Tut! Tut!
“Nomornya tidak aktif. Pasti dia kelelahan karena … .”
“Hahaha! Siapa yang bisa tahan berada di dekat suami setampan itu!”
Hani, pelayan café kecil yang berada di sudut kota memasukkan telpon genggamnya ke dalam sebuah tas berbahan kain yang terlihat lusuh.
Dia tertawa bersama Dena yang dari tadi sibuk membayangkan malam pertama Valia dan Damar yang tidak pernah benar-benar terjadi.
Berawal dari pekerjaan paruh waktu untuk membantu biaya sekolah mereka, akhirnya pekerjaan itu terus mereka jalani dan mampu mengantarkan mereka segera memperoleh gelar sarjana.
Bersama Valia, saat jam istirahat biasanya mereka sudah sibuk tertawa untuk sekedar bercanda ria. Membicarakan para pria tampan, atau sekedar menggeser layar ponsel untuk mengulik para oppa-oppa korea, atau pria berdada bidang pada hampir seluruh belahan dunia. Mereka sahabat baik yang tak pernah mengecewakan. Sedikit bertengkar atau bertengkar hebat, mereka akan tetap kembali bersama.
“DUAR!!!”
Suara ribut yang hampir setiap hari mereka dengar mengusik khayal imajinatif mereka. Mereka melonjak kaget serentak.
“Kenapa kau selalu datang, ha?!” keluh Hani.
Orang itu tak peduli, berjalan dengan wajah manja menyusuri meja kecil tempat di mana fokus itu terhenti. “Apa yang kalian lihat sehingga tidak menyadari kedatang seorang pangeran, ha?”
Rasanya belum lengkap jika tidak memperkenalkan manusia yang satu ini. Rendy, pria paling percaya diri yang selalu ingin disebut tampan. Namun mereka semua memanggilnya ‘Mapeng’ atau lebih tepatnya ‘Manusia Pengganggu’ yang selalu merusak suasana. Meski tak diinginkan, Rendy selalu memaksa masuk dalam lingkar persahabatan gadis tiga serangkai itu.
Rendy mengobrak-abrik majalah yang terbuka lebar. “Mana? Mana yang menarik?” katanya kebingungan. Hani menarik majalah itu dari tangan Rendy. “Bukan urusanmu! Ini urusan wanita!” jawab Hani.
Rendy menarik sebuah kursi ke tepi dinding. Ia memandangi kedua gadis yang sedari tadi sibuk senyum-senyum memandangi ponsel. “Aku akan menikah.”
“Apa?!” Serentak kedua wanita itu menatapnya. Mereka menggeser kursi mereka tepat di hadapan Rendy.
“Apa aku tidak salah dengar?”
“Memangnya kau punya pacar?” Bergantian kedua gadis itu melempar pertanyaan bagai wartawan dadakan. Rendy menyipitkan mata, menyudutkan kedua gadis itu dengan senyum liciknya. “Tidak,” jawabnya semangat.
“Aiss! Dasar!”
Kedua gadis itu akhirnya kembali menggeser kursi menjauh dari Rendy. Meraih kembali ponsel untuk menjelajahi dunia. Rendy mengeluarkan sebuah cemilan dan meletakkannya di atas meja. “Rasa sapi panggang. Siapa mau?” godanya. Namun, kedua gadis itu terlihat cuek dan bodo amat.
“Apa kalian tidak ikut menyusul Valia? Menikah misalnya?” goda Rendy untuk terus membuyarkan mereka berdua. “Dena tu, dia yang akan menikah. Dia kan sudah punya pacar.” Hani menjawab pertanyaan itu dengan tawa, menyenggol lengan Dena.
Berhasil! Rendy berhasil membuka topik. Dia menggeser bangkunya untuk semakin dekat.
“Kalau Hani bagaimana? Sudah punya pacar?” Sembari mengerjapkan mata beberapa kali, Rendy tersenyum kemudian. Wajahnya terlalu maju di hadapan Hani hingga gadis itu mengernyitkan dahi. “Ih!” Hani menolak wajah Rendy hingga pria itu tersenyum menyamping.
“Dia tidak punya pacar. Bagaimana mau punya pacar kalau tiap pulang kuliah langsung bekerja? Dia bahkan tidak sempat untuk mencuci sepatunya sendiri,” balas Dena meledek.
“Eh jangan macam-macam, ya! Bukan sekedar pacar, aku akan mendapatkan suami kaya dan tampan dalam waktu dekat!”
Akhirnya ponsel itu lepas dari tangan mereka. Sekarang mereka malah asik berduel soal siapa yang akan segera menikah. Rendy hanya duduk tersenyum di tengah-tengah, memperhatikan ribut kedua gadis miskin dan malang itu.
Matanya secara sengaja berlabuh pada Hani yang sedang tersenyum riang sembari meledek Dena. Mereka berdua tidak ada yang sadar, bahwa saat itu Rendy tengah sibuk menata mimpi, menatap wajah Hani tiada henti. Meski Hani dengan jelas mengatakan Rendy bukan tipe-nya, Rendy tetap tidak berhenti menaruh hati pada Hani sejak lama. Dia terus menyimpan perasaan itu lebih dalam.
***
Sejak siang tadi setelah melihat mobil Damar pergi entah kemana, Valia tak keluar dari kamarnya. Dia takut Tuan Anton dan Nyonya Laras akan menanyakan hal yang tidak dia mengerti. Lebih baik sendirian daripada harus bertemu orang-orang yang tidak pernah dia kenali.
Selama di kamar, Valia menggunakan kesempatan itu untuk menghubungi Rafa sebentar melalui aplikasi pesan singkat. Seperti biasa, Rafa sedang bekerja pada jam itu dan dia tidak boleh terlalu lama mengganggunya.
Setelah selesai mandi, Valia memakai baju paling tertutup dan paling sopan yang dia punya. Pikiran buruknya masih melayang soal ‘berada dalam satu kamar yang sama dengan Damar’ dan tidak bisa menghindar sama sekali mulai sekarang.
Tok! Tok!
“Buka pintunya!”
Deg! Itu suara Damar. Nadanya terkesan angkuh penuh amarah. Valia gelagapan, tetapi tetap berusaha membuka pintu itu meski ketakutan.
Ceklek!
Valia membukakan pintu. Dan alangkah terkejutnya dia saat melihat pemuda yang baru saja tadi pagi terlihat rapi, sedang berdiri tegap di depan pintu kamar dengan dasi dan kemeja yang berantakan. Tidak hanya itu, rambutnya juga ikut berantakan. Mata setajam elang milik Damar menembus ruang ketakutan Valia yang daritadi ia kelola.
“Kenapa dikunci?” tanya Damar.
Suara tegas Damar menggema di rumah mewah itu, hingga mencuri seluruh perhatian pelayan. Dengan jelas Valia dapat melihat Nyonya Laras mengintipnya dari bawah.
Damar menabrak tubuh gadis itu lantas menutup dan mengunci pintunya dari dalam. Ia duduk di atas sebuah sofa menyilang kedua kakinya ke atas meja. “Bukakan sepatuku,” perintahnya.
“Apa?” spontan Valia.
Damar menoleh padanya. “Apa kau tuli?” tambahnya membuat Valia bergidik ngeri.
Dengan terpaksa Valia bersimpuh di bawah sana, membukakan sepatu dan kaos kaki suaminya. “Dia kira aku pembantu apa,” gerutunya tak sadarkan diri.
“Kau Istriku, bukan pembantu.” Jawaban Damar membuat Valia terperanjat. Apa pria itu mendengarnya?
Sementara itu, Damar hanya sibuk menukar siaran televisi secara terus menerus. Aneh, tampaknya lelaki ini kurang kerjaan, pikirnya.
“Aku mau mandi. Cepat buka pakaianku, aku gerah sekali.” Sekali lagi Damar memberikan perintah menjijikkan bagi Valia. Ingin menolak, tetapi rasa takut sudah mendahuluinya lebih awal. Valia mematung di tempat bersama dua kaos kaki yang masih dalam genggaman.
Melihat sang istri diam saja, Damar segera berdiri. Dia menanggalkan dasinya, berikut dengan satu persatu kancing hingga seluruhnya terbuka. Kemeja itu ia lempar hingga mendarat tepat di wajah Valia. “Aku tidak suka diabaikan. Jangan melamun seperti itu di depanku agar aku tidak curiga.”
Valia terkejut saat kemeja wangi itu mendarat di wajahnya. Dia membalikkan tubuhnya untuk segera melayangkan protes. Namun, seolah tahu mana tempat terbaik untuk berlabuh, mata Valia langsung tertuju pada tubuh luar biasa Damar yang setengah bertelanjang.
Damar sedang menatapnya datar, sembari melepaskan sabuk di pinggangnya. “Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Valia was-was.
“Tentu saja membuka celanaku.” Damar merenggangkan kedua pengait yang melekat pada ujung ritsleting celananya. Valia kembali berbalik badan, berpura-pura sibuk merapikan sofa.
“Kenapa berbalik badan?” tanya Damar.
Valia pura-pura tidak mendengar, sibuk menata rapi bantalan sofa yang tidak berantakan sama sekali.
SET!
Pria itu menarik lengan Valia. “Aku tanya, kenapa membalikkan tubuhmu?!” Lengan itu terlalu kencang menahan lengan kecilnya yang bahkan muat dalam genggaman Damar. Valia berada tepat di hadapan tubuh Damar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Yaya Eraa
semangat ya Thor AQ sukaaaaaaaaa
2021-02-09
0
Annabelle Lovely Lorenza
kereennnn...skli...
2020-12-29
2
Annabelle Lovely Lorenza
cerita nya...oke..
2020-12-29
3