"Sayang......!" Okan menyentuh wajah Elina. Keduanya saat ini sudah berada di kamar Okan yang ada di lantai 2. Okan membawa Elina ke kamarnya karena ingin meredahkan amarah ibunya.
Elina yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap suaminya sambil tersenyum. "Ada apa, mas?"
"Maafkan ibuku. Aku sungguh tak tahu kalau ibu menyimpan dendam yang sangat dalam." Okan berlutut di hadapan Elina. Di sentuhnya wajah cantik Elina dengan punggung tangannya.
"Aku mengerti, mas. Masih jelas dalam ingatanku bagaimana ayahku melempari ibumu dengan uang. Bagaimana kata hinaan yang keluar dari mulut ayahku. Aku juga masih ingat bagaimana wajah ibu yang memohon agar aku tidak meninggalkanmu. Aku juga...."
"Sst...!" Okan meletakkan jari telunjuknya di bibir Elina. "Jangan ingat sesuatu yang menyakitkan."
"Kita memang salah, mas. Menikah tanpa meminta restu pada ibu."
"Tidak ada yang salah." Okan menarik tubuh Elina agar ada dalam pelukannya. "Aku menikah denganmu karena kita saling memcintai. Kita sama-sama sudah dewasa. Dari pada kita harus berbuat zinah karena tak dapat lagi memendam hasrat dalam diri, bukankah sebaiknya kita menikah?"
Elina melepaskan pelukannya. "Lalu bagaimana? Ibu tadi mengatakan kalau tak akan pernah merestui kita."
Okan tersenyum. "Ibu pasti akan merestui.Besok aku akan ke kantor KUA untuk melaporkan pernikahan kita agar sah dalam hukum negara kita. Aku juga akan membuat resepsi pernikahan untuk kita, sayang. Aku mau kalau semua orang akan tahu kalau aku dan kamu sudah resmi menjadi suami istri."
"Terima kasih, mas."
Okan menunduk lalu mencium bibir istrinya dengan lembut. Ciuman yang hangat itu perlahan berubah menjadi ciuman panas yang menuntut untuk dipuaskan.
"Mas....apakah kita harus melakukannya di sini?" tanya Elina saat Okan sudah membaringkan tubuhnya dan mulai membuka gaun yang dikenakannya.
"Kau selalu mengairahkan untukku sayang. Aku tak tahan jika tak menyentuhmu."
"Tapi, ibu..."
"Kita masih pengantin baru. Ibu akan mengerti. Mari kita nikmati kebersamaan ini." Okan kembali mencium Elina. Ia ingin agar mereka berdua boleh saling melepaskan beban melalui penyatuan yang sangat intim ini.
**********
Elina selalu merasakan damai selesai menunailan sholat subuh. Ia kembali mengambil tangan suaminya dan menciumnya dengan penuh rasa kasih dan hormat.
"Bobo lagi, yuk!" Ajak Okan.
"Mas, aku mau turun ke bawa. Mau siapkan sarapan. Hari ini mas akan ke kantor kan?"
"Belum, sayang. Hari ini aku mau mengurus tentang pendaftaran pernikahan kita. Nanti senin aku masuk."
"Tetap saja aku ingin menyiapkan sarapan. Itu sudah menjadi tugasku, mas. Oh ya, hari ini selesai sarapan, aku mau ke toko kue ku ya?"
Okan hanya mengangguk. "Jangan terlalu capek ya? Supaya Okan juniornya cepat lahir." Kata Okan dengan nada menggoda membuat wajah Elina sedikit memerah. Ia segera turun ke bawa.
Dapur terlihat masih sepi. Okan memang memiliki beberapa orang pelayan di rumah ini. Ada 1 tukang kebun dan 2 orang sopir dan 3 pelayan yang mengerjakan tugas rumah seperti memasak, mencuci dan bersih-bersih. Mereka tinggal di bagian belakang yang memang dikhususkan kamar para pelayan.
Tadi malam, ibu tak keluar untuk makan malam. Walaupun Okan sudah membujuknya, namun ibu tetap ada di kamarnya. Hanya Susi yang makan bersama mereka. Usia Susi sudah 22 tahun dan dia sementara kuliah. Gadis berhijab itu pun lebih banyak diam.
Elina membuka kulkas. Ia melihat bahan-bahan apa yang bisa disiapkan untuk sarapan.
"Nyonya, apa yang nyonya lakukan di sini? Ini masih pagi!" Ina, pelayan yang berusia 40 an itu terkejut melihat Elina sudah berada di dapur pada hal masih jam 5 lewat.
"Saya ingin membuat sarapan."
"Biar saya saja, nyonya. Apakah tidak sebaiknya nyonya tidur lagi?"
Elina tersenyum. "Sudah menjadi kebiasaan saya kalau selesai sholat subuh, tidak tidur lagi."
Ina pun membantu Elina membuat sarapan. Sementara Ema dan Linda, 2 orang pelayan yang usianya sekitar 20-an, segera membersihkan rumah.
1 jam kemudian, Susi bangun. Ia terkejut melihat Elina sudah ada di dapur. "Selamat pagi, mba!" Sapa Susi.
"Selamat pagi Susi. Kamu mau apa?"
"Menyiapkan teh untuk ibu."
"Aku saja yang siapkan. Boleh kan? Katakan, ibu ingin teh seperti apa? Apakah manis atau nggak?"
"Ibu suka teh hijau yang tawar. Ibu memakai gula khusus. Gulanya satu takar."
Elina segera memanaskan air. Sejak ia membuka toko kue, ia banyak belajar tentang membuat kopi dan teh. Ia berharap ibu mertuanya akan menyukai teh yang dia buat.
15 menit kemudian, Okan turun ke bawa dan langsung menuju ke kamar ibunya.
Larasati sedang membereskan tempat tidurnya saat Okan masuk.
"Selamat pagi, bu."
Larasati tak menanggapi sapaan anaknya.
"Bu, apakah ibu akan terus mendiamiku seperti ini? Aku kangen dengan ibu. Selama 1 bulan aku berada di Istanbul, masa pulang tanpa bisa memeluk ibu, sih?"
"Apakah kamu memikirkan ibu saat mengambil keputusan menikahi perempuan itu? Rayuan apa yang dia berikan padamu sampai kau begitu cepat menikah dengannya? Ibu tak habis pikir, kau tega melukai ibu demi perempuan itu?"
"Elina, bu. Namanya Elina."
"Ibu tak mau menyebut namanya. Itu menjijikkan di mulut ibu."
Okan mendekat. Ia melingkarkan tangannya di lengan ibunya. "Bu, selama 6 tahun ini, aku berusaha melupakan Elina. Namun aku tak bisa. Saat melihat Elina di sana, aku baru sadar kalau ternyata aku mencintainya. Aku yang memaksa Elina untuk menikah denganku. Bahagiaku adalah bersamanya, bu."
Larasati mendengus kesal.
"Sekarang, kita sarapan ya bu. Semalam ibu nggak makan, kan?" Okan langsung menarik tangan ibunya. Larasati kali ini tak menolak. Dan itu yang membuat Okan senang.
Saat mereka tiba di ruang makan, sarapan baru selesai disajikan. Larasati duduk di kursi makan tanpa menoleh ke arah Elina yang tersenyum sambil menyapanya.
"Sayang, ayo duduk sini!" Ajak Okan melihat Elina hanya berdiri saja.
Elina perlahan duduk di samping Okan sambil menelan salivanya karena tatapan tajam ibu mertuanya.
"Susi mana tehku?" Tanya Larasati.
"Ini, bu. Teh nya dibuatkan oleh mba Elina" Kata Susi sambil meletakan gelas yang berisi teh Larasati.
Prang!
Semua terkejut melihat gelas yang berisi teh itu di dorong oleh Larasati sampai jatuh dari meja dan hamcur berkeping-keping saat jatuh ke lantai. Ina dan para pembantu lainnya terkejut melihat itu semua. Mereka mengenal Larasati sebagai sosok perempuan yang lembut.
"Dengar Susi, aku tak akan makan atau minum apapun yang disiapkan oleh perempuan ini. Aku bahkan tak akan makan satu meja dengan orang asing!" Teriak Larasati dengan wajah yang merah menahan amarah.
"Ibu....!" Okan menegur ibunya namun tangan Elina yang ada di bawa meja, memegang tangan Okan dengan sangat kuat. Kepalanya menggeleng.
"Mas, aku mandi dulu ya." Elina berdiri. "Maafkan aku, ibu. Aku sudah lancang membuat teh untukmu." Elina menunduk hormat dan segera pergi meninggalkan ruang makan. Elina berusaha menekan perasaan sakit yang menusuk hatinya. Ia tak ingin menangis agar Okan tak bersedih.
"Ibu, Elina adalah istriku." Kata Okan sedih.
"Kau bodoh, Okan! Kau sudah lupa dengan apa yang sudah dilakukan oleh keluarganya kepadamu? Kau bahkan hampir mati. Kau lupa bagaimana ibu harus berlutut di depan kaki ayah Elina, meminta agar dia melepaskanmu?" Teriak Larasati.
Elina yang masih berdiri di dekat pintu penghubung antara ruang makan dan ruang keluarga masih mendengar teriakan Larasati itu.
"Bu, Elina tak tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya. Jadi jangan salahkan Elina." Ujar Okan.
"Dia memilih juga meninggalkanmu. Kenapa? Karena dia tahu kau adalah pemuda miskin. Sekarang, setelah kau sukses dia langsung menyerahkan dirinya kepadamu."
"Bu, saat itu Elina masih berusia 17 tahun. Ia tak bisa melawan orang tuanya."
"Kau sungguh keterlaluan Okan, setelah ibu berjuang bersamamu, kau tega melakukan ini pada ibu? Lebih baik Allah mencabut nyawaku sekarang saja."
"Ibu....!" Okan merasa frustasi. Ia tak pernah melihat ibunya seperti ini.
Larasati berdiri dari kursinya. "Ceraikan perempuan itu, Okan. Jika tidak, kau akan mengafani tubuh ibumu ini." Larasati meninggalkan ruang makan.
Elina berlari menaiki tangga. Ia tak sanggup lagi mendengarnya. Kali ini Elina tak bisa menahan air matanya.
Ya Allah, mengapa semuanya harus seperti ini? Mengapa masa lalu kami begitu menyakiti hati ibunya Okan? Aku harus bagaimana ya, Allah? Berikanlah petunjukmu padaku.
Okan membuka pintu kamar. Ia tak menemukan Elina. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar mandi. Ia mendekati pintu itu dan mengetuknya perlahan.
"Sayang.....!" panggil Okan.
Pintu kamar mandi terbuka. Elina tersenyum sambil melilitkan handuk di tubuhnya. "Aku sudah selesai. Mas mau mandi?"
Okan menarik tubuh Elina dan memeluknya erat. "Maafkan ibu, sayang. Aku tahu kalau kamu mendengar semua yang dikatakan oleh ibuku. Aku tak akan pernah menceraikanmu."
"Aku percaya, mas. Sekarang mas mandi dulu ya? Aku juga mau buru-buru ke toko kue."
Okan mengangguk. Ia mengecup dahi Elina lalu segera masuk ke kamar mandi.
Saat keduanya turun ke bawa, ibu tidak ada di ruang tamu. Okan mengajak Elina ke kamar ibu.
Susi sedang memijat kepala ibu.
"Bu, kami pergi dulu ya?" Pamit Okan.
Larasati hanya menoleh sekilas. Saat melihat Elina ada di samping Okan, Larasati langsung memalingkan wajahnya.
Okan menggengam tangan Elina dengan erat. "Ayo kita pergi, sayang!"
Keduanya pergi dengan mobil Okan. Hanya butuh waktu 7 menit, mereka akhirnya tiba di toko kue.
Dewi dan Anita sementara membersihkan toko.
"Wah, pengantin baru kita sudah tiba." kata Anita dengan senyum menggoda.
"Mas, aku buatkan kopi ya?"
Okan mengangguk. Ia memang belum sempat sarapan tadi.
Selama 15 menit, Elina menyiapkan kopi dan kue untuk Okan.
"Aku selalu suka dengan kue dari toko ini. Ternyata pemiliknya adalah gadis pujaanku." Kata Okan saat Elina sudah menyajikan kopi dan kue.
"Ini resep ibuku, mas. Pertama kali akan memulai usaha ini, aku menggadaikan kalung peninggalan ibu. Kami bertiga berjalan ke sana kemari menawarkan kue. Aku sudah melamar kerja ke sana kemari, namun tak berhasil."
Okan meraih tangan Elina. Di ciumnya punggung tangan istrinya. "Dengan jalan ini, kau bukan hanya menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, melainkan hidupmu juga menjadi berkat bagi orang lain. Aku bangga denganmu, sayang."
Dewi dan Anita yang melihat pasangan itu menjadi ikut bahagia.
"Jadi pingin nikah melihat mereka." Ujar Anita.
"Aku juga jadi ingat suami. Sayangnya, suamiku nggak romantis. Mana mau dia bersikap mesra di depan banyak orang." Dewi mengkerucutkan bibirnya mengingat betapa cueknya suaminya itu.
Okan menghabiskan kopinya. "Aku pergi dulu, ya. Jam berapa kamu bebas?"
"Mungkin sekitar jam 2. Kue orderannya lumayan banyak."
"Aku akan datang sebelum jam 2. Kita makan siang bareng setelah itu kita akan persiapkan acara resepsi pernikahan kita."
"Mas, apakah tak sebaiknya ditunda dulu sampai ibu merestui pernikahan kita?"
"Aku nggak mau menundanya sayang. Ibu harus mengerti, hanya kamu wanita yang kuinginkan dalam hidupku."
Elina hanya bisa menarik napas panjang. Ia mencium punggung tangan suaminya sebelum Okan masuk ke dalam mobilnya.
Elina menatap kepergian Okan dengan hati yang berat. Ya Allah, bukalah hati ibu agar bisa menerima pernikahan kami.
Okan Atmaja Yilmal
Elina Jovanka
Susi
Zeki Yilmal
gimana visualnya???
Semoga suka ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Nurliana Saragih
Aku lebih suka kalo visual Zeki jadi visual Okan!!!
2022-05-03
3
gia gigin
Visualnya😍😍👍🏻
2021-12-27
0
banyubiru
Nyesek banget dapat perlakuan bgitu ..sabar ya Elina
2021-12-21
0