Pria itu terlalu gagah dan terlalu tinggi untuk mengimbangi tubuh kecilnya. Rasanya sangat aneh, karena itu pertama kalinya Valia terlalu menempel pada tubuh atletis seorang pria yang mengagumkan.
“Jangan lihat ke bawah, jangan lihat ke bawah,” batin Valia berusaha mempertahankan harga diri. Pemandangan di bawah sana terlalu menyilaukan. Damar hanya menggunakan celana dalam berwarna putih yang menutupi separuh pahanya. Ketat sekali, hingga mungkin saja menciptakan jejak-jejak kejantanan.
“A-aw!” Genggaman Damar terlalu kuat, hingga Valia kesakitan. Damar spontan melepaskannya.
“Apa itu menyakitimu?” tanya Damar seolah khawatir. Valia lagi-lagi terperangah oleh kelakuan Damar yang terkenal dingin dan angkuh. Terkadang dia menyeramkan, dan terkadang dia aneh. Seperti itu contohnya.
“Anda menekannya terlalu kuat,” jawab Valia ragu-ragu.
Damar kembali menarik Valia untuk mendekat padanya. Secara lancang menarik turun baju Valia hingga lengan dan pundaknya terbuka. Lengan gadis malang itu memang memerah. Damar segera meraihnya. “Stop! Ini keterlaluan. Anda menarik bajuku hingga sobek, ini keterlaluan.”
Damar tak peduli pada ocehan Valia meski tadi berhenti sejenak untuk mendengarnya. Ia mengusap lengan sang istri yang baru saja tak sengaja ia lukai. Valia melihat bagaimana mata Damar hilang fokus. Entah kemana mata itu kini berjelajah, yang penting Valia segera menarik kembali lengannya. “Aku rasa .. aku rasa Anda tidak perlu melakukannya,” ucap Valia berdalih.
“Aku akan membelikanmu pakaian baru.” Damar akhirnya berjalan menuju kamar mandi. “Mandikan aku, pijat dan keramas rambutku.”
Damar benar-benar terlihat seperti orang gila. Dia memerintah sesukanya, marah sesukanya, dan berbuat semua sesukanya. Sangat berantakan. Dia melempar seluruh pakaiannya ke sembarang tempat hingga Valia hanya bisa menghela napas.
Tak ingin menambah masalah, Valia menuruti seluruh perintah itu dengan berat hati. Jantungnya berdegup kencang saat masuk ke kamar mandi. Tampak olehnya Damar yang sedang berendam dan bersandar di dalam bathup memejamkan mata. Pelan-pelan ia mendekat agar tak membangunkan Damar. Menurutnya, tinggal meletakkan sedikit shampoo, memijatnya sebentar, lalu secepatnya keluar.
Ya, Valia benar-benar melakukan apa yang telah dia rencanakan. Namun, saat hendak beranjak pergi, Damar menahan tangannya sekali lagi. “Mau kemana?” tanyanya. “Aku belum puas. Pijat kepalaku lebih lama,” perintahnya.
“Cih, menyebalkan,” batinnya menolak. Namun, mau tidak mau, akhirnya Valia benar-benar melakukannya. Merambat tangan itu di atas kepala Damar hati-hati.
Rambutnya tebal dan indah, sangat padat saat aku menjajaki kepalanya dengan tangan. Dia memejamkan mata. Sangat indah. Alisnya, bulu matanya, hidung, dan bibirnya … benar-benar perpaduan yang selalu aku bayangkan dan yang aku idam-idamkan. Kulitnya bahkan lebih mulus dariku. Sayang sekali.
Tak sengaja Valia menyentuh sebuah gumpalan daging di sisi kanan bagian kepala Damar. Itu seperti … bekas luka atau memang tanda lahir. Valia tak peduli, yang terpenting saat itu adalah cepat keluar dan menyelesaikan tugasnya.
“Valia, apa kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan pria bren*sek itu?” Pertanyaan Damar membuat Valia melonjak kaget. Di sisi lain dia tak terima sama sekali Damar menjelek-jelekkan Rafa.
Sebenarnya orang macam apa dia ini? Apa dia tidak sadar diri, siapa yang lebih bren*sek?
“Valia, jangan membuatku marah.”
Apa lagi sekarang?
“Maksudnya, Tuan?” tanya Valia kebingungan.
Tok! Tok! Tok!
“Tuan Muda, pesanan Anda sudah datang. Dan hidangan makan malam untuk Anda dan Nona juga sudah kami bawakan.” Panggilan seorang pelayan memecah suasana canggung yang menenggelamkan keduanya. Bagus! Valia bisa menggunakan alasan itu untuk menghindar.
“Biar aku ambilkan.” Valia meletakkan dua buah handuk di atas sebuah tabung melintang tak jauh dari pintu kamar mandi. Secepatnya dia beranjak dari sana.
***
“Maaf mengganggu, Nona. Ini beberapa pesanan Tuan Muda baru saja datang.” Pelayan yang lainnya mendorong sebuah meja beroda berisi penuh hidangan. “Tuan Muda bilang, akan makan malam bersama Anda di kamar saja,” jelas salah satunya.
“Baik, terima kasih.”
Mendengar ucapan terima kasih dari Valia, semua pelayan serentak terperanjat kaget. Wajah-wajah kaget itu malah membuat Valia ikut-ikutan. “A-ada apa? Apa ada yang aneh?” tanya Valia heran.
“Ah bukan begitu, Nona. Selama ini, baru Anda satu-satunya yang mengucapkan terima kasih kepada pelayan.” Mereka semua bukannya senang, malah terlihat ketakutan. Mereka undur diri dan berlari terburu-buru ke lantai bawah.
Apa ini?
Valia terus saja memperhatikan beberapa paper bag yang baru saja diberikan para pelayan sembari kembali menutup pintu. Namun,
“Apa aku mengizinkanmu untuk mengambil dan melihatnya?” Suara berat milik Damar melambungkan pikiran Valia.
“A-Anda … Anda sudah selesai, Tuan?” kejutnya.
Damar duduk di tepi ranjang, bertelanjang dada dengan handuk yang terlalu pendek untuk menutupi bagian bawahnya. Dia menyandarkan tubuhnya pada dua tangan yang menumpu ke belakang. Rambutnya masih basah, jelas dia tidak mengeringkan rambut itu terlebih dahulu.
Damar memang tidak tahu malu. Di depan Valia benar-benar sangat terbuka. “Tu-Tuan, bisakah Anda memakai pakaian terlebih dahulu?” gugup Valia.
“Tidak, sebelum rambutku kering.”
Kalau begitu kenapa tidak dikeringkan? Dia ini sebenarnya kenapa?
“Kemarilah, keringkan rambutku dengan handuk.”
“Lagi?” spontan Valia menjawab. Damar menatapnya tajam. Tatapan itu membuat Valia kehilangan rasa aman. Menyeramkan melihat pria itu marah dengan penampilan seperti itu. Valia tak ingin membuat keributan di tempat yang bukan daerahnya. Dengan ketakutan yang berusaha dia simpan dengan baik, akhirnya dia mendekat pada Damar.
Damar mengulurkan handuk kecil kepada Valia yang saat itu berdiri tepat di hadapannya. “Lap dengan lembut,” ujarnya. Valia menghela napas, tampak sangat tertekan. Ragu-ragu dia meraih handuk itu dan segera melakukan apa yang Damar perintahkan.
Dia menyeka rambut itu dengan handuk pelan-pelan. Masih sangat sadar, saat itu Damar terus saja menatapnya tak berhenti sedetikpun.
Kumohon berhentilah menatapku.
“Valia, kau harus minta maaf padaku.” Damar tak berpaling sedikitpun dari Valia.
Apa lagi sekarang?
“Ma-maksudnya, Tuan?” tanya Valia lebih heran lagi. Damar meraih wajah imut Valia dengan tangan lebarnya yang dingin. Memaksa gadis itu untuk menatapnya juga. “Kau tahu, betapa beruntungnya kau telah mendapatkan aku?” lugas Damar angkuh. “Gadis jelek, miskin, dan tidak ada apa-apanya seperti dirimu harusnya patuh dan jatuh cinta padaku,” tambahnya lebih angkuh.
Perkataan Damar membuat Valia menjadi geram. Dia menggosok-gosok kepala sang suami dengan kasar. “Akh!” teriak Damar merasa sakit. Dia mendorong tangan Valia beranjak dari kepalanya dengan kasar, meraih sisi kanan kepala yang sakit. Itu … bagian dari kepala yang tadi Valia rasakan. Bagian yang punya tonjolan daging.
Valia mendadak kaget. Apa tadi itu terlalu kasar, sehingga Damar bisa kesakitan seperti itu? Dia terjatuh dari ranjang dengan wajah memerah yang tampaknya sangat kesakitan. “Tuan, kenapa?” tanya Valia khawatir.
“Ambilkan obat!” teriak Damar penuh emosi. Valia bergegas mencari obat yang Damar maksud. “Yang mana, Tuan?” tanya Valia panik.
“Botol biru!”
Valia cekatan mengambilkan air tawar, membantu Damar mencekoki obat dengan suapan dari tangannya. Tangan itu secara tidak sengaja menyentuh bibir indah Damar. Valia menatap wajah kesakitan itu dengan sendu. Dia membantu Damar berbaring di atas ranjang.
Rasanya sangat canggung karena Damar tidak memakai sehelai benangpun selain handuk kecil yang menutupi kejantanannya. Valia menutupi tubuh Damar dengan selimut. Pria itu tak berbicara. Dia melemah, dan tertidur dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
vhiit widianti s 💕
aku udh baca sampai saat sini, mulai suka n penasaran 🤔😊
2021-03-07
0
Latifatul Asroriyah
penasarannnn....
2021-02-15
0
Yaya Eraa
suuuuuuuka😍
2021-02-09
0