Pagi sekali, Valia terbangun di atas sofa. Ia mendapati Damar bertolak pinggang sudah lengkap dengan setelan jas yang hampir tiap hari dia gunakan. “Kenapa tidur di sini semalaman?” tanya Damar. “Kau dan aku, kita harus tidur bersama, di atas ranjang yang sama. Kau mengerti?” tambahnya sedikit menekan.
Damar melemparkan sebuah ponsel baru pada Valia. “Aku sudah membuang ponsel bodohmu dan kartu SIM-nya. Jangan harap kau bisa menghubungi bren*sek itu lagi. Kau mengerti?” tanya Damar sekali lagi.
“Apa?! Bagaimana bisa Anda seenaknya membuang ponsel dan kartuku?! Semua nomor teman-temanku ada di sana! Bagaimana aku bisa menghubungi mereka? Bagaimana kalau aku membutuhkan mereka?! Bagaimana … .”
“Aku! Hanya aku yang kau butuhkan! Aku jauh lebih berharga dari apa pun yang kau miliki! Kau harus menjaga perasaanku agar aku tidak membencimu!” sanggah Damar cepat. Dia menyudutkan Valia di dinding, di antara kedua tangannya yang menumpu. “Tidak ada yang kau butuhkan selain aku, termasuk pria bren*sek yang terus saja kau hubungi,” tambah Damar melotot pada istrinya.
“Anda memeriksa ponselku?” tanya Valia tak mau kalah. Damar merayapi tubuh Valia dengan tangan kirinya. “Apa pun yang ada padamu, itu semua milikku. Aku berhak memeriksanya.” Damar meraba halus bibir Valia seraya menatapnya sangat dekat hingga napas mereka saling beradu. “Bahkan berhak menyingkirkan siapa pun yang berusaha merebutmu dariku.”
Valia mendorong tubuh Damar karena tersulut amarah. “Apa Anda sudah gila?! Anda yang sudah merampas hidupku, sekarang Anda mengancamku?!” bantah Valia.
Damar menarik tangan Valia untuk mendekat padanya. Tanpa pikir panjang dia lantas mengecup bibir Valia sampai gadis itu tak lagi bisa bergerak meski berusaha keras untuk lepas.
“Emm!” Valia memberontak, berhasil melepas kebuasan Damar yang hampir saja membuat bibirnya terluka.
Damar tersenyum tipis, sangat mematikan. “Ya, aku sudah gila. Jadi berhentilah melawan padaku. Aku bisa berbuat apa saja kepadamu.” Dia meraih tumpukan berkas yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Mengusap bibirnya sendiri, dan kembali tersenyum pada Valia sebelum beranjak pergi.
Seolah tergembok oleh sekat nyata yang dari tadi membuat napasnya sesak, Valia terhenyak ke atas sofa menyadari apa yang baru saja terjadi. Hampir saja dia hilang akal atas apa yang baru saja Damar lakukan padanya. Tak mampu baginya untuk melempar seluruh amarah itu. Damar terlalu kuat untuk dijadikan lawan.
**
“Selamat pagi, Pak.”
Semua bawahan telah bersiap untuk menyambut kedatangan Damar ke perusahaan setelah libur satu hari. Di depan gedung mewah dan megah itu telah berjejer rapi papan bunga ucapan selamat dari berbagai perusahaan atas pernikahan Damar dan Valia.
Seperti biasa, seorang wanita keluar dari gedung guna mendampingi Damar, berhasil berkali-kali mencuri seluruh mata. Wanita berkulit terang dan mulus itu mengenakan kemeja putih, dengan rok pendek di atas lutut yang punya belahan ringan di belakang. Rambutnya hitam pekat dengan gelombang tipis yang di kuncir satu.
Matanya bulat, dengan bibir merah berisi. Tubuhnya tinggi, dengan ukuran yang sangat ideal di mata lelaki. Bak seorang bidadari, wanita berlesung pipi itu bahkan digilai oleh hampir seluruh pengusaha muda. Sayang sekali, dia tampak tak tertarik sama sekali untuk menikah dan masih setia mendampingi Damar sebagai sekretaris pribadinya.
“Selamat pagi, Bu Vinka.”
“Selamat pagi,” balasnya menebar senyum.
Setiap kali dia lewat, semua orang akan menyapanya. Tak hanya cantik dan pintar, dia juga baik hati dan ramah. Sama seperti Valia, dia juga berasal dari keluarga biasa yang dulunya tidak punya apa-apa.
“Selamat pagi, Pak.”
“Hm.” Damar lewat saja di antara para bawahan yang menyambutnya. Persis seperti yang orang-orang tahu, sangat sombong dan dingin.
Vinka meraih tas dan seluruh berkas yang Damar bawa untuk segera diantar ke ruang pribadinya. Ruangan itu sudah bersih dan wangi, persis seperti yang Damar inginkan. Di atas meja telah terhidang secangkir kopi susu hangat dengan sebuah obat yang diletakkan rapi di sebelahnya, lengkap dengan beberapa kue coklat kering.
Vinka menyerahkan beberapa berkas yang telah diraupnya dari atas meja Edwin, manajer marketing perusahaan. "Seperti biasa, mereka menerima penawaran khusus yang telah disepakati." Vinka melampirkan sebuah berkas dari map berwarna merah. "Dilihat dari grafik keuntungan yang kita peroleh, lebih kurang sudah seimbang dengan target."
Damar meraih berkas-berkas itu, membukanya acuh tak acuh. "Seperti biasa, aku suka sekali dengan kinerjamu yang tanggap. Kopi susu hangat di pagi hari, terima kasih." Damar menyingkirkan berkas itu, meraih porselin cantik untuk segera menyeduhnya.
"Hm, Pak. Sebelumnya, saya mengucapkan selamat atas pernikahan Anda. Bu Devalia, sangat cantik dan pantas mendampingi Anda." Vinka tersenyum cerah pada Damar. Seperti biasanya, dia memang selalu mendukung semua keputusan Damar dengan sambutan hangat.
Damar meletakkan kopinya kembali ke atas meja. "Begitu, ya? Aku rasa itu tidak benar." Damar membuat Vinka terkejut dengan perkataannya. "Semua orang mengatakan dia tidak pantas untukku. Kau satu-satunya yang mengatakan seperti itu." Damar meraih kue coklat kering, menggigitnya sekali. "Dia bodoh kalau mengabaikan aku," tambahnya. Vinka berusaha keras menahan tawa yang sejak tadi ingin ia keluarkan. Damar memang sangat sombong dan terlalu percaya diri. Namun tidak bisa dipungkiri, itu semua memang benar.
***
Mendengar kabar bahwa Damar tidak akan pulang dalam beberapa hari ke depan, Valia menggunakan waktu itu untuk keluar setiap pagi dengan berbagai alasan.
Valia duduk di atas anak tangga yang berada di halaman rumah keluarga Damar. “Valia, kau mau kemana?” Suara Nyonya Laras menakuti Valia hingga ia terperanjat. “Ibu, aku … .” Nyonya laras memperhatikan penampilan sang menantu.
Valia memakai kemeja kotak-kotak dengan celana panjang hitam pekat, lengkap dengan sepatu kets yang menempel rapi di bawah sana.
“Aku harus menjemput beberapa buku yang tertinggal di rumah. Secepatnya aku akan kembali,” jawab Valia takut.
“Valia, jujur saja aku tidak pernah setuju saat Damar mengatakan akan menikahimu karena aku tidak menyukaimu sama sekali. Aku akan berusaha menyukaimu, karena putraku yang menginginkanmu. Jadi bersikaplah baik dan taati seluruh aturan di rumah ini. Kau mengerti?” ketus Nyonya Laras.
Dia mendekati Valia yang sedang tertunduk pucat dengan kepalan tangan yang mengeras di sudut tas selempangnya. Dia memandangi Valia dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Aku tidak tahu apa yang dia lihat darimu. Aku juga tidak tahu apa maksudnya memilihmu. Hanya saja, kau harus tahu satu hal. Ada lebih dari 100 wanita yang menginginkan putraku. Dan mereka jauh lebih oke darimu.” Nyonya laras menyuntikkan kalimat menohoknya pada Devalia yang sebenarnya tidak peduli sama sekali. Setelahnya, Nyonya Laras pergi meninggalkan Devalia.
Akhirnya Valia bisa bernapas lega, karena Valia akan segera pergi ke café tempat dia bekerja dulu untuk kembali bertemu dengan dua, atau lebih tepatnya tiga orang teman yang semuanya masih melajang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Manah
sabar vilia
2021-07-27
0
Yaya Eraa
hadir lg thor
2021-02-09
0
Annabelle Lovely Lorenza
semgatt teruz y kak...
suksesss slu y
2021-01-07
0