AVN Retak

"Tidak tahu kenapa selalu saja bingkai itu retak-meretak tanpa sebab."

🪐🪐🪐🪐

Din, ambil paketmu di rumah.

Ping,

Oke

Adinda merasa kali ini kedatangan dalam mampir mengambil paket, ada sesuatu yang menjanggal.

Memang sahabatnya masih berada di Padang, belum ada waktu luang untuk liburan ke Jayapura.

Tapi, semakin ke sini sejak nitip paket itu di rumah sahabat, kok ada rasa aneh menjalar ke seluruh tubuh?

Sudah deh, lebih baik ambil secepat mungkin paket itu.

Adinda baru saja keluar dari kelas lalu menuju motor, sudah menyalakan mesin motor tapi sebelum menjalankan memasang headset terlebih dulu.

Saat sebelum menjadi mahasiswi, sibuk sendiri mencari seorang translation di Abe.

"Kak Renata bikin apa eh?" Gumam Adinda, saat kembali teringat kakak translationnya itu.

Selepas pulang dari london, mereka lost kontak. Apa mungkin perempuan itu sudah sibuk dengan skripsi atau lulus dan sekarang sudah kerja di kota big ben?

Tanpa sadar, mengangkat bahu, sedetik kemudian tersenyum.

Tak sadar, sudah sampai depan warung sang sahabat.

Diksi sahabat buat dia tertawa hambar. Mematikan mesin motor lalu turun dan masuk ke dalam warung, "assalamualaikum, Om..Mamanya Varinta ada?" Menyapa, sangat ramah tak lupa berikan senyum semanis mungkin.

"Waalaikumsalam, ada di dalam." Menjawab tanpa melihat ke arah gadis itu.

Dih, menyebalkan sekali kah. Gerutu gadis itu dalam batin.

Oh benar sekali, sebelum pergi meninggalkan halaman kampus, sempat..

To : Rambut Mie London

Harris..yuhu, aku sdh krim novel yg kmu minta, tunggu sja di sna (:

Beliau keluar sambil menyapa ramah, "eh, Dinda. Itu paketmu ada di atas rak.” Menunjuk ke atas rak.

"Iya, tante." Adinda sudah tak sabaran untuk ambil dan balik dari sana.

Tidak tahu kenapa sejak beliau menyapa hangat, ada ruas nyaman dirasa gadis itu setelah termakan emosi dengan sikap keki Mursid.

Apalagi melihat tatapan menyebalkan dari jauh.

"Bisa ambil? Atau pake kursi." Kata beliau, menawarkan.

Eh, tunggu, gadis itu jadi bingung sendiri saat melihat beliau yang manjat padahal sudah di larang keras loh, biar dia sendiri saja yang ngambil. Uh, baik sekali.

Usai mengambil paket, mengucapkan terima kasih dan pamit ke beliau namun acuh tak acuh ketika melihat sorot keki itu sedang duduk di kasir.

Memang sih sejak acara di London, rambut mie itu sudah melantangkan dengan tegas kalau telah menjadi sahabat sah, seenggaknya kan, masih perlu perjuangan lagi dalam menyodorkan novel yang ditagih bule itu.

Tersenyum miring, meninggalkan warung sahabat. Tempat di mana kali pertama menjadi perdebatan hebat dengannya, sudah begitu mengantarkan sangat santai ke bandara.

Setelah sampai dalam kamar, sudah tidak sabar mengirim paket itu ke kantor DNA Production.

Bismillah. Melangkah dengan sumringah menggendong kotak lumayan besar untuk dibawa ke kantor pos.

Tak henti wajah itu dibungkusi tawa dan bahagia. Adinda tebak, kalau bule itu lompat jingkrak saat tahu apa saja isi kado yang sudah dua hari lalu dibuat dengan sang adik, hampir tidak tidur.

Sampai di kantor pos, mendadak terjingkat, mengetahui ongkir mahal ke Jakarta.

It's okay..demi meneruskan mimpi itu sampai ke tangan Harris. Batin Adinda bersuara semangat, walau sisi lain masih retak, karena uang jajan tertelan habis oleh biaya ongkir.

Setelah membawa pulang no resi itu, berpikir lagi kenapa Harris J tidak balas chat whatsapp-nya? Apa acara di london tentang mrngakui sahabat hanya main-main?

Ih, kok bibir-bibir itu bergetir sambil tersenyum pahit kembali ke rumah?

Kebiasaan sekali. Pikiran-pikiran bermain dengan hal jelek, mengakibatkan suasana hati runyam.

Ah, sudahlah. Daripada memelihara pikiran jelek itu, lebih baik kembali ke rumah setelah itu istirahat dari penat kegiatan di kampus.

Diatas kasur, dia memerhatikan atap-atap rumah dengan sorot datar.

Kenapa bisa sahabat sendiri harus cemburu, akan dasar hal tak disukai gadis itu?

Apa karena Julioh?

Tersenyum sangat hambar.

Kalau ingin cemburu karena fisik dia, Varinta sangat salah. Benar! Cinta seharusnya berikan kebahagiaan tanpa menilai dari fisik melainkan agama.

Hal menjanggal hati ini sudah, sahabat cemburu karena fisik.

Sudah jelas gadis itu tidak permasalahkan mengenai kecantikan, malas tahu dengan make up atau skincare menempel di wajah. Masih saja insecure dengan hal itu.

Menggeleng tak habis pikir.

Mengumpulkan hal seperti itu, semakin buat dia terlelap juga, karena terlalu capek dengan rutinitas hari ini.

Esok hari, kedatangan Gessa di rumah.

Sore hari. Tumben sekali, sahabat satu ini datang tanpa di undang, kalau terundang sangat sibuk melebihi presiden. Entah apa yang dilakukan saat kedua sahabat benar-benar butuh Gessa.

"Gessa..saya tidak suka sekali dengan tatapan Ayahnya Varinta." Dia pun mulai bercerita, mengeluarkan kesah ke sahabat.

Oh, benar juga saat ambil paket di sana, menjadi satu jalan alternatif karena kalau Hana tahu dia beli buku, sudah dipastikan uang jajan terpotong.

"Kenapa kah?" Justru ditimpali santai dong, semakin buat Adinda memutar mata kesal dan menahan emosi.

Memang sangat tidak peka.

"Masa, kemarin saya ambil paket di rumahnya, eh..dapat tatapan tajam, sudah begitu dia seperti tidak suka lihat kedatanganku ke sana." Urai Adinda dengan nada dipenuhi kekesalan.

Saat sudah menceritakan hal itu, baru Gessa peka. Dasar.

"Yup, saya juga rasa itu, Din." Jawab Gessa.

"Besok, katanya Varinta datang ke Jayapura?" Kata Adinda, sambil ngernyit bengong.

Memang ada rasa lain dalam hati, berbeda saat tahun lalu sebelum rasa cemburu merasuki jiwa-jiwa sahabat sendiri.

Cih, kenapa harus ada rasa iri akan kecantikan, apalagi sama sahabat sendiri.

Adinda ingin persahabatan tanpa terbumbui cemburu atau iri satu sama lain, karena yang dibayangkannya adalah ketentraman, humble friends.

Tapi yang dirasakan gadis itu hanya petir dan amarah selalu meledak.

"Oh yah, besok mau kampus sama-sama ndak?" Eh, Adinda mendadak senang sih?

“Mau..mau, sekalian ajak Varinta eh!” Seru Gessa.

“Emang diizinkan kah sama Ayahnya? Ntar dikasih tatapan mengerikan baru!” Menyuarakan protes.

“Sudah, tidak usah pikir!” Jawabnya santai.

Sudah pukul delapan malam. Takut khilaf ngobrol lalu lupa waktu, segera angkat pantat dan pulang. Memang ada rasa senang juga sih kalau nginap di rumah sahabat sendiri. Tapi, Gessa sangat tidak enakan.

Karena hari ini memutuskan untuk besok kampus bareng, Gessa segera balik dengan cepat.

Adinda paham betul, kenapa pulang lebih awal. Sebab ada pekerjaan yang harus di selesaikan kalau ingin pergi kampus dengan hati damai.

Esok hari..

Sudah berada dalam perjalanan, syukur setiba depan rumah sahabat tidak ada pekik lantang menusuk hati dari rumah.

“Yakin... Varinta ikut kita ke kampus?” Tanya Adinda dalam perjalanan.

“Lihat saja nanti!” Jawabnya enteng.

Hm..mana mungkin bisa ikut, pikir Adinda sangat gelisah.

Melirik jam di pergelengan tangan, pukul delapan kurang dua puluh menit.

Duh, kalau ajak Varinta, tidak bisa ikut kuis nih. Adinda semakin gelisah saat motor melaju ke arah rumah sahabat yang satu.

Dosen yang satu ini terkenal killer, tapi gadis itu merasa kalau dosen baru tersebut menggunakan jabatan dengan seenak jidat.

Tidak ingin peduli bagaimana mahasiswa berjuang demi mendapati nilai yang bagus.

Cih, dosen tenar. Kesal Adinda dalam batin, tak habis pikir dengan isi kepala dosen itu.

Belum bisa mendesah tenang, kala tiba depan rumah sahabat.

Harus menonton drama mulai dari tatapan sangar, sampai mengendap kamar mandi setelah itu pakai baju cepat-cepat, sarapan lalu bisa keluar dengan tenang. Ini bagi Varinta, ketenangan setelah melewati drama pagi di rumah, berbeda dengan Adinda, menyimpan segudang kekegelisahan dalam dada.

Mereka belum masuk, masih berada di depan.

"Yakin nih, ajak Rinta?" Kata Adinda, kurang menyakinkan.

Diluar dugaan, "sudah, kita masuk dulu!" Dibalas sangat santai lalu melihat langkah Gessa lebih dulu masuk ke sana.

Arg. Memutar bola mata jengah, menarik kunci motor dan ikut masuk ke dalam.

“Om, tante. Selamat pagi!” Salam Gessa.

“Pagi.”

“Varintanya ada om?” Tanya Gessa dengan santai.

“Ada.”

Adinda hanya memutar bola mata dengan malas, benar-benar malas tahu akan sikap datar Mursid.

Dengan lenggang masuk ke dalam kamar, setelah mendapati izin dari orangtua Varinta.

Adinda jalan lurus masuk ke dalam kamar, tanpa menyapa.

🪐🪐🪐🪐

“Varinta! Ayo bangun!” Seru mereka berdua sambil menggoncangkan tubuh Varinta.

Selepas bertemu sahabat, rasa dongkol perlahan terkelupas.

AVN memang prioritas, sembari bertahan dengan rasa ketaknyamanan, setiap kali mau jalan mendapati tatapan keki atau datar.

Gessa kalau sudah datang, membangunkan dengan paksa. Dan, sekarang lihatlah? Mengambil lengan itu dan menyentuh leher belakang lalu menduduki sahabatnya di atas ranjang. Setelah duduk kali ini Gessa menarik buat berdiri lalu mendorong keluar kamar, untuk ke kamar mandi.

Adinda hanya menggeleng sambil tertawa geli.

“Kalian nih datang ganggu ketenanganku tidur saja.” Gerutu Varinta, ujung-ujungnya ngambil handuk juga kan. Dasar.

Sementara Varinta dalam kamar mandi, kali ini dia mengeluarkan kegelisahannya.

“Ges..nanti saya ada kuis TRO. Dosennya galak lagi.” Keluh Adinda.

“Apa tuh TRO, Din?” Gessa menimpali dengan bengong.

“Teknik Riset Operasional.” Timpal Adinda sambil menekan setiap kata yang tercetus.

“Sudah, nanti kita balap saja.” Jawabnya enteng.

Adinda menahan geram, kala teringat..

"Itu tidak menjamin untuk nilai kalian. Dan saya ini dosen juga berhak kasih kalian nilai. Kalau kalian tidak bisa dalam mata kuliah saya, otomatis tidak ada sebuah keringan atau nilai kasihan!” Sombongnya.

Ugh, pengen tampol tapi takut DO.

Padahal kalau mau dibilang dosen itu masih proses pendidikan, sudah belagu melebihi dekan.

Melihat Varinta selesai mengenakan pakaian, kini berulang kali copot jilbab, "duh..tidak cocok nih dengan bajuku." Alasan hijabers, kalau tidak nemu warna yang pas.

Adinda juga pernah seperti ini.

Setelah bongkar lemari pakaian, nemu jilbab yang cocok dengan warna baju. Adinda mendesah pelan.

"Cari apa lagi sih? Lama sampe.." Gerutu Adinda saat lihat sahabatnya grasak-grusuk keranjang di bawah meja belajarnya.

“Bentar! Nih lagi nyari kaos kaki!”

Dapat. Dan, mereka pun keluar kamar.

Menunggu Varinta sarapan dan izin pergi keluar pagi-pagi begini.

"Dasar..kek anak kecil daja minum susu." Adinda mencibir, bermaksud canda.

Itu dialog kali pertama jemput sahabat ke sekolah, saat tahu motor Varinta mogok tidak bisa di nyalakan.

Saat kenangan itu terputar, Adinda hanya melihat sahabatnya sedang khidmat dengan susu, tersenyum.

Setengah sebelas siang, baru jalan ke kampus.

"We, ke kampusku dulu, mau cek dosen masuk kah belum." Adinda berteriak, saat mereka sudah masuk di area Waena.

Saat sudah mau masuk ke dermaga kampus, Adinda tidak melihat batang hidung mereka.

Menunggu agak lama, menjadi pusat perhatian sekitar karena hari sudah masuk siang. Terik panas menusuk kulit, tak dihiraukannya.

Di belakang, "Din!" Pekik Gessa.

"Kalian dari mana? Saya tunggu disini lama sekali, kek ikan asin!" Adinda menjawab dengan ketus.

“Malah saya pikir kamu belum sampe, trus Rinta bilang coba keluar dulu, sapa tahu Dinda tunggu kita di sana. Dan..benar kamu tunggu kita disini. Ayo sudah ke dalam. Katanya mo cek dosen killermu baru.” Cerocos Gessa. Mereka pun masuk ke dalam kampus.

Ada rasa senang lihat dua sahabat ikut main ke kampus.

Dan mengenalkan Ika, teman kampus ke dua sahabatnya.

“Dosen tadi tidak masuk, katanya ada keperluan mendadak begitu makanya kita hanya absen saja.” Ika menginfokan.

Ah, bernapas sangat lega. Setelah absen mereka selfie berempat depan kantor dosen FIKOM.

Beberapa jam kemudian, mereka sudah balik dari makan siang, sekarang duduk dalam kamar Varinta.

“Rinta, kita mau pulang.” Ucap Adinda, dibalas acuh tak acuh dari sahabat.

Oh, daun telinga juga capek mendengar kicauan merah milik Mursid, mengetahui ananda balik sore ke rumah.

Perjalanan pulang ke rumah masing-masing, "Gessa..apa kamu rasa kalau Ayahnya tadi tidak suka kita main ke rumahhya?" Adinda berucap, sangat sedih.

“Rasa, tapi saya cuekin saja. Kita datang untuk main sama anaknya bukan Ayahnya.” Jawabnya enteng.

Dua hari kemudian, kebetulan lagi malming.

Din, malming yuk!

Ping,

Ajak Gessa saja!

Ping,

Tapi kamu juga ikut,

Ping,

Tidak perlu malming, dan kamu tenang-tenang dirumah agar Ayahmu tidak kasih tatapan tajam itu lagi! Supaya saya tidak merasa bersalah bawa anak perempuan orang jalan keluar malam-malam!

Ping,

Terserah

“Sudah begitu saja?!” Kesalnya sendiri.

Mendadak dia rindu saat di rajuk, apa sahabat tidak menyadari hal ini? Kalau orangtua tidak menyukai keberadaannya setiap kali datang ke rumah?

04 Oktober 2017,

Masih bertengkar belum ada niat baikan dengan sahabat.

Adinda melongo bercampur haru.

Mendadak menghujam sangat sesak, sudah diberikan ucapan manis dihari birthdays, karena memang bukan ini yang diinginkan Adinda melainkan kado AVN kembali harmonis seperti dulu.

Jika bukan karena orangtuaku memintanya. Saya juga tidak bakal buat nih kado!

Ada dentum-dentum nyeri dirasakan gadis itu sendiri.

Terserah!

Ingin sekali mengatakan ke Varinta, kalau keberadaannya di sana, semakin membuncah benci orangtuanya.

Hari juga sudah larut, ingin segera tidur dengan perasaan campur aduk.

Tidak tahu kenapa selalu saja bingkai itu retak-meretak tanpa sebab.

Kenapa tidak utuh tanpa prahara kah? Dan, muncul itu karena Varinta tahu sendiri kalau sahabat sangat terpicu oleh emosi.

Apa hanya nafsi merasakan dan sahabat tidak? Ketika mendapati tatapan datar dan tajam milik orangtuanya, Adinda berpikir dengan kemarahan semalam akan buat sahabat berpikir ulang. Justru diluar dugaan.

Sambil lempar-melempar amarah.

Rin, bukan ini yang kita inginkan, AVN retak karna kesalahpahaman saja. Getir Adinda dalam batin.

Sudah jelas konsekuensi bagaimana kalau ingin jalan keluar, walau sekedar makan saja. Masih tetap keuhkeuh keluar.

Mungkin ini jalan terbaik untuk buat sahabat mengerti bentakan malam itu, bukan sebab menghancurkan bingkai terjalin manis melainkan hubungan itu awet justru sebaliknya, Varinta salah paham.

Uh, gadis itu juga tidak bisa dalam hal menjelaskan dengan perasaan, selalu saja mengedepankan emosi.

Keras kepala sih, ih..isi kepala sahabatnya ada batu makanya pala batu kali kalau sudah dibilangin sama Adinda jangan keluar kalau waktu tidak akan diizinkan pergi.

Coba kalau sudah lempar amarah, mengerti sudut pandang gadis itu, kalau tidak ingin mengajak terus-terusan disaat sudah mendapati omelan panjang dari orangtuanya.

Ah, lagi kesalahpahaman membelenggu AVN, hingga retak-meretak tak tersisa tawa mereka. []

Terpopuler

Comments

Lisa Haruna(Izin hiatus guys)

Lisa Haruna(Izin hiatus guys)

semangat

2021-12-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!