Moza menangis disepanjang jalan, ia merasa Satria hanya bermain main dengannya. Stevan tak sengaja melihat Moza yang sedang berdiri di parkiran mall.
"Moza.." Stevan turun dari mobil.
Ia menghampiri Moza.
"Moza, kamu kenapa?" Tanya Stevan, ia melihat adiknya menangis.
"Kak.." Tangisan Moza pecah di pelukan kakak tirinya.
"Kamu kenapa, coba cerita sama kakak." Stevan mengangkat dagu Moza.
"Aku mau pulang." Ucapnya lirih.
"Yaudah, kita naik mobil." Stevan membawa Moza ke mobil.
Moza masuk kemobil lalu Stevan membawanya pergi dari sana, kemudian Satria berlari mengejar mobil itu namun sayang ia tertinggal jauh.
"Kita pulang Za?" Tanya Stevan.
",Kakak bawa aja aku kemana kakak mau, tapi jangan bawa aku pulang." Ucap Moza.
"Kenapa? Kamu ada masalah sama Satria?"
"Aku lagi gak mau bahas Satria kak." Ucap Moza sambil terisak.
"Udah jangan nangis, kalo ada yang berani nyakiti kamu biar kakak kasih pelajaran." Ancam Stevan.
"Ini imbas dari aku di jebak di sekolah kak, mereka merencanakan semua ini untuk menghancurkan aku. Aku takut jika Vidio itu viral di sekolah, apalagi kalo sampai ke papa." Ucap Moza menunduk.
"Yaampun Za, kamu serius. Segitunya mereka."
"Iya kak, aku bingung."
"Kamu tenang aja, biar kakak yang akan melaporkan kejadian itu ke kepala sekolah. Itu sudah termasuk kejahatan loh Za." Ucap Stevan.
"Iya kak, tapi aku takut gak akan ada yang percaya. Karena saat itu aku dipaksa untuk minum sesuatu hingga membuat aku merasa timbul hasrat seksual, kakak pasti juga tahu." Jelas Moza.
"Kamu ceritakan saja semua yang kamu alami, dan kakak akan menjadi saksi begitupun Veronika." Kata Stevan.
"Jangan kak, aku gak mau kalo Veronika di jauhi sama teman temannya. Karena yang mereka tahu aku dan Veronika sama sama gak dekat." Moza mencegah.
" Kok bisa, bukannya di rumah kalian akrab banget." Stevan bertanya tanya.
"Disekolah itu aku dan veronika berbeda kubu kak, temannya Veronika itu Marsha. Dia selalu membully aku dan temanku."
"Veronika ikut bully kamu Za? Kakak gak habis pikir karena saat dirumah Veronika menjadi adik perempuan yang manis Za." Ucap Stevan.
"Itu dulu kak, sebelum kami saling mengenal. Dan saat ini aku sudah berdamai kok."
"Tapi.."
"Sudah kak, kakak jangan ngomong sama Veronika ya. Aku takut dia jadi benci lagi sama aku."
"Iya kakak gak akan ngomong sama dia, tapi kamu inget gak di sekolah ada cctv? Itu bisa menjadi bukti."
"Itu tidak akan berpengaruh apa apa kak, mungkin terlihat juga di sana aku jalan sendiri ke perpustakaan tanpa paksaan apapun."
"Nanti kalo sampai Vidio itu tersebar, kakak gak akan tinggal diam."
"Semoga saja Vidio itu sudah terhapus, awalnya aku minta Satria untuk hapus Vidio itu. Tapi di sana dia malah pelukan sama Marsha."
"Jadi kamu nangis gara gara apa? Apa karena tahu kalo Satria pelukan sama Marsha."
"Iya sih, tapi di sisi lain Marsha hina aku sebagai cewek murahan. Ya aku gak terima lah."
"Sudah lah jangan di ambil hati omongan orang kayak gitu, lebih baik sekarang kamu sekolah dulu yang benar."
"Kak aku sekolah beneran kok, aku sering ranking malah. Yaa walaupun cuma masuk sepuluh besar." Kata Moza.
"Yaa itu juga sudah lumayan, dari pada tidak sama sekali. Kamu mau kuliah dimana?" Tanya Stevan.
"Aku mau banget kuliah di Oxford university, tapi kayaknya aku gak akan sampe kesana deh. Pasti susah untuk bisa kuliah disana."
"Gapapa kamu berusaha aja dulu untuk dapat nilai terbaik supaya semua keinginanmu bisa tercapai. Tapi menurut kakak kuliah disini banyak kok yang bagus."
"Iya kak, rekomendasi kan dong kak."
"Cita cita kamu apa?"
"Sebenarnya aku mau jadi dokter, karena dulu aku pernah menyaksikan saudara ku di abaikan saat dia sakit hingga meninggal. Jadi aku mau jadi dokter yang berdedikasi tinggi dan mengutamakan orang orang yang membutuhkan."
"Cita cita yang mulia." Ucap Stevan.
"Hehe iya kak, doakan aku ya."
"Iyaa."
Sampailah ditempat yang belum Moza kunjungi, di tepi danau yang sepi berdiri sebuah rumah pohon yang sudah diberi lampu dan di dekorasi menjadi tempat yang nyaman.
Moza merasa ini ada di dalam mimpinya, suasana sepi dan diringi dengan angin dan suara air danau. Membuatnya merasa nyaman dan tenang.
"Kak, indah banget." Moza melongo.
"Awas ngeces." Canda Stevan.
"Ah kakak, ini seriusan indah banget suasananya kayak di dalam mimpi aku waktu kecil." Puji Moza.
"Kita naik dulu yuk, ada yang mau kakak ceritakan sama kamu."
Stevan mengajak Moza untuk menaiki rumah pohon tersebut.
"Kakak dapat tempat seperti ini dari mana? Dari Gmaps kah." Tanya Moza.
"Bukan Za, tempat ini adalah tempat kakak sama Sarah dulu first date. Dan dia pernah bilang kalo dia mau dilamar disini, dan kakak menyiapkan semua ini untuknya. Tapi sayangnya waktu belum mempertemukan kakak dan Sarah disini."
"Dan waktu dimana kakak akan mengajaknya kesini, dia malah menyatakan perasaanya ke teman lamanya yang saling mencintai. Kakak tidak bisa berbuat apa apa untuk itu, kakak tidak ingin egois."
"Kapan kak." tanya Moza.
"Waktu kakak bilang mau jalan sama Sarah dan mabuk, kakak merasa patah hati hingga membuat kakak seperti itu." Ucap Stevan.
"Ooh, jadi saat itu kakak patah hati. Pantas saja melampiaskan ke aku hingga saatnya kita ciuman."
"Hah, apa iya." Ucap Stevan menahan malu.
"Iyalah, inget banget aku. Kakak sampe merem melek gitu." Ledek Moza.
"Gak mungkin ya, kamu aja kali yang keenakan." Stevan tersenyum tidak percaya.
"Serius kak, yaampun aku tahu kakak sadar kan. Tapi jujur itu adalah hal yang paling spesial untuk aku."
"Kenapa gitu?"
"Karena itu ciuman dari kakak."
Mendengar kata ciuman membuat Stevan merasa gerah. Ia terpancing oleh obrolan ngawur itu, lalu mengelus pipi Moza yang cubby. Lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium Moza.
Namun Moza yang gercep jatuh kepelukan stevan, lalu mereka berciuman sangat panas hingga menyentuh bulatan milik Moza kemudian memainkan pu***gnya dari luar.
Moza merasa nafasnya menjadi berat dan cepat, sentuhan demi sentuhan yang diberikan oleh kakak tirinya membuatnya tidak bisa menahan diri.
Stevan membuka satu persatu kancing baju Moza hingga terlihat bulatan itu, begitu putih bulat dan padat dengan warna coklat muda.
Stevan kemudian mengh*sap bulatan itu dengan lembut hingga memberikan jejak merah di sana, sebelum semuanya semakin jauh. Stevan menghentikan kegiatannya.
"Ugghh.." Moza melenguh.
"Udah ya Za." Ucap Stevan.
"Tanggung kak." Ucap Moza yang merasa jatuh dari ketinggian.
"Jangan berlebihan ya." Stevan mencium bibir Moza.
Bibirnya yang merah berubah jadi pucat, lalu saat ia mengancingkan bajunya ia melihat dua buah warna merah di pay**aranya kemudian tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments