Kebiasaan Okan sebelum pergi ke kantor adalah mencium perut Elina secara berulang-ulang. Walaupun perut Elina masih rata, tetap saja ia merasa sangat senang karena sudah tahu kalau di sana sedang tumbuh buah cinta mereka.
"Mas, hari ini aku boleh nggak pulang terlambat? Soalnya ada acara di salah satu hotel. Mereka memesan kue di toko kami dan meminta kami untuk ikut mengaturnya di sana. Anita dan Dewi akan standbye di sana sementara aku di toko utama. Hari ini ada pembayaran gaji semua kariawanku. Biasanya Anita yang membayarkan. Tapi dia harus menemani Dewi di hotel."
Okan mengangguk. "Tapi jangan terlalu capek ya? Ingat kata dokter. Di trimester pertama, seorang ibu tidak boleh bekerja berlebihan."
"Iya, mas."
Okan memeluk istrinya. "Rasanya jadi malas ke kantor. Ingin di rumah saja menemanimu."
"Jangan malas dong, mas. Harus semangat demi anak kita."
Okan melepaskan pelukannya. Ia kembali menunduk dan mencium perut Elina. "Papa pergi dulu ya, sayang. Jangan buat mama pusing."
"Hati-hati di jalan, mas." Elina meraih tangan Okan dan menciumnya mesra.
"Tentu sayang. Sampai jumpa nanti malam ya?"
Elina mengantar Okan sampai suaminya itu menghilang dengan Lamborghini-nya. Okan memang jarang menggunakan sopir. Ia lebih suka mengendarai mobil sendiri. Ke-2 sopir berjaga di rumah.
Setelah suaminya pergi, Elina kembali masuk ke dalam rumah. Ia selalu merasa takut jika Okan tak ada. Takut dengan tatapan tajam ibu mertuanya. Hanya bi Ina, Gia dan Surti yang selalu ramah padanya. Ketiga pembantu itu selalu menghibur Elina saat melihat Larasati selalu berkata pedas ke arah Elina.
"Nyonya mau sarapan?" Tanya Surti melihat Elina memasuki dapur.
"Iya."
Sejak kejadian hari itu, Elina memilih untuk tidak sarapan bersama ibu mertuanya.
Surti langsung mengatur meja makan yang ada di dapur. Ia menyajikan bubur ayam, telur rebus dan segelas susu.
Sementara Elina makan, Larasati masuk ke dapur sambil membawa sebuah cangkir minuman yang ada penutupnya. Ia meletakan cangkir teh itu di dekat Elina.
"Selesai sarapan, minumlah teh ini. Ini ramuan tradisional untuk kesuburan kandungan. Aku mungkin membencimu tapi anak yang kau kandung itu adalah darah daging Okan. Aku tak mungkin membiarkannya tumbuh secara tidak benar." Kata Larasati lalu segera pergi meninggalkan Elina. Sampai di depan pintu antara dapur dan ruang makan ia menoleh.
"Mulai besok, sarapanlah di ruang makan. Kamu bukan pembantu sampai harus makan di sini."
Elina menatap Larasati. Perasaannya menjadi senang.
"Nyonya Elina, semoga nyonya tua bisa menerima keberadaan nyonya. Apalagi sebentar lagi nyonya akan melahirkan."
"Semoga saja, bi. Aku berharap anakku ini bisa meluluhkan hati ibu." Elina menghabiskan sarapannya, lalu meminum ramuan yang disiapkan mertuanya." Rasanya enak."
Bi Ina membereskan meja makan sementara Elina menuju ke kamarnya untuk mandi dan ganti pakaian. Sebelum berangkat, seperti biasa ia berpamitan pada ibu mertuanya. Walaupun Larasati tak menoleh ke arahnya, namun kepala tua itu mengangguk sambil meneruskan pekerjaannya menyulam.
Elina pergi ke toko kuenya dengan perasaan bahagia. Ia mengendarai mobil yang diberikan Okan padanya. Karena jarak antara rumah ke toko kue tidak jauh, Elina memutuskan untuk tidak menggunakan sopir.
Sesampai di toko kue, sudah ada beberapa pegawai toko yang datang untuk membantu Elina di toko utamanya ini.
Ada senyum bahagia di wajah Elina yang membuatnya bersemangat di hari ini. Toko kuenya semakin laris saja. Ada 10 hotel yang sudah bekerja sama dengan mereka, ada beberapa mall dan supermarket yang menjual kue mereka dengan brand "Berkah". Penjualan di online pun semakin meningkat. Elina bahkan sudah memiliki 4 motor untuk mengantarkan pesanan kue. Mobil lamanya juga sudah dipakai untuk mengantar kue ke hotel-hotel.
Saat Elina memasuki dapur, ia segera mengenakan apron dan penutup kepala. Hanya Elina, Anita dan Dewi yang memiliki resep untuk mencampur kue. Para pelayan lainnya hanya bertugas untuk membuat kue sesuai bentuknya.
Elina bersyukur, berkat toko kue ini, ia sudah memiliki 70 orang pekerja.
**********
Elina bangun pagi ini dengan perut yang sakit. Sudah 2 minggu ini dia memang merasa perut bawahnya agak peri. Namun ia tahu itu biasa dialami oleh wanita hamil di trimester pertama.
"Ada apa sayang?" Tanya Okan yang ikut terbangun saat mendengar suara Elina yang meringis.
"Maaf, aku membangunkan kamu, mas." Kata Elina dengan wajah menyesal. Ia tahu kalau Okan baru saja tiba di rumah pukul setengah tiga subuh. Okan melaksanakan kunjungan kerja pada perusahaan ayahnya di Malaysia selama 3 hari. Elina bahkan tak tega membangunkan Okan untuk sholat subuh.
Okan menguap beberapa kali. Ia memandang wajah istrinya yang sedikit pucat dan berkeringat dingin. "Sayang, kamu merasa sakit."
"Perutku sedikit nyeri, mas."
Okan membelai perut Elina. "Kita ke rumah sakit saja?"
"Perutku sudah hampir 2 minggu ini memang begini. Aku sudah menelepon dokter, beliau mengatakan supaya aku nggak terlalu banyak berdiri. Lagi pula besok jadwal kita untuk memeriksakan kandungan kan? Jadi besok saja, sayang. Kamu kan masih capek. Bobo aja lagi."
Okan tersenyum. Ia memeluk Elina. "Baru 3 hari aku pergi, rasanya sangat kangen. Nggak tahan jauh-jauh darimu. Bagaimana ibu selama aku pergi?"
"Masih sama, mas. Hanya saja ibu membuatkan makanan untukku dan meminta Susi mengantarnya ke toko. Ada sup untuk ibu hamil. Aku senang, walaupun ibu masih belum mau berbicara denganku, namun aku senang karena ibu memberikan perhatian untuk kehamilanku."
"Aku percaya. Sedikit demi sedikit, ibu akan berubah dan menyayangimu."
Elina mengangguk. "Aku juga yakin, sayang."
"Hari ini jangan ke toko ya? Temani aku di rumah. Kangen." Kata Okan manja.
"Baik, mas. Sekarang aku mau ke toilet dulu setelah itu menyiapkan sarapan."
Okan mencium pipi Elina lalu kembali membaringkan tubuhnya.
Elina melangkah ke kamar mandi. Ia merasa ada sesuatu yang keluar dari inti tubuhnya dan mengalir sampai ke kakinya. Elina membungkuk dan melihat kakinya. Ia terkejut melihat ada darah kental di sana. "Mas Okan.....!" Teriaknya panik.
Okan melompat dari tempat tidur. Ia mendekati Elina dan sebelum Elina berkata apa-apa, perempuan itu langsung pingsan dalam dekapan suaminya.
********
Anita dan Dewi tak bisa berkata apa-apa saat memasuki ruang perawatan Elina dan menemukan perempuan cantik itu duduk termenung, menatap ke luar jendela dengan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis. Sore ini, Okan menelepon mereka dan meminta untuk datang ke rumah sakit agar dapat menghibur Elina.
"Na....!" Panggil Dewi dan Anita bareng.
Elina menoleh. Ia tersenyum walaupun terlihat agak dipaksa.
"Jangan bersedih ya? Anakmu sudah menjadi malaikat kecil di sorga." Kata Dewi.
Elina mengigit bibir bawahnya. Ia mencoba agar tak menangis. Namun ia tak bisa. Kedua sahabatnya itu sudah seperti saudara baginya. "Aku tak sempat memeluknya. Aku bahkan tak tahu wajahnya akan mirip aku atau Okan. Apakah semua ini terjadi karena aku tak menjaganya dengan baik?"
"Jangan sedih, Na. Aku tahu Tuhan akan memberikan lagi padamu kepercayaan untuk menjadi ibu. Kau dan Okan masih sama-sama muda. Mungkin kali ini belumlah waktu yang tepat bagimu untuk menjadi mama. Mungkin Allah sementara mengatur waktu yang terbaik bagimu. Aku dan Anita akan selalu mendoakan kalian."
Elina memeluk kedua sahabatnya itu. Ia merasa bahagia karena mereka selalu ada untuknya.
Dari balik pintu, Okan mengintip 3 sahabat itu. Ia senang karena istrinya memiliki sahabat yang sangat baik.
Okan sendiri merasa hancur saat dokter mengatakan kalau Elina mengalami keguguran. Namun ia berusaha kuat agar Elina juga kuat. Ia percaya bahwa akan ada waktunya bagi Elina untuk bisa hamil lagi.
*********
Setelah 2 hari dirawat, Elina diijinkan pulang. Ia merasa hampa saat kembali ke rumah dan mendapati ibu mertuanya menatapnya dengan tatapan marah.
"Seharusnya kamu berdiam diri di rumah. Perempuan yang sedang hamil seharusnya tak bekerja. Ini malah bawa mobil sendiri, kadang pulang sore dari toko kue. Kamu memang nggak becus menjadi calon ibu." Celetuk Larasati dengan tatapan yang merendahkan menantunya.
"Bu, Elina baru saja pulang, tidak dapatkah ibu memberi Elina penghiburan? Elina sedih, bu. Aku juga sedih. Memangnya ada yang ingin ini semua terjadi?" Okan tak suka dengan sikap ibunya.
"Bela terus istrimu itu. Makanya jangan salahkan siapa kalau dia tak menjadi istri soleha. Lihat saja penampilannya, mana ada istri yang sudah menikah namun tak menutup auratnya? Apakah wanita seperti ini yang kau harapkan akan membawa hidup sorgawi bersamamu?"
"Ibu....!" Okan benar-benar marah. Apalagi saat Elina menarik tangannya dari genggaman Okan dan sedikit berlari menaiki tangga.
"Apa? Lihat saja kelakuan istrimu! Tidak sopan!"
Okan mengejar langkah Elina ke kamar. Di lihatnya Elina sedang menangis di balkon. Perempuan itu sedang berpegang pada besi pembatas dan berdiri membelakangi pintu. Bahunya yang terguncang menunjukan kalau Elina menangis.
"Sayang...!" Panggil Okan.
"Maafkan aku, mas. Aku akui sudah tak sopan pergi saat ibu sedang berbicara. Namun hatiku sakit, mas. Aku pun tak ingin mengalami keguguran. Aku sudah menjaganya dengan sangat hati-hati. Ini semua sudah kehendak Allah, mas. Kita tak bisa menentangnya."
Okan memeluk Elina dari belakang. "Sayang, maafkan ibuku. Ibu berbicara tanpa berpikir kalau kau juga terluka karena mengalami keguguran.
Setelah puas menangis, Elina mengajak suaminya duduk di sofa yang ada di balkon.
"Mas, apakah kamu kecewa karena aku tak berhijab?"
Okan menggeleng. "Memangnya aku memintamu untuk berhijab?"
Elina menarik napas panjang. Ia menatap suaminya. "Mas, aku tahu sebagai wanita muslim, aku harus menutup aurat. Aku bukannya tak mau memakainya. Namun aku ingin hatiku benar-benar siap saat memutuskan untuk berhijab. Aku tak mau hijab hanya sebagai hiasan. Aku ingin berhijab karena panggilan iman. Aku takut jika tak benar-benar siap, aku nanti akan membukanya lagi."
Okan memegang kedua tangan istrinya. "Aku tahu, sayang. Aku memang ingin istriku mengenakan hijab sebagai wanita muslima. Namun aku juga ingin kau menutup aurat dari karena panggilan iman, bukan karena ingin membuat aku senang semata. Aku yakin suatu saat Allah akan membuka hatimu sehingga kau siap untuk menutup auratmu secara benar."
"Terima kasih, mas." Elina bersyukur karena Okan sangat mengerti dirinya.
********
4 bulan berlalu, Elina tak juga hamil kembali. Ia semakin keras mendengar sindiran mertuanya yang selalu mengatakan kalau ia akan mati tanpa memeluk cucu.
Sampai akhirnya di suatu malam, Elina mendengar percakapan Okan dan ibunya.
"Ibu akan menerima Elina sebagai menantu, asalkan kau mau menikahi Susi."
"Apa? Aku tak mau, bu. Susi adalah sepupuku."
"Kamu tahu kalau Susi bukan anak kandung pamanmu. Kalian tak ada hubungan darah. Susi sudah yatim piatu, kau akan mendapatkan pahala karena menikahi gadis yatim piatu."
"Bu, aku mencintai Elina. Aku sudah berjanji padanya untuk tak berpoligami."
Larasati tersenyum sinis. "Kau akan menjadi tua tanpa memiliki anak."
"Elina pasti hamil lagi, bu. Aku yakin!"
"Ini sudah 4 bulan. Ia tak hamil juga. Ibu tak ingin menunggu lebih lama. Nikahi Susi dan ibu akan bersikap baik pada Elina. Jika kamu tak juga menikahi Susi, ibu akan pulang ke Surabaya. Kamu jangan mencari ibu lagi."
"Ibu! Kenapa memberi aku pilihan yang sulit? Aku mencintai Elina, bu. Hanya Elina."
"Kalau begitu, jangan panggil aku ibu dan aku harap kau tak akan ada di sisi jasadku saat aku mati nanti."
Dada Elina terasa sesak. Ya Allah, haruskah aku berbagi suami dengan orang lain?
Sampai part ini , kesabaran dan ketulusan Elina diuji
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Rustan Sarny Apul Sinaga
yakin kalo makanan dan minuman yg dikasih ibu mertuanya penyebab keguguran elina
2023-02-15
3
Asti Sugiyo
Hati2...jgn2 makanan dan ramuan minuman pencetus keguguran lhooo
2022-08-10
1
Mom a3
semua makanan dan minuman yg diberikan oleh mertua Eli itu sdh dmasukkan ramuan untuk mengugurkan kandungan yg bahkan mgkin mbuat peranakan kering yg akhirnya nanti Elina gag bisa hamil.
ini sih pemikiran aku saja.
2022-06-28
1