juga suka drakor? Wuih asyiik. Udah mah cantik, mau masukkin aku kerja, satu server lagi. Aah udahlah cepetan sana halalin aja." Bumi mendorong bahu kakaknya dan kembali merebahkan diri dan bergelut dalam khayalannya bersama Oppa nya.
"Sudah, jangan ribut. Nyetir aja yang fokus. Bumi lebih baik tidur," Ayas mengingatkan kedua anaknya agar tenang tidak kembali berisik dan berbicara hal-hal tidak penting.
"Iya, Mam!" Kedua Kakak adik ini kompak menjawab. Suasana dalam mobil kembali hening tanpa percakapan. Ayas menyunggingkan senyum tipis. Rumahnya akan kembali ramai dengan adanya Bumi. Senang? tentu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
kasacans5924
weh thu thu sdh 13 thun kemudian
2024-04-06
0
Jumadin Adin
kok bumi jauh dari agama sich
2023-02-28
0
erenn_na
baca lagi, kangen Bumi😘
2022-10-26
0