“Hai Hani! Dena!” sapa Valia bersemangat, tapi tidak ada satupun jawaban dari mereka.
Valia tersenyum, mendekat pada kedua temannya yang cemberut.
“Hei! Ayolah! Jangan marah seperti itu.” Valia meletakkan tasnya di sudut meja. Mulai mengambil selembar kain basah dan membantu mereka membersihkan meja-meja sisa pelanggan. Kedua gadis itu mengernyitkan dahi sebelum saling melempar mata satu sama lain beberapa kali.
“Valia apa yang kau lakukan?” Hani mendekat, merebut kain dari tangan Valia. “Bagaimana bisa kau bekerja di sini setelah punya suami super sempurna seperti Tuan Muda Damar?” tanya Hani. Dena menyelinap di antara keduanya, mulai memandang curiga. “Kau menukar nomormu tanpa memberikan kabar pada teman-temanmu. Kau benar-benar sombong setelah punya suami sempurna seperti di novel-novel,” lugas Dena tanpa pikir panjang.
“Maaf, bukan … bukan aku yang mengganti nomor ponselku. Dia yang melakukannya,” jawab Valia.
Dua gadis penuh rasa penasaran itu menarik tangan Valia untuk duduk di sebuah kursi. Mereka mengatur letak kursi itu saling berhadapan. Sebelum mulai melakukan interogasi, mereka menyipitkan mata menatap Valia. “Wah, dia suami yang posesif rupanya. Manis sekali,” puji Hani.
Manis apanya?
“Dia … dia tidak sengaja merusak ponselku,” jawab Valia canggung. Namun, wajah kedua temannya malah semakin menunjukan batas mesum pemikiran mereka.
“Dia sampai merusak ponselmu?” Dena tersenyum genit, “Apa terlalu panas, sampai-sampai ponselmu rusak?” sambungnya.
Sebenarnya apa yang orang-orang ini pikirkan?
“Kalian ini bicara apa?! Jangan berpikir yang macam-macam! Apapun yang kalian pikirkan saat ini, semua itu tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah!” Valia hendak beranjak, tetapi kedua gadis penasaran itu kembali menariknya untuk duduk. “Dia terkenal sangat dingin dan kejam. Apa dia juga sangat kejam di atas ranjang sampai kau marah begini?” Hani menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
“Benar-benar keterlaluan, mentang-mentang dia kaya dan punya segalanya, dia memperlakukan temanku dengan buruk. Eh tunggu, apa jangan-jangan dia belum putus dengan Jessica?” tanya Hani.
“Apa maksudmu?” Dena tak mau ketinggalan.
“Belakangan ada gosip, katanya Tuan Muda Damar meninggalkanmu di malam pertama, dan memilih pergi ke bar untuk bertemu dengan si Jessica galak itu,” sambung Hani.
“Valia, apa jangan-jangan gosip itu benar? Dia meninggalkanmu pada malam pertama?” tanya mereka saling tumpang tindih menyipitkan mata.
Dia ke bar? Cih dasar Badboy!
“Sudah-sudah, aku tidak ingin terlibat apapun dengannya.”
Lagipula aku dan dia hanya akan menikah selama setahun. Setelah ini, aku bisa bebas.
Valia merapikan baju dan mengatur dirinya untuk tidak berbuat lebih. Dia ingin segera bebas dari tekanan menjijikkan yang membuatnya ingin segera lepas. Sementara, Dena dan Hani masih bergulat dengan halu mereka yang entah melayang sampai kemana.
Pak Yan—pemilik café—berdiri di tepi pintu dengan secangkir kopi. “Devalia, kenapa kau masih datang?” tanyanya tak percaya.
“Apa aku dipecat karena sudah menikah?” jawab Valia sedikit bingung.
Pak Yan meletakkan kopi, lalu bersedekap sembari menelan salivanya. “Yang benar saja? Kau masih mau bekerja di café kecil ini setelah menikah dengan Tuan Muda Damar?” tanya Pak Yan masih kebingungan.
“Apa … apa ada larangan bagi seorang wanita bekerja meski suaminya kaya raya?”
Pak Yan menarik tangan Valia, menyudutkannya di tepi pintu yang sama. “Bukan, bukan begitu.” Pak Yan menampik dengan tangannya yang tak berhenti bergerak. “Apa kau sudah minta izin padanya?” bisik Pak Yan.
Valia mencoba menerawang maksud Pak Yan yang aneh. “Aku .. .” Belum lagi selesai Valia menyambut kalimat Pak Yan, pria seusia ayahnya itu mengajaknya duduk sebentar.
“Bagaimana kalau dia marah? Bisa-bisa dia menutup café-ku. Bukan maksudku mengusirmu, tapi lebih baik kau tidak usah bekerja lagi, ya?” Perkataan Pak Yan yang didengar dua gadis lainnya, membuat mereka mulai menerka-nerka.
Valia malah menimpalinya dengan gelak tawa geli. “Hahahaha! Pak Yan, Anda lucu sekali. Bagaimana bisa dia marah? Lagipula dia tidak akan pulang hari ini. Aku tidak sengaja mendengarnya menelpon seseorang. Katanya tidak akan pulang hari ini, dan akan pulang dalam beberapa hari ke depan.”
Awalnya, semua terlihat baik-baik saja. Tak ada yang terjadi, dan tak ada pula yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, suatu hari saat Valia kembali datang ke café, saat itu seluruh masalah segera dimulai.
“Akh! Maaf, maaf.” Valia berkali-kali memohon maaf, setelah tak sengaja menumpahkan kopi di atas secarik foto seorang pelanggan yang sedang mampir. Valia meraih secarik foto itu, segera membersihkan dengan sapu tangan. Namun, foto itu malah melukai perasaannya dalam waktu yang singkat.
Rafa Sefaraz, mantan kekasih yang terpaksa ia tinggalkan itu tengah mematung memandangi Valia yang sedang mematung pula di tengah pertemuan mereka karena tak sengaja melihat foto Rafa dan dirinya yang sangat bahagia saat itu. Dena dan Hani mengubah raut wajah ceria dengan tatap iba. Dua insan yang dulu sering membuat mereka iri, renyah tawanya tak lagi terdengar seperti biasa.
Biasanya, mereka duduk bersama di depan laptop masing-masing, membuka beberapa file untuk segera dikerjakan bersama. Kadang bertengkar, terkadang terlihat sangat mesra dan harmonis. Namun, semuanya terkubur dalam kenang. Takdir memaksa mereka untuk menyimpan cinta itu rapat-rapat.
Rafa, pemuda biasa yang sebenarnya tidak biasa. Dia mengarahkan pandangannya kepada jari-jemari Valia yang tidak tersematkan cincin seperti berita-berita. Valia merapatkan genggaman, terlihat meringis pedih.
Tak ada yang saling bicara, Rafa melewati gadis itu begitu saja, tetapi tangan mereka malah tak sengaja saling menyenggol. “Maaf,” ucap Rafa lebih dahulu. “Tidak, tidak apa-apa,” jawab Valia berusaha tegar.
Valia mengenyampingkan perasaannya, berusaha bersikap santai seperti sedia kala.
“Selamat.” Valia menatap sumber suara.
“Selamat atas pernikahanmu dengan pria kaya tak bermoral itu,” tambah Rafa.
Dena dan Hani, mereka berdua mengerucut sendiri. “Maksudnya?” tanya Devalia mulai khawatir.
Rafa menarik bibirnya naik, “Apa kau tidak tahu? Pria itu sudah menghancurkan hidupku?” tanya Rafa dengan mata berkaca-kaca. “Kak Rafa, aku sama sekali tidak mengerti maksud Kakak. Apa yang sudah dia lakukan?” tanya Valia.
“Dia ….” Rafa bertolak pinggang, tampak sangat sulit untuk menahan emosi. “Setelah menyuruh anak buahnya memukulku, dia mengancam akan menutup toko Ibuku setelah menghancurkan toko itu, karena aku menelponmu.” Rafa mendekat pada Valia dengan raut penuh dendam. “Valia, aku bukan lelaki yang mengemis pada istri orang lain. Jadi, tolong katakan pada suamimu … untuk berhenti bermain-main padaku. Karena bukan hanya dia, akupun bisa menghancurkannya.” Rafa menarik foto yang masih berada dalam genggaman Valia.
SRET!
Rafa merobek foto itu, menghamburkannya ke udara. “Jangan kira, aku lemah. Setelah kalian berdua menghancurkan hati dan hidupku dengan mudah, aku akan merengek untuk memintamu kembali? Tidak, itu tidak akan terjadi.” Rafa membawa langkahnya pergi.
Bumi seolah menarik tubuh Valia, hingga kakinya terasa tak bertungkai setelah mendengar perkataan Rafa. Dia meraup potongan-potongan kenangan yang berserakan di lantai. Dena dan Hani menyimpul kedua mata banjir air mata itu dengan pelukan hangat. “Valia, kau baik-baik saja?” tanya mereka menaruh cemas.
Valia mengencangkan pelukan. “Apa Kak Rafa akan membenciku?” Valia mulai menunjukkan reaksi tidak beres. “Apa dia akan membenciku? Hani dia akan membenciku, dia akan membenciku,” tangisnya pecah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Windy Artika
mampir thorr😊
2021-02-11
0