Sudah 1 bulan Herdi menjadi supir sementara Pak Danu. Pak Hasan pun pulang dari Riau setelah urusannya selesai. Ia di sana mengurus tanah peninggalan orangtuanya yang tak terurus. Tanah itupun warisan dari kakeknya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, hubungan dengan saudara-saudaranya di Riau tidak begitu akrab karena jarang bertemu dan oleh orang-orang tua mereka tidak menjalin silaturahmi yang baik. Sehingga untuk generasi penerus keluarga besarnya tidak begitu saling mengenal.
Kedua orangtuanyapun sudah puluhan tahun menetap di Jakarta, sampai Pak Ahmad ( Ayah Herdi ) dan Pak Hasan dewasa. Pak Hasan hanya mengingat ia pernah 2 kali ke Riau waktu ia masih SD, sewaktu kakek dan neneknya masih ada.
Malam harinya Pak Hasan datang lagi ke rumah Pak Danu. Tidak sopan baginya bila memberitahu lewat ponsel saja. Jadi ia harus menemui Tuan Danu.
"Lusa mungkin saya sudah bisa bekerja kembali, tuan. Dan Herdi nanti akan saya ajak pulang ke rumah saya." kata Pak Hasan.
Pak Danu tampak berfikir. Setelah berdehem, kemudian Pak Danu membuka suara.
"Sebentar Pak Hasan. Ada yang mau saya bicarakan. Panggilah Herdi ke sini sekarang. Saya juga mau memanggil anak saya," kata Pak Danu.
Walau heran, Pak Hasan menuruti perintah majikannya. Ia pun ke belakang rumah menemui Herdi di kamarnya. Sementara itu Pak Danu menyuruh istrinya untuk memanggil Frida ke ruang tamu.
Setelah semua duduk di di ruangan itu, Pak Danupun tampak beberapa kali menghela nafas. Istrinya dan Frida saling berpandangan, merasa bingung ada apa mereka dikumpulkan di ruangan itu. Herdi dan Pak Hasan pun tampak heran. Tapi tidak berani bertanya.
"Begini Pak Hasan, Herdi ....." belum sempat Pak Danu menyelesaikan perkataannya, terdengar dering suara ponsel Herdi.
"Maaf, tuan, saya terima telpon dulu. Dari Kampung" kata Herdi tampak tidak enak hati pada Pak Danu. Pak Danu mengangguk, memberi ijin.
Herdi keluar ruangan. Tak berapa lama iapun kembali.
"Ada apa Herdi? Apa ada sesuatu di kampung?"tanya Pamannya.
"Ibu masuk Rumah Sakit dari kemarin, paman. Kak Lastri baru menelpon sekarang. Ibu harus segera di operasi" kata Herdi, wajahnya tampak pucat.
"Memangnya sakit apa ibumu?" tanya Pak Hasan.
"Kanker Payudara. Sudah parah, jd harus di operasi. Saya gak tahu dapat uang dari mana sebanyak itu dalam waktu singkat," Herdi tampak gusar.
"Kamu gak punya kartu BPJS, Her?" tanya Pak Hasan lagi.
"Enggak, paman. Gak masuk keluarga miskin. Keluarga kami miskin enggak, kaya enggak, jadi gak punya kartu BPJS," jawab Herdi. Kalau untuk bayar mandiri rasanya Herdi tadinya merasa tidak terlalu memerlukannya apalagi dengan kenaikan iuran BPJS. Ia merasa tidak terjangkau. Dirinya dan ibunya pun selama ini dirasa sehat-sehat saja.
Pak Danu yang dari tadi diam, bagai mendapat ide.
"Berapa biaya operasi ibumu?" tanya Pak Danu.
"Lima puluh juta, tuan" jawab Herdi pelan.
Pak Hasan selaku pamannya terkejut. Ia pun terlihat gusar. Pak Danu hanya tersenyum tipis.
"Herdi, mungkin nanti kalau tanah yang di Riau laku, mungkin kamu bisa mengambil bagian ayahmu," kata Pak Hasan.
"Begini. Saya ada penawaran. Makanya kamu dipanggil ke sini. Kalau Kamu setuju menikahi anak saya, maka saya akan melunasi biaya operasi ibumu," Kata Pak Danu. Pak Hasan dan Herdi tampak terkejut. Begitupun istrinya dan Frida.
"Papa!" teriak Frida.
"Kamu diamlah. Ini demi masa depanmu!" hardik papanya.
"Sudahlah nak, dengarkan papamu" Mamanya mengelus-ngelus Frida mencoba menenangkan Frida.
"Herdi, kamu pasti sudah tahu yang menimpa Frida. Saat ini dia sedang hamil. Saya khawatir lama kelamaan orang-orang akan mengetahuinya. Apa kamu bersedia menikahinya? Setidaknya sampai bayi itu lahir" Pak Danu tampak serius wajahnya.
"Saya hanya orang biasa, tuan. Tak punya apa-apa. Pendidikan saya juga cuma sampai SMA. Pekerjaan saya juga serabutan, belum punya pekerjaan tetap. Apa Non Frida mau sama saya?" tanya Herdi.
"Dia harus mau. Kalian menikah hanya sampai bayi itu lahir. Kemudian dia harus meneruskan pendidikannya" kata Pak Danu.
Frida hanya diam tidak berani membantah.
"Kemudian satu lagi, bawa dia bersamamu ke desamu sampai dia melahirkan. Agar tidak ada gosip-gosip yang menyebar. Semua ini harus dirahasiakan," kata Pak Danu.
"Maaf tuan, apa itu pernikahan kontrak?" Pak Hasan bertanya karena bagaimanapun ia keluarga Herdi yang mewakili ibu Herdi.
"Ya. Herdi harus menandatangai kesepakatan perjanjian pernikahan. Bagaimana apa kamu bersedia menikahinya?" Pak Danu menatap Herdi tajam.
"Tapi saya lebih suka kalau saya hanya meminjam uang tuan untuk operasi ibu saya. Nanti saya akan mengumpulkan uang untuk mengganti pinjaman itu. Mengenai menikahi Non Frida, saya bersedia menikahinya karena ....." Herdi tidak meneruskan perkataannya.
"Karena apa, Herdi?" tanya Pak Danu.
"Karena saya mencintainya sejak pertama kali melihatnya. Maafkan atas kelancangan saya tuan." Herdi menunduk tidak berani melihat Pak Danu, Bu Tia, dan Frida.
Pak Danu menghela nafas lega, "Terserah kau saja," Pak Danu tidak perduli apakah Herdi mencintai Frida atau tidak. Yang terpenting pemuda itu mau menikahi anaknya. Dia sudah menduganya. Pemuda itu menurut para asisten rumah tangganya sering mencuri pandang pada Frida. Pemuda itupun selama bekerja dengannya bersikap sopan dan baik. Ia terlihat pemuda baik-baik. Pemuda itu melakukan pekerjaan dengan baik juga. Itu yang menjadi alasannya membuat penawaran pada Herdi. Lagi pula hanya sampai bayi itu lahir. Frida harus meneruskan masa depannya yang tertunda.
Frida tampak kaget mendengar pengakuan Herdi. Tapi dia diam saja. Dia tidak tahu harus bagaimana. Apakah harus sedih, senang atau apa. Frida pasrah pada keputusan papanya.
"Besok datanglah ke kantor, ke ruanganku. Nanti Pak Jacky, asistenku yang akan menjelaskan isi perjanjian itu. Nanti bila ada yang kau rasa kurang berkenan, kita bisa membicarakannya lagi untuk menambah atau mengurangi," jelas Pak Danu.
Setelah pembicaraan malam itu dirasa cukup. Herdi dan Pak Hasan pamit dari ruangan itu. Herdi merasa Frida menatapnya. Non Frida.... ah, apa kau sedang menilai diriku pantas untukmu? pikir Herdi.
***
Di rumah Pak Hasan, di kamar Herdi, Herdi sedang merebahkan diri di ranjang. Dia sedang membayangkan Frida. Ia tak mengerti, mengapa ia begitu tertarik pada gadis itu. Cinta itu hadir begitu cepat. Karena kasihankah? ia menggeleng. Bahkan ia tidak tahu sebelumnya tentang apa yang telah menimpa gadis itu.
Perasaan cintanya pada Frida, mampu menggeser perasaan cintanya pada gadis yang telah melukai hatinya. Ia telah merelakan gadisnya menikah dengan orang lain. Setelah merasakan sakit di hatinya selama berbulan-bulan, tentunya.
Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan
Frida ... I LOVE YOU!
****
Ada yang tumbuh, tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
auliasiamatir
Hardi, gentleman banget, 😍😍😍
2022-09-10
0