Daniel kini tengah berada di klinik dokter psikiaternya. Melakukan terapi sekaligus bertemu dengan teman-temannya di klinik dokter pribadinya yang bernama Setya Ananda.
"Jangan lupa minum obat, yah." Dokter Setya memberikan obat terbaru karena obat Daniel yang sebelumnya sudah habis.
Dokter Setya seumuran dengan Daniel, hanya beda beberapa bulan saja. Hanya saja jika Setya bekerja menjadi seorang dokter, lain hal nya dengan Daniel yang bekerja sebagai pengangguran kaya raya.
Bukan tanpa alasan, keposesifan Abi dan Uminya membuat ia tak bisa bebas keluar. Jadi, ia hanya akan di rumah dan sesekali keluar bila di izinkan.
Pengangguran bukan berarti Daniel hanya tidur makan saja. Ia juga memantau perkembangan perusahaan Abi-nya yang akan di serahkan secara resmi untuk nya nanti. Bahkan sekarang semua kendali perusahaan sudah ada di tangannya.
Ceklek! "Assalamu'alaikum, my friends." Dua orang pemuda masuk dengan senyuman sejuta Watt.
"Wa'alaikumusalam warohmatullahi wabarakatuh," jawab Daniel dan dokter Setya.
"Bagaimana kabar kalian? Kalian tahu, aku sangat merindukan kalian terutama kau Daniel." Ketiga orang itu memutar bola mata malas melihat nada bicara teman nya yang di anggap lebay.
"Duduklah dulu." Dokter Setya mempersilahkan tamu sekaligus temannya untuk duduk.
"Bagaimana kabar mu Daniel?" tanya Rian salah satu teman Daniel.
"Alhamdulillah, aku baik-baik saja." Daniel menjawab sembari memainkan ponselnya.
"Hayolah Daniel, kita ini sedang melakukan pertemuan setelah dua Minggu. Mengapa kau malah sibuk main handphone," gerutu Dion teman Daniel yang satunya lagi.
Daniel mempunyai tiga teman sekaligus sahabat terbaiknya. Ada dokter Setya, Rian dan juga Dion. Ketiga temannya itu bahkan sudah tahu tentang kejiwaan Daniel, namun mereka dengan lapang dada menerima Daniel sebagai teman.
Mendengar celotehan teman-temannya, Daniel pun meletakkan ponselnya menatap kearah Dion.
"Ada apa dengan wajah mu, Dion?" tanya Daniel memperhatikan luka lembam di sekitaran bibir Dion.
"Kau tidak berkelahi lagi kan?" ledek dokter Setya tersenyum sembari membawa obat untuk luka lembam Dion.
"Ck, ini semua karena papa!" ketus Dion kesal.
Daniel terkekeh membuat orang-orang merinding. "Itu bukan salah om Herman, Dion. Itu semua salah mu karena kau tidak mendengarkan perkataan om Herman." Dion mengerucutkan bibirnya kesal mendengar nasehat dari siapapun itu.
"Tapi, kau tahu. Karena kejadian aku di kejar pengawal papa, aku bertemu dengan bidadari surga." Dion menampilkan raut wajah kagum.
"Surga? Memang kau sudah pernah masuk surga?" tanya Rian.
"Ck, ini perumpamaan saja, bodoh!"
"Hei, Dion. Kau mau mulut mu itu aku bakar!" ancam dokter Setya tak suka mendengarkan umpatan.
Dion menatap dokter Setya sembari mengerucutkan bibirnya.
"Lalu apa yang terjadi dengan bidadari surga mu itu?" tanya Daniel.
"Dia sangat cantik dan juga anggun. Cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak."
Pletak
"Auuwww." Dion meringis tak kala tangan Rian menjitak kepalanya.
"Ini masih pagi, jangan banyak bermimpi. Bangunlah!" ketus Rian menjitak kepala Dion membuyarkan lamunannya.
"Aku tidak bermimpi, aku hanya berharap dia menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Itu saja."
Dion mencoba membela dirinya yang selalu disudutkan.
"Kalau dia sudah menikah, bagaimana?" tanya Daniel.
"Menikah masih belum tentu berjodoh. Aku siap menikung di sepertiga malam, siapa tahu jodohnya adalah aku nanti."
"Percaya diri sekali kau."
Ketiga temannya tertawa membuat Dion menjadi kesal.
"Tapi, aku sudah melakukan peningkatan dalam menikung di sepertiga malam," ucap Dion bangga.
"Apa itu?"
"Aku tahu namanya. Akan aku sebut namanya di sepertiga malam. Siapa tahu Allah akan mempertemukan kami sebagai dua insan yang pernah terpisah lalu di satukan kembali."
Dokter Setya dan Rian menampilkan ekspresi ingin muntah namun tak di hiraukan oleh Dion.
"Memang siapa namanya?" tanya Daniel. Dion merasa hanya Daniel lah yang sangat menghargai perkataan nya.
"Neneng. Namanya Neneng, aku memanggilnya neng. Hahahaha," jawab Dion sembari tertawa diikuti ketiga temannya yang juga tertawa.
Sedangkan di sisi lain, Zahra yang sedang makan tiba-tiba saja tersendak hingga terbatuk-batuk.
"Mahluk mana yang sedang menggunjing ku?"
****
Hari sudah sangat siang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Zahra yang tidak melihat tuan mudanya pulang pun akhirnya memakan masakan yang sudah ia masak.
"Mungkin dia sibuk." Itu pikir Zahra.
Zahra berjalan-jalan melihat di area samping mansion. Ia ingin bertemu dengan Rianthy.
Tepat sasaran, ternyata Rianthy sedang membersihkan daun-daun di samping mansion.
"Anthy," panggil Zahra melambaikan tangannya pada gadis yang masih fokus menyapu.
"Zahra." Rianthy menoleh lalu melambaikan tangannya. Ia berjalan mendekati Zahra.
"Kau sudah bekerja disini?" tanya Rianthy.
"Iya."
Mendengar jawaban Zahra, ada raut khawatir terpancar di wajah Rianthy.
"Kau tenang saja. Aku pasti akan baik-baik saja." Zahra mencoba menenangkan Rianthy agar gadis itu tidak cemas.
"Hmmm, lalu dimana kamar mu? Kita bisa saling bercerita kalau sudah jam istirahat malam." Dengan antusias Rianthy menanyakan letak kamar Zahra membuat gadis itu tampak kebingungan untuk menjawab
"Ada apa Zahra?"
"Tidak ada. Kamar ku ada di dalam mansion."
"Di dalam mansion?" tanya Rianthy mengerutkan keningnya.
"Iya. Di sana juga ada dapur pribadi untuk memasak makanan tuan muda." Zahra merasa tak enak hati menceritakan fasilitas yang ia dapatkan. Ia takut ada yang membencinya nanti.
"Wah, wah. Baru bekerja saja sudah mendapatkan fasilitas mewah, sangat luar biasa untuk kelas masakan yang kau sajikan." Seseorang mengatakan kalimat itu dengan nada sinis. Ternyata ada seorang wanita yang usianya sepertinya sama dengan Rianthy.
Wanita itu berjalan mendekati Rianthy dan Zahra.
"Apa yang sudah kau korbankan sehingga kau mendapatkan fasilitas mewah itu? Bagian tubuh mana yang kau suguhkan?" tanya wanita itu bernama Sari.
"Jaga bicara mu, sari! Zahra bukanlah wanita yang seperti itu!" tekan Rianthy membela Zahra.
Hahahahah
Sari tampak tertawa sembari menatap Zahra dari bawah hingga atas.
"Pakaian nya sih memang menyakinkan. Tapi, kita tidak tahu isi hatinya yang sama dengan wanita panggilan," sinis Sari.
"Zahra jangan dengarkan perkataan orang tidak tahu malu ini. Sebaiknya kau masuk saja, mungkin tuan muda sudah kembali.
Zahra menatap Sari lalu tersenyum. "Nona, saya tidak menyuguhkan apapun untuk tuan muda ataupun siapapun. Tolong perhatikan kata-kata anda kedepannya. Karena rendah atau tingginya martabat seseorang dilihat dari bagaimana cara ia berbicara." Setelah mengatakan itu Zahra pun memilih untuk pergi meninggalkan Sari yang sudah memasang wajah kesal.
Awas saja kau!
_
_
_
_
Typo bertebaran dimana-mana harap bijak dalam berkomentar yah
Jangan lupa like komen dan juga vote agar author makin semangat untuk update nya😍
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Nanda Lelo
paling benci lah y sama babu yg sok kyk sari nih,,
2023-01-08
0
Risa Istifa
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
2022-08-23
0
Bunga_Tidurku
dion yg td narik zahra bkn?
2022-08-23
0