Besok pagi terasa begitu lama bagi semua orang. Valia yang tak tidur sejak tadi malam menyeret koper besar miliknya keluar dari kamar pengantin. “Nona, Anda tidak perlu melakukannya sendiri. Biar pelayan yang melakukannya.” Beberapa orang pelayan pria membantu Valia membawa barang-barangnya masuk ke bagasi mobil.
“Silakan, Nona.” Seorang sopir membukakan pintu mobil mewah itu dengan hormat. Tanpa bertanya Valia masuk ke dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang karena sangat gugup dibawa pindah ke rumah mewah yang telah diisi oleh mertua dan iparnya.
Terus saja dia berduel dengan rasa takut, tiba-tiba sosok di sebelah sana turun dari mobil mewah lainnya membuatnya semakin pucat. Semua orang membungkukkan tubuh pada Damar yang baru saja tiba. Mereka membukakan pintu mobil yang sama dengan Valia.
Kejadian tadi malam terus saja bermuara di otak Valia. Mengingat kembali bagaimana mata sexy dan mempesona milik Damar menerobos sisi tubuh yang telah lama dia jaga. Pemuda itu tampaknya benar-benar menginginkan malam pertama yang mengerikan bagi Valia.
TAP!
Mobil itu terkunci, pemuda wangi itu duduk tepat di sebelah Valia. Valia menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Dia takut Damar akan marah padanya karena kejadian tadi malam.
Hening, tak ada suara sama sekali. Bahkan ketika mobil itu berjalan, Damar juga tidak mengatakan apapun. Diam saja dia bahkan tidak memandang Valia sama sekali. Dengan tangan dan kaki yang menyilang, mata Damar hanya menatap fokus ke depan.
“Setelah sampai di rumah, gandeng tanganku di depan Ayah dan Ibu.” Damar merapikan setelan jasnya yang sebenarnya tidak kusut.
Tepat setelah itu, mereka benar-benar sampai di rumah bak istana yang tidak pernah Valia pikirkan sebelumnya. Mereka turun serentak. Situasi itu membuat Valia ketakutan dan jijik sendiri. Haruskah menggandeng tangan pria itu?
“Selamat datang, Tuan dan Nona.” Seluruh pelayan menyambut kedatangan mereka. Valia bergidik ngeri saat menapaki lantai sebening kaca yang membuatnya terkesiap. Damar tak mengatakan apapun lagi, dia berjalan saja. Valia mendongak sedikit. Pelan-pelan meraih lengan Damar dengan rasa aneh atau jijik yang berkumpul menjadi satu di ujung kepalanya.
Fokus itu gusar, lantaran tangan mungil Valia benar-benar menjejaki lengannya. Damar melabuhkan pandangannya pada tangan sang istri. Sorot matanya tiba-tiba saja berubah, tidak seperti biasanya.
“Selamat datang, Putra dan Menantuku.” Tuan Anton menyambut hangat kedatangan mereka. Nyonya Laras ikut-ikutan menuangkan rasa bahagia, meski itu tidak pernah benar-benar terjadi. “Selamat datang,” sapanya.
Valia menghela napas panjang. Tali ketakutan yang telah menjeratnya dalam pilu perlahan-lahan mulai putus. “Devalia, silakan dimakan.” Tuan Anton beramahtamah pada menantunya, tidak seperti Nyonya Laras yang dari tadi sibuk memainkan gawai.
“Mulai sekarang, rumah ini akan dihuni oleh satu orang lagi. Semoga kalian akrab di sini.”
Tuan Anton terus saja menebar senyum, meski Damar terlihat sangat aneh. Dia terpaku dengan wajah datar, seolah tidak senang pada keluarganya sendiri.
Nyonya Laras menuangkan beberapa sendok nasi di atas piring suaminya. Dia mengambilkan beberapa potong lauk dan menyodorkannya pada Tuan Anton. “Selamat makan, Suamiku.”
“Terima kasih, Sayang.”
Saat itu semua mata tertuju pada Valia yang masih merasa canggung. Rasanya sangat aneh berada di tengah-tengah keluarga kaya yang jauh dari standar hidupnya. Bahkan makanan yang terhidang di atas mejapun sangat berbeda dari makanan yang biasanya dia dan keluarganya makan.
“Kau tidak mengambilkan untuk suamimu?” tanya Nyonya Laras membuyarkan lamunan Valia.
“Eh, aku … .” Valia menoleh ke arah Damar yang duduk tepat di sebelahnya. Pria itu menyilangkan kedua tangannya tak berbuat apa-apa. “Aku bisa ambil sendiri,” jawab Damar karena Valia tak juga bergerak. Damar meraih piring dan sendok dengan kasar. Bunyi nyaring yang saling bertabrakan di atas keramik mahal itu menciptakan keributan.
“Damar, kau baik-baik saja?” tanya Tuan Anton kebingungan. Damar melepas sendok yang berada dalam genggaman dengan kasar. Sekali lagi bunyi dentingan piring itu merusak suasana.
“Aku akan selalu baik-baik saja dengan segalanya.” Damar tersenyum tipis, dengan raut menyedihkan, atau … entahlah. Nyonya Laras yang dari tadi sibuk memilah lauk tampak sangat bersemangat hingga wajahnya ingin tersenyum.
“Biar aku yang mengambilkannya … Su-suamiku.” Entah apa yang merasuki jiwanya hingga berani mengatakan hal menjijikkan itu di hadapan keluarga besar sang suami. Damar akhirnya membiarkan Valia menggeser piringnya.
“Cukup,” kata Damar tepat setelah satu sendok nasi tersaji di atas piringnya. Valia mengernyitkan dahi. Pria sombong itu makan terlalu sedikit jika disesuaikan dengan bentuk tubuhnya yang bidang dan atletis.
Valia hendak mengambilkan udang goreng, tetapi Damar mencegatnya. “Aku tidak suka udang. Ambilkan aku ayam saja. Sisihkan daun bawangnya, dan tambahkan sedikit saus di atasnya.”
Valia menghela napas. Anggap saja ini hutang atas kejadian tadi malam.
Damar meraih piring itu dari tangan Valia, tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali. Pria itu krisis akhlak, begitu pikir Valia.
***
Akhirnya sarapan, atau lebih tepatnya makan siang itu berakhir dalam keheningan. Bersama para pelayan, Valia diiring masuk menuju kamarnya dan Damar. Kamar itu sangat luas, bahkan ukurannya hampir sama dengan ukuran kontrakan lamanya.
Valia terus saja memutar mata ke seluruh titik tak terkecuali. Memandangi satu persatu eloknya desain yang luar biasa itu. Ada rasa takjub sekaligus ngeri karena tak dapat bertindak lebih. Tempat yang seharusnya membuatnya nyaman tak berarti sama sekali. Hatinya berkecamuk, ingin segera lepas dari tali perjodohan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Yaya Eraa
semangat thor
2021-02-09
0