Finn berdiri di depan pintu café, meminta orang-orang untuk mematikan kamera dan keluar secepatnya dari sana. Perintah itu segera mereka ikuti sesaat setelah Damar berhasil mengencangkan capitannya di leher Rafa, hingga Rafa hampir saja kehabisan napas.
Pemandangan itu membuat Valia menangis sejadi-jadinya selama di perjalanan. Finn yang ikut mengantarnya pulang, mengerucutkan bibir.
“Nona, tidak seharusnya Anda bertemu lagi dengan pemuda itu.” Finn mengulurkan sebuah sapu tangan, tetapi Valia cekatan menepis.
“Aku tidak butuh bantuan kalian! Harusnya dia bertanya dulu padaku, bukan langsung memukul orang lain sembarangan seperti itu!” Valia memberontak di antara tangisnya yang melunjak.
Finn menatap sapu tangan yang terjatuh, kembali menyelipkan sebuah tatapan pada Valia.
“Nona, Anda harus minta maaf pada Tuan Muda. Nanti, jika beliau sampai ke rumah, minta maaflah kepadanya.” Perkataan Finn sama sekali tak berarti bagi Valia. Dia bersikeras untuk tidak peduli sama sekali Damar marah atau tidak padanya.
**
Mobil itu berhenti tepat di halaman besar kediaman Damar. Tanpa menunggu pintu mobil itu dibuka oleh para pelayan, Valia turun lebih cepat dari tangan mereka. Dia menghentakkan langkah kesalnya hingga air matanya yang terjatuh deras berhasil menimbulkan tanda tanya bagi Nyonya Laras.
“Kenapa gadis itu?” tanya Nyonya Laras.
Finn hanya bisa menghela napas panjang, memutar matanya ke segala sisi. Tampak tidak ingin menjawab sama sekali, dia bahkan langsung pamit undur diri setelah membungkukkan tubuhnya.
Suara pintu dibanting tambah menegaskan betapa anehnya keadaan ini. Nyonya Laras sampai terkejut mendengar suara pintu yang menggema ke seluruh sisi rumah. Valia benar-benar dalam masalah.
Tak lama setelah sibuk memikirkan keadaan, Nyonya Laras terkesiap melihat Damar yang pulang dalam keadaan yang acak-acakan. Dia menenteng setelan jas di tangan kiri. Dasinya bergelantung miring di bawah kerahnya yang terbuka hingga ke dada. Sudut bawah kemeja putih itu bahkan keluar dari tempatnya.
Rambut Damar sangat berantakan. Keringat basah yang mengalir di seluruh tubuhnya bahkan memperjelas lekuk otot yang mempertegas kejantanannya. Ada darah yang tidak sedikit di bibirnya yang kelihatan pecah. Bahkan sudut bibir kirinya mengeluarkan darah. Namun, dia sama sekali tak terlihat kesakitan.
“Damar, apa yang terjadi?” tanya Nyonya Laras khawatir. Damar berjalan cepat melewati sang ibu tanpa mengatakan apapun dengan wajah penuh emosi. Dia berlari cepat ke lantai atas untuk menyusul Valia. Sekali lagi suara pintu
yang dibanting mengejutkan Nyonya Laras.
***
Damar mengunci pintu kamarnya, melempar jas itu ke sudut ruangan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Valia yang sedang duduk di sudut ranjang tengah terisak.
“Valia, kau … .”
Devalia berdiri dari duduknya, melempar Damar dengan sebuah bantal. “Siapa Anda yang berani mengatur hidupku?! Apa yang Anda lakukan padanya?! Jika sesuatu yang buruk terjadi padanya, sampai mati aku tidak akan pernah memaafkan Anda!” teriaknya tanpa bertanya keadaan sang suami terlebih dahulu.
“Apa katamu? Ha?!” Damar mendorong tubuh Valia hingga gadis itu terperangkap di bawah tubuhnya. “Aku tidak butuh maaf darimu.” Damar menyeringai menatap tubuh Valia, setelah dia berhasil merobek atasan Valia hingga setengah dada gadis itu terbuka.
Melihat Valia yang menangis, Damar mendaratkan kecupan hangat di leher sang istri yang sedang merintih dalam sedih. Namun, sebelum bibir penuh darah itu menjejak semakin liar di sana, Valia mendorong Damar sekuat tenaga. Damar tidak terima, dia menahan tangan Valia hingga gadis itu tak bisa bergerak.
“Berani-beraninya kau mengkhawatirkan pria lain!!! Aku! Aku yang harus kau khawatirkan! Bukan hanya mematahkan lengannya, aku juga akan mematahkan tulang-tulangnya jika kau terus memikirkannya!” Damar menumpahi Valia dengan seluruh amarah yang daritadi berada di ujung lidahnya.
“Kenapa Anda menikahi aku?! Anda tidak bisa menggunakan aku untuk menutupi kebusukan Anda! Aku ingin kita bercerai secepatnya!” Valia kembali memberontak.
“Aku bilang cinta! Cinta! Cinta!” Berkali-kali Damar mendaratkan pukulan ke atas ranjang, tepat di sebelah kiri kepala Valia. “Aku mencintaimu. Aku mencintaimu lebih dari nyawaku sendiri. Apa kau mengerti?” Suara Damar memelan lagi lirih.
Tubuh itu tetap terus menindih Valia, hingga Valia terpojok dan tak bisa bergerak. Dia mulai menatap mata Damar setelah merasakan sebuah cairan bening menetes di wajahnya.
Dia menangis?
Wajah Damar yang tampan tak pudar sama sekali, meski seluruh aura baik itu telah tertutup oleh kemarahan.
“Jangan harap kau bisa keluar dari rumah ini.” Sekali lagi air mata Damar jatuh menyentuh pipi Valia yang berisi. “Tidak, tidak akan kubiarkan kau menjadi milik orang lain.” Damar menyeka darah di sudut bibirnya dan beranjak dari ranjang. Valia melemah seketika saat mata mereka bertemu tadi. Dia memperhatikan Damar yang keluar dari kamar membawa seluruh emosi.
Jantungnya berdebar entah mengapa. Dia menatap kedua tangannya yang memerah karena genggaman Damar yang terlalu kencang menahannya. Pelan-pelan dia melabuhkan tangan itu ke dada. Ada cairan berwarna merah yang menempel di lehernya. Rasanya sangat aneh, karena tiba-tiba dia menjadi merasa bersalah.
***
“Tuan, Anda mau ke mana?” tanya Finn berburu cepat langkah sempoyongan Damar. “Tuan Muda, tampaknya Anda kurang sehat. Lebih baik Anda istirahat,” tambah Finn.
“Antar aku ke apartemen.” Damar melongos masuk begitu saja ke dalam mobil. Dia menatap lurus ke depan masih dengan kemarahan yang sama. Finn mengintip dari cermin sang tuan yang tampak sangat tertekan. Tangan Damar bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap. “Tuan Muda, Anda belum minum obat?” tanya Finn.
“Aku tidak butuh obat itu. Buang dan singkirkan semuanya.” Damar mengalihkan pandangannya ke jendela mobil.
“Tuan Muda, bagaimana Anda bisa sembuh jika terus seperti ini?”
“Apa kau pikir aku sakit? Jangan berani-berani menceramahi aku.” Jawaban Damar membuat Finn bergidik takut. Dia sangat tahu, Damar sama sekali tidak bisa dibantah. Dia akan merasa sangat tertekan dan semakin ingin marah-marah karenanya.
Tak lama setelah itu, mereka akhirnya tiba di apartemen Damar. Damar yang sedang berjalan tiba-tiba saja hampir tumbang setelah menyentuh dadanya yang sesak. Ini pasti karena dia baru saja marah-marah.
“Tuan!” Finn memapah Damar masuk ke apartemen. Dia mengantar Damar sampai terbaring di atas ranjang. Finn mengulurkan obat rekomendasi dari dokter pribadi Damar, tetapi Damar malah menepis obat itu hingga terjatuh berserakan.
“Keluar.” Damar yang sedang merintih kesakitan, memaksa Finn untuk meninggalkannya sendirian. “Tapi, Tuan .. .”
“Aku bilang keluar!” Finn menatap lama sang tuan, sebelum akhirnya beranjak dari sana.
Pria itu dalam keadaan yang mengkhawatirkan, tetapi tetap keras kepala untuk tidak meminum obatnya. Tak habis akal, Finn meminta para pelayan untuk menambahkan obat di dalam sarapan pagi Damar esok, agar Damar dapat segera pulih dan kembali tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments