Mungkin bagi kebanyakan orang, makan, beristirahat dan juga bersenang-senang adalah cara untuk menikmati hidup. Tapi bagi John Wilson, bersembunyi dari amukan ibunya adalah cara untuk bertahan agar tetap hidup. Ah, miris sekali.
Hari ini, tepat pukul delapan malam, setelah hampir separuh hari ia habiskan untuk bermain game di cafe internet dengan kedua kakak seprofesinya, John pulang dengan cara mengendap-endap agar sang ibu tidak mengetahui dirinya pulang dan melayangkan kembali pukulan gagang sapu pada badannya yang mulai terlihat memar dibeberapa bagian.
Tapi nahas,
"Dari mana saja kamu? Kenapa pulang dan mengendap seperti pencuri begitu?"
John menghentikan langkah, menegakkan punggung yang terasa kaku, lalu menyuguhkan cengiran yang sungguh membuat hati ibunya mendadak gemas, ingin menggiling putranya itu didalam bak mandi lalu menjemurnya dengan posisi terbalik.
"A-aku.. aku... " ragu John sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
Namun perhatian sang ibu malah tertuju pada apa yang tergambar pada kulit putih putranya dibalik kaos hitam lusuh bergambar huruf J besar yang ia kenakan. Sebuah memar kebiruan yang terlihat jelas.
"Kemarilah!" titah sang ibu.
Sontak, John membolakan kedua manik rusanya. Takut jika sang ibu kembali melayangkan pukulan pada tubuhnya yang sudah terasa hancur.
"I-ibu.. John bisa menjelaskan ini! A-aku..."
"Kemarilah! Jangan banyak bicara!"
John mengatupkan bibir tipisnya, kemudian melangkah mendekat dengan perasaan takut-takut. Tangannya terjingkat dan maniknya memejam kala telapak ibunya terulur.
Akan tetapi, dia tidak merasakan sebuah pukulan mendarat pada torsonya, malah merasakan jemari sang ibu mengusap lembut pada satu bagian dirinya yang memar dan terasa nyeri.
"Sakit bu!" rintih John mengaduh. "Tapi tidak apa-apa! Besok pasti hilang!"
"Kemarilah! Biar ibu obati!"
John mengerjap cepat saat melihat raut khawatir pada wajah ibunya. Seketika John sadar jika sang ibu tidak berniat untuk benar-benar menyakiti dirinya. John mengekor dibelakang. Hingga sampai di teras belakang rumah, John sudah menanggalkan bajunya atas titah sang ibu.
"Aw, sakit bu.. pelan-pelan saja!" protes John saat sang ibu mulai membalurkan obat gosok penghilang nyeri pada punggung berkulit pualam miliknya.
"Jangan cerewet! Ibu sudah mengolesnya perlahan!"
Sang ibu menyesal dalam benaknya sendiri saat melihat punggung John yang penuh lebam dan memar.
"Ibu sudah bilang jangan bermain dengan dua pemuda putra orang kaya itu!"
"Mereka baik bu!"
"Pikirkan masa depanmu, bagaimana kau bisa menghidupi wanita yang kau cintai kelak jika kau tidak bekerja seperti ini!"
John tersenyum dalam rona yang merangkak naik pada kedua pipinya.
"Aku masih muda dan belum ingin menikah bu... "
"Itulah alasannya mengapa tidak ada wanita mau mendekatimu meskipun wajahmu tampan! Kau masih terlihat seperti anak kecil! Menghabiskan uang ibumu dan tidak kenal waktu jika sudah bermain!" teriak sang ibu sambil melayangkan pukulan tepat dipunggung John yang masih memar.
"Ibu, sakit! Kenapa ibu suka sekali memukulku?"
"Karena kau bodoh! Jangan berteman lagi dengan mereka dan cari pekerjaan yang benar!"
"Aku sudah berusaha bu, tapi para pemilik perusahaan itu tidak mau menerima John sebagai pegawai ditempat mereka! Mereka semua pemilih!" protes John dengan ekspresi lucu.
Mendadak geram, sang ibu menepuk kepala belakang putranya itu hingga terjungkal. "Ibu..." sahutnya kesal.
"Kau masih bodoh sejak dulu! Dulu ibu memarahimu karena kau dengan gampangnya menolak beasiswa tanpa memberitau ibu dan lebih memilih berbisnis yang tidak jelas arah dan tujuannya! Dan sekarang kau protes karena ibu sering memukulmu! Kau semakin bodoh karena menyia-nyiakan waktumu tanpa berusaha keras mencari penghasilan, dan tidak memeras ibumu lagi! Aigooo... rasanya aku akan semakin cepat tua dan akan segera mati jika kau terus seperti ini pada ibumu ini John!"
John tertunduk sedih karena ucapan sang ibu. Dia bahkan tidak mengaduh saat ibunya kembali memukul lengan dan berjalan pergi meninggalkannya seorang diri.
***
Keesokan harinya, John bangun pagi sekali. Mengenakan pakaian rapi dan menata rambutnya yang sudah sedikit memanjang. Bercermin menatap pantulan wajahnya yang memang sempurna, akan tetapi itu tidak berguna—menurut ibunya. Tidak ada yang mau menerima wajah tampan itu di perusahaan mereka. John menghela nafas dalam, kesal dan putus asa. Tapi hari ini dia bertekad untuk kembali mencari pekerjaan.
"Semangat!" ucapnya pada diri sendiri.
John keluar kamar, melihat sang ibu menata makanan diatas meja. Kemudian mendekat dan duduk bersimpuh disana.
"Mau kemana kau sepagi ini dengan pakaian rapi seperti itu? Percuma saja, tidak akan ada gadis yang mau dengan pemuda pengangguran sepertimu!"
"Ck! Ibu, aku akan mencari pekerjaan! Tolong semangati saja, dan do'a kan agar putra tampanmu ini diterima di perusahaan ternama dengan penghasilan jutaan dolar!"
"Omong kosong!" sarkas tajam sang ibu.
John mengerut dahi dan mengerucut bibir kesal. Kemudian menyendok nasi untuknya mengisi perut.
"Ini jatahmu makan untuk sehari, jangan menyendok terlalu banyak! Atau kau akan kelaparan nanti malam!"
Waaah, John benar-benar tidak habis fikir atas kekejaman sang ibu.
"Iya ibu... Aku akan menggantinya jika sudah mendapat uang nanti..."
Ibunya menyimpan senyuman dalam hati, dia tak mau membuat John semakin bergantung padanya jika dia lengah. Anak semata wayangnya itu pandai memanfaatkan kelemahannya.
"Bekerjalah dengan keras lalu bawa gadis cantik dan baik kehadapan ibu!"
John kembali menghembuskan nafas jengah. "Iya, ibu! Itu urusan gampang! Nanti akan John bawa gadis yang baik, dan cantik seperti yang ibu inginkan!"
***
Jalanan masih sepi, Hyuji membuka kunci sebuah bangunan kecil berisi bunga-bunga yang harum dan masih segar. Hyuji seorang Florist. Dia membuka usaha penjualan bunga secara diam-diam tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya.
Dia merasa nyaman berada diantara bunga yang tersusun rapi dan juga harum diruangan tersebut. Pelanggannya tidak banyak, tapi dia cukup baik dalam mengelolah usahanya tersebut.
Akan tetapi, Hyuji juga ingin usahanya itu berkembang. Sebuah ide muncul, dia menemukan cara baru untuk menarik pelanggan. Media sosial, dan juga wajahnya. Ya, dia akan menggunakan keduanya itu untuk menarik minat pelanggan.
Ditengah kesibukannya menjadi seorang yang sedang merintis bisnis, dia fikir mencari seorang pegawai tidak ada salahnya bukan?
Hyuji menempel sebuah pengumuman di kaca.
Dibutuhkan
Pekerja Paruh waktu. Secepatnya.
Jika berminat, hubungi pemilik.
Hingga suara lonceng pintu berdenting, seseorang hadir diambang pintu. Tidak asing, mereka pernah bertemu.
"Kau?"
"Hai Noona!"Jawabnya santai ketika Hyuji menyapa.
Mendadak, hati Hyuji berdebar tidak karuan. Dia masih terlihat sama. Tampan.
"Kau ingin membeli bunga?"
"Tidak! Aku ingin melamar pekerjaan! Ngomong-ngomong apa Noona melihat pemiliknya?" tanya pemuda itu sambil melongok kekanan dan kekiri mencari keberadaan si pemilik di dalam sana.
"A-aku pemiliknya!" jawab Hyuji ragu, disusul wajah terkejut dari raut mempesona dihadapannya.
"Noona pemiliknya? Wah, kebetulan sekali! Apa aku memenuhi kriteria pegawai disini?"
Hyuji masih terpaku. Kemudian mengerjap cepat saat pemuda itu mengibaskan telapak didepan wajahnya.
"Oh.. tentu! Ta-tapi aku tidak bisa membayar banyak! Toko ini masih pemula, dan belum banyak pelanggan!"
"Tenang saja! Aku jamin, Noona tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pegawai disini!"
"Be-benarkah?"
Pemuda itu mengangguk yakin.
"A-apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Hyuji ragu.
pemuda itu menelisik, dia pikir Hyuji akan melupakannya begitu saja. Akan tetapi, tidak. Hyuji terlihat masih mengingatnya.
"Noona yang waktu itu—" tanya si pemuda terpotong oleh suara Hyuji yang tiba-tiba kembali terdengar.
"Jimmy, kan?"[]
•
•
Bersambung dulu,
Simak apa yang akan dibahas keduanya dibab selanjutnya.
Tap-tap jejaknya jika tidak keberatan.
Salam Hati Warna Ungu,
💜💜💜
Vizca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments