Hari pertama bekerja, aku sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang diberikan padaku. Mulai dari membersihkan meja, mencuci piring hingga membuang sampah. Bagiku tidak masalah, lagi pula pekerjaan ini sudah seperti pekerjaan biasa buatku walaupun dengan frekuensi yang berbeda.
Ditambah aku ini masih anak baru, jadi menuruti apa kata mereka adalah keharusan ku saat ini. Seperti hukum alam, anak baru mengikuti yang senior. Selama itu baik, bagiku tidak masalah.
Tapi ada sedikit kejanggalan, aku agak sedikit risih dengan temanku yang bernama Tia ini. Awalnya aku pikir hanya perasaanku saja, ia terlihat tidak bersahabat denganku, tapi ternyata jelas sudah sikapnya padaku yang benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya. Apa yang menjadi alasannya, aku juga tidak tahu. Aku merasa tidak berbuat salah padanya karena bertemu saja baru sekarang, bagaimana aku bisa membuatnya tidak senang padaku.
“ Yuna, apa kaulelah?” tanya Widya mendekatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Ia sepertinya khawatir padaku karena melihatku sedang memijit kakiku. “ Kakimu pasti sakit karena mondar-mandir sedari tadi.”
“ Tidak apa-apa, Wid. Namanya juga kerja,” ujarku menenangkannya.
“ Seharusnya Tia tidak memperlakukanmu seperti ini, dia malah santai, kamunya yang kerja ekstra. Ini namanya bukan mengajari tapi mengerjai. Dia memang keterlaluan.”
Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Widya itu. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, aku seperti orang yang sedang dikerjai oleh senior. Belum selesai pekerjaan yang satu, sudah diberikan pekerjaan yang lainnya. Padahal kalau dipikir-pikir, aku ini bisa saja lebih tua dari dia.
“ Apa Tia memang seperti itu orangnya? Maksudku, aku merasa dia terlihat tidak senang denganku.”
“ Dia memang begitu, mungkin dia merasa kau sebagai saingannya.”
“ Saingan? Maksudnya? Aku kan hanya anak baru di sini, apa yang membuat dia merasa tersaingi.”
“ Karena kau itu cantik, Yuna.”
Sontak aku kaget dengan jawaban Widya itu. Aku tidak tahu kalau ada yang merasa aku saingi, apalagi dengan kata cantik karena pada dasarnya aku merasa aku tidak secantik itu. Bukannya aku tidak percaya diri, tapi memang begitulah kenyataannya untukku.
“ Kau bercanda Wid.”
“ Aku tidak bercanda, memang seperti itu. Tia itu bisa dikatakan populer di antara cowok-cowok disini. Melihat kedatangan mu dan sambutan mereka yang hangat, membuatnya tidak senang.”
“ Tapi itu hal yang wajar, kan?”
“ Itu menurut orang normal seperti kita, tapi Tia sudah di luar normal,” ujarnya sedikit tertawa. “ Dia itu suka di puji.”
“ Oh, begitu. Berarti aku harus lebih hati-hati.”
“ Bersikap biasa saja, malah nanti yang lain jadi tidak enak.”
Aku mengangguk saja. Sebagai orang yang lebih mengenal keadaan sekitar lebih lama, ucapan Widya menjadi acuan ku dalam menentukan sikap. Bukan berarti aku bersikap tidak wajar, hanya saja lebih berhati-hati dalam berkelakuan, begitulah menurutku.
Aku bersama Widya menghabiskan makan siang masing-masing yang sudah tersedia di meja. Kami harus bergantian istirahat hanya untuk sekedar makan maupun menunaikan ibadah. Setelah selesai dengan istirahat yang hanya setengah jam itu, kami bergegas membantu yang lain. Mereka yang akan istirahat, bergegas ke belakang untuk menikmati istirahat yang sangat berharga itu.
Kami berdua melanjutkan pekerjaan bersama dengan teman yang sudah beristirahat terlebih dahulu. Semakin sore pengunjung semakin ramai berdatangan. Mungkin karena besok sudah memasuki weekend, jadi kebanyakan orang-orang meluangkan waktunya lebih dibandingkan hari biasanya.
“ Yuna.” Terdengar suara khas seorang pria menyebut namaku. Aku bergegas menoleh dan sesaat terpaku melihat sosok yang menyebut namaku itu.
“ Martin,” ucapku. Aku pun spontan menghampirinya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. “ Bagaimana kabarmu?”
“ Aku baik,” jawabnya tersenyum. “ Aku langsung kesini saat tahu kau bekerja di kafe ini.”
“ Apa manajer yang memberitahumu?”
“ Masih saja memanggil Mama dengan manajer, padahal sudah tidak bekerja di sana lagi.”
“ Lalu aku harus memanggil apa?” Martin tampak berpikir. “ Tidak ada ide, kan? Sekali manajer tetap manajer.”
Martin tertawa mendengar ucapan ku.
Martin memang anak dari Manajer Mei. Aku mengenalnya saat manajer mengadakan pesta kecil di rumahnya. Dia memang sangat ramah pada semua orang, tak pelak orang sangat menyukainya. Aku juga tidak ingat bagaimana aku bisa menjadi dekat dengannya, setahuku hanya mengalir begitu saja.
“ Yuna.” Widya memanggilku. Aku pun menyahut panggilannya itu.
“ Maaf Martin, aku harus kembali bekerja,” ujarku berpamitan. Ia pun memaklumi dengan keadaanku yang sedang sibuk dengan pekerjaanku ini.
“ Oke. Mulai sekarang kita juga akan saling sering bertemu.”
Aku mengernyitkan dahiku. Mencoba mencerna ucapannya barusan. Setahuku Manajer Mei lah menjalankan bisnis ini, tapi mengapa ia mengatakan kalau kami akan sering bertemu.
“ Kaukenal dengan Pak Martin, Yuna?” tanya Widya heran karena melihat aku dan Martin bicara dengan akrabnya tadi.
“ Iya, bukankah Martin anaknya Manajer...ah maksudku Ibu Mei?”
“ Iya, Pak Martin memang anaknya Ibu Mei, tapi aku tidak tahu kalau kau juga kenal dengannya.”
“ Oh itu karena aku memang sudah mengenalnya lama. Bisa dikatakan kami memang berteman.”
“ Jadi kauberteman dengan Bos?” Aku mulai bingung dengan ucapannya itu. “ Pak Martin itu yang punya kafe ini, Ibu Mei membantu mengelolanya saja.”
“ Ha? Benarkah?” Aku sama sekali tidak tahu tentang masalah ini. Pantas saja tadi Martin bilang kalau kami akan sering bertemu. “ Aku pikir Ibu Mei menjalankan kafe ini.”
“ Awalnya memang Ibu Mei, tapi berjalannya waktu Pak Martin lah yang menjalankan kafe ini.”
“ Begitu ya.”
“ Tapi, apa benar hubungan kalian hanya berteman?” Widya mencoba mengorek cerita lain dari pertemananku dan Martin. “ Apa...“ Sebelum Widya mengatakan hal yang tidak-tidak aku pun langsung memotong perkataannya.
“ Kau ini jangan mulai menggali gosip yang tidak ada, Wid,” seruku sedikit tertawa.
“ Ah, kau ini. Kalau benar juga tidak apa-apa,” ujarnya.
“ Tidak ada yang seperti itu. Sudah ayo kerja lagi.”
“ Iya.” Widya menyunggingkan senyuman padaku. Senyuman yang penuh dengan arti dibaliknya.
...****...
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Setelah beres membersihkan tempat ini, aku dan teman-teman yang lain bergegas pulang. Aku yang memang pulang dengan kendaraan umum, berpamitan duluan karena takut akan ketinggalan bis. Aku berjalan perlahan di tengah gelapnya malam. Hanya lampu jalan yang menerangi langkahku ini.
Aku mendekap jaketku karena udara malam ini terasa sangat dingin. Mungkin akan turun hujan, pikirku. Aku semakin mempercepat langkahku agar tak sampai kehujanan saat tiba di rumah.
Aku menepi saat sebuah mobil melaju mendekatiku. Aku jadi bingung dengan mobil yang tiba-tiba berhenti ini. Entah siapa pemilik mobil berwarna putih ini. Perlahan kaca berwarna hitam itu turun, terlihatlah siapa pemilik mobil yang berhenti di dekatku ini.
“ Naiklah,” ujar Martin menyuruhku naik ke dalam mobilnya.
“ Tidak, aku naik bus saja,” tolakku karena tak enak merepotkannya.
“ Hari semakin gelap, udara juga semakin dingin, sepertinya akan turun hujan. Aku akan mengantarkanmu sampai ke rumah .”
Aku menimbang penawarannya itu. Memang benar apa yang dikatakannya, kalau saja hujan turun dan aku belum sampai di rumah, pasti aku akan basah kuyup.
“ Yuna...”
“ Maaf sudah merepotkanmu,” ujar ku tak enak. Martin hanya tersenyum padaku.
Mobil itu pun melaju setelah aku masuk ke dalamnya. Perjalanan kali ini di temani sebuah lagu yang begitu syahdu. Bibirku tanpa di komandoi mengikuti alunan musik yang sedang di putar ini.
“ Kausuka dengan lagu ini?” tanya Martin karena aku terlihat sangat menikmati lagu ini.
“ Um, aku menyukainya,” jawabku tersenyum. “ Oh ya, boleh aku bertanya sesuatu?”
“ Tentu.”
“ Maksud dari ucapanmu kalau kita akan sering bertemu itu apa karena kaupemilik kafe itu?”
“ Siapa yang mengatakannya padamu?”
“ Widya, dia salah satu pegawai di sana.”
“ Kalau begitu tidak salah.”
“ Ha?”
“ Aku sebenarnya sudah menolak, bahkan aku punya rencana untuk kembali ke Kanada, tapi Mama memohon padaku untuk tetap tinggal dan memintaku untuk mengelola kafe itu. Lalu aku bisa apa? Aku takut kalau terjadi apa-apa sama Mama sejak ia pernah kecelakaan waktu itu.”
“ Manajer pernah kecelakaan?”
“ Iya, kecelakaan kecil. Untung saja Mama tidak apa-apa, dari situ aku tidak bisa lagi meninggalkannya.”
“ Jadi begitu.”
“ Ya, tapi aku harap kau tidak segan padaku karena hal itu. Bersikap seperti biasanya saja.”
“ Mana bisa seperti itu, pasti akan sedikit berbeda.”
“ Paling tidak jangan terlalu berbeda.”
“ Kau ini.”
Martin tersenyum padaku.
Hujan rintik-rintik mulai jatuh membasahi bumi. Aku menoleh ke samping, melihat rintik hujan yang membekas di jendela mobil. Seketika pikiranku melayang jauh entah kemana. Aku memang suka melihat hujan yang turun dari atas sana, membawaku menyelami kenangan yang datang menghampiriku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Purnama
ceritanya kali ini agak lambat y Thor...
2021-11-01
0
Zulfa
Salken kak, JIKA mampir membawa like nih. Mari saling dukung kakak😍
2021-04-27
0
Afrizal Tanjung
sip
2020-12-15
1