Besoknya saat kembali ke café, Valia melihat Rafa meletakkan banyak tumpukan tugasnya yang dulu Rafa kerjakan. Dia meletakkan seluruh berkas itu di atas kursi kecil sudut ruangan tempat di mana Valia dan kedua temannya beristirahat.
“Kak Rafa, tunggu … kenapa semuanya diletakkan di sini?” tanya Dena cemas.
“Kak Rafa, Kakak tidak perlu melakukan semua ini, kasihan Valia.” Hani mencoba menghentikan tingkah Rafa yang sedikit berlebihan. Sayang sekali, Rafa masih melanjutkan.
“Kak Rafa!” Valia membentang kedua tangannya di depan pintu, mencoba menghentikan. “Jangan seperti itu!” teriaknya hingga mencuri seluruh perhatian pelanggan.
“Bukankah itu … itu istri pengusaha muda itu, kan?”
“Ah iya! Aku pikir hanya aku yang merasa seperti itu.”
“Kenapa dia ada di café ini? Siapa laki-laki itu?”
Keadaan tak lagi seperti sebelumnya. Valia menatap seluruh pelanggan yang mulai menaruh curiga.
“Aku rasa, aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu kenapa kau harus menghindar dari sini. Seorang istri pengusaha terkenal datang ke café kecil dan bertemu dengan pria miskin sepertiku, apa kau tidak takut pada gosip liar yang akan menimpamu?” Rafa menggapai tangan Valia, menyematkan sebuah pulpen tua ke dalam tangannya. “Ambil semua kenangan ini, dan bawa semuanya pergi bersamamu.”
“Tunggu.” Valia menahan Rafa. Sembari menyentuh lengan kemeja Rafa, Valia menyandarkan tubuhnya yang hampir tumbang pada sebuah meja rendah. Gelas kaca bening berisi sedikit air di atasnya menciptakan ombak sendiri di dalamnya. Jelas, Valia sedang bergetar. Kontak aneh itu semakin mencurigakan bagi semua mata.
Mereka yang tadinya ingin menyelam lebih dalam informasi terselubung yang mungkin saja Valia sembunyikan, tiba-tiba menjadi runyam. Suara mereka ribut dengan napas-napas yang terdengar menyekat. Semua mata penuh binar menatap ke seberang sana, di balik kaca bening yang menembus hingga semua yang ada di depan terlihat. Sebuah mobil mewah bersama pemiliknya terparkir angkuh dengan sorot mata tajam paling mematikan. Dua orang asisten pribadi berdiri di kiri dan kanan pemuda yang sedang menatap Valia dengan kemarahan.
Drap!
Drap!
Drap!
Langkah itu terdengar tegas dan terburu dengan kekecewaan.
“Lepaskan.” Suara berat Damar menyentak Valia, saat sadar mata tajamnya sedang terus menatap tangannya yang menyentuh ujung lengan baju Rafa. Suaranya terdengar menekan di dada.
Damar tak berpaling dari tangan mungil Valia yang masih bergelantung di sana. Damar memalingkan wajah, menoleh pada Valia dengan emosi, atau … rasa ketidaksukaan.
Tatapan Damar menyuntik sesuatu pada Valia, hingga perasaan yang tidak dia mengernti menembus ke dalam sana. Tangan itu melemah sendiri, hingga terlepas pergi bersembunyi ke belakang tubuhnya. Rafa ikut-ikutan menatap Valia, tidak terima Valia menuruti perkataan Damar.
“Jangan pernah sekalipun, menggunakan tanganmu untuk menyentuh pria lain, kau mengerti?” Damar menarik ke atas tangan Valia.
Dia mengeluarkan sapu tangan dari balik setelan jas mewah yang saat itu dia kenakan.
SRET!
Di sapu kasar olehnya tangan sang istri dengan emosi. “Karena tangan ini, adalah milikku.”
“Tuan Muda itu tidak hanya tampan, dia juga sangat posesif dan seksi.” Hampir semua mata, melayangkan kalimat itu dari bibir mereka.
Damar menggenggam tangan Devalia terlalu kencang. Gadis itu kesakitan sendiri oleh sentuhan suaminya. Rafa tersenyum tipis, hingga satu sudut bibirnya naik ke atas.
“Begini kelakuan seorang pengusaha sukses pada istrinya? Kasar dan egois.” Rafa menyudutkan Damar dengan kehinaan.
Perkataan Rafa hanya membuat Damar
tersenyum. Dia melepaskan genggamannya, melonggarkan dasinya kemudian. Dalam tumpuan yang sama, dua pemuda itu saling berhadapan, menatap satu sama lain. Wajah Valia memucat, ikut dengan tangannya yang memutih karena dingin dan khawatir. Dia tak bisa melakukan apapun untuk menghentikan dua emosi yang akan segera bertemu.
BUK!
Satu pukulan manis dari Damar akhirnya mendarat tepat di pipi kanan Rafa setelah bertahan lama dalam kesabaran. Terlalu kuat, Rafa tersudut di atas lantai hingga hidungnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah kecoklatan.
Devalia membungkam mulutnya sendiri dengan tangan. Semua orang menaruh cemas melihat pertengkaran yang akan merusak reputasi Damar. Seolah tak peduli, Damar malah berjongkok tepat di hadapan Rafa yang sedang meringkuk di pojokan. “Teruslah berbicara, hingga bukan hanya hidungmu yang kupatahkan.” Telunjuk Damar mendarat di atas dada Rafa yang sedang kesakitan. “Tapi hidup dan nyawamu pun akan berakhir dengan mudah,” tambahnya menyeringai.
Damar berdiri, menoleh pada Devalia yang sedang terluka dan malah tersenyum bangga. Rambut yang sudah berantakan segera ia rapikan. Namun, saat tangan itu hendak menyentuh tangan Devalia … Devalia malah menghindar karena takut padanya.
Pemandangan tragis itu menciptakan raut kemenangan di wajah Rafa.
“Kenapa kau menghindar?” tanya Damar.
Devalia tak mengatakan apapun, dia mundur perlahan-lahan mengikuti ritme napasnya yang sudah tak karuan.
“Aku tanya kenapa kau menghindar dariku?!” teriak Damar penuh ketegasan berhasil mengguncang seisi café kecil, hingga ke jalanan. Orang-orang yang sejak tadi berdiri di depan café hanya untuk sekedar melihatnya, terpekik takjub.
Damar menarik tubuh Valia merapat ke bidang hangatnya yang sedang bergejolak marah.
“Berani-beraninya kau menghindar dariku?” Damar mengencangkan genggamannya, hingga gadis itu meringis kesakitan. “Kau bertemu dengan pria lain tanpa seizinku.” Damar mengarahkan telunjuknya ke bawah dagu Devalia. Mengangkat naik dagu gadis itu agar menatapnya. “Kau ingin melihatku membunuh pria bren*sek ini? Valia, jawab!” Satu buah meja lengkap dengan seluruh isinya terpelanting hanya dengan satu kali dorongan tajam Damar yang sedang dibakar api cemburu. Devalia menangis sesenggukan karena takut.
Rafa yang melihat Valia ketakutan, berdiri seketika. Ia menodong Damar dengan kata tajamnya yang menusuk. “Hei Bung! Jangan kasar begitu dengan seorang wanita.” Mata mereka kembali bertemu. “Kau sudah merebut apa yang harusnya menjadi milikku, maka jangan pernah berpikir kau akan memilikinya dengan mudah.”
BRAK!
Damar menyekat leher Rafa terpojok ke dinding. Wajah Rafa berubah semerah anggur karena napasnya tak mudah menghembus.
“Hentikan. Tuan Muda, aku mohon hentikan.” Valia terjatuh lemah. Dia meringkuk di bawah sana menyentuh kaki Damar seraya menangis memohon padanya. Meski seluruh wajahnya sudah menonjolkan urat-urat tak kuasa, Rafa masih sempatnya tersenyum bangga di hadapan Damar.
“Bawa dia pulang!” teriak Damar kepada para pelayan. Suara Damar yang menggelegar memancing keributan yang lebih runyam dari sebelumnya. Seluruh kilatan cahaya mulai menyilaukan orang-orang, tetapi dua pria yang tak mau kalah itu seolah tak peduli, meski banyak orang mulai mengabadikan momen itu lewat ponsel mereka. Secepatnya, popularitas Damar akan tercoreng karena kelakuannya yang tak kenal batas.
“Cepat bawa dia pulang!” teriakan kedua Damar menyentak Finn dan para pelayan yang ikut. Mereka membantu Devalia berdiri tegak, sebelum memapahnya masuk ke dalam mobil. Awalnya Valia tak ingin beranjak sama sekali. Dia takut Damar akan melukai Rafa. Namun, tubuh lemahnya ditambah Dena dan Hani yang mulai panik mengantarnya cepat masuk ke mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Manah
cemburu ber lebihan
2021-07-27
0
Ilha AqilLha
valia bandel banget, udah tau suami galak masih jg melanggar aturan.... semangat thoor💪💪💪💪
2021-02-14
0